PALANGKA RAYA – Masyarakat Kota Cantik Palangka Raya dikejutkan dengan dugaan kasus pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga.
Kasus ini memicu kekhawatiran di kalangan konsumen yang merasa dirugikan, terutama pengguna setia Pertamax yang mengandalkan bahan bakar tersebut untuk performa kendaraan mereka.
Dugaan pencampuran Pertamax dengan Pertalite ini menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat, terutama karena Pertamax dikenal memiliki Research Octane Number (RON) 92 yang lebih tinggi dibandingkan Pertalite.
Untuk diketahui, Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) tersebut telah mencuat dan mendapatkan banyak respon dari berbagai pihak. Kasus tersebut melibatkan sejumlah pejabat tinggi perusahaan dan pihak swasta.
Bahkan, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa praktik korupsi ini terjadi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018 hingga 2023, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Oleh sebab itu, sejumlah pengguna Pertamax di Palangka Raya mengungkapkan kekecewaan mereka atas dugaan kasus ini.
Salah satu konsumen, Sri Aminah, mengaku sangat kecewa karena selama bertahun-tahun ia menggunakan Pertamax demi menjaga kualitas mesin mobilnya.
“Saya biasanya tiga hari sekali beli Pertamax di SPBU. Dengan adanya kasus ini, saya sebagai konsumen merasa sangat dirugikan. Saya memilih Pertamax karena kualitasnya yang lebih baik, tetapi kalau ternyata dioplos, tentu sangat merugikan kami sebagai pengguna setia,” ujarnya saat ditemui Kalteng Pos di salah satu SPBU di Palangka Raya, Kamis (27/2/2025).
Meski demikian, Sri Aminah tetap membeli Pertamax karena belum memiliki pilihan lain. Ia berharap pihak Pertamina segera memperbaiki kualitas serta menjamin mutu bahan bakar yang dijual di SPBU.
Senada dengan Sri Aminah, pengguna Pertamax lainnya, Zian, yang menggunakan BBM tersebut untuk sepeda motornya juga mengaku terkejut dengan kasus ini.
“Saya sudah lama pakai Pertamax karena lebih irit dan bagus untuk mesin. Selama ini saya tidak pernah mengalami masalah dengan kendaraan saya. Kalau ternyata ada yang dioplos, tentu ini merugikan. Sebagai konsumen, saya hanya bisa percaya pada produk yang saya beli. Semoga ada kepastian dari Pertamina terkait kualitas bahan bakarnya,” katanya.
Menanggapi kekhawatiran konsumen, Person In Charge (PIC) SPBU 64.731.10 Yos Sudarso, Senji, turut menyampaikan pernyataan.
Sebagai salah satu SPBU di Kota Palangka Raya, dirinya menegaskan bahwa pihaknya selalu memastikan kualitas BBM yang dijual sudah sesuai standar sebelum sampai ke tangan konsumen.
“Kami memahami keresahan masyarakat. Namun, kami pastikan bahwa BBM yang diterima di SPBU sudah melewati Quality Control (QC) dari pihak Pertamina. Saat BBM tiba di SPBU, kami juga melakukan pengecekan ulang terhadap kualitas produk, seperti uji kepadatan (density) dan keamanan dari kontaminasi air atau zat lain,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat ini, penjualan Pertamax di SPBU nya masih berjalan normal tanpa penurunan signifikan.
“Kami tetap memberikan pelayanan terbaik dan menjawab setiap pertanyaan konsumen mengenai kualitas bahan bakar yang mereka beli. Kami ingin masyarakat tetap yakin bahwa produk yang mereka gunakan aman dan sesuai standar,” tambahnya.
Pihaknya juga mengimbau masyarakat agar tetap tenang tidak perlu ragu untuk membeli produk-produk yang ada di SPBU.
Di sisi lain, dugaan kasus ini juga mendapat perhatian dari akademisi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Hilyatul Asfia, S.H., M.H., C.L.D., menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi konsumen dari praktik yang merugikan.
“Jika benar terjadi pencampuran Pertamax dengan Pertalite tanpa sepengetahuan konsumen, maka ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konsumen. Konsumen berhak menggugat dan menuntut ganti rugi melalui mekanisme hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya regulasi yang ketat untuk menghindari kasus serupa di masa mendatang.
“Tindakan ini bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Negara harus menindak tegas pihak yang terbukti melakukan pelanggaran agar kepercayaan masyarakat terhadap distribusi bahan bakar tetap terjaga,” tambahnya.
Berdasarkan pantauan Kalteng Pos, aktivitas di sejumlah SPBU di Palangka Raya masih berjalan normal. Kendaraan roda dua maupun roda empat tetap mengisi Pertamax, meskipun ada kecemasan dari para konsumen. (ovi/ala)