Rabu, Mei 7, 2025
27.8 C
Palangkaraya

Kades Tempayung Ditahan, Aktivis Menuding Ada Kejanggalan, Apa Itu??

PALANGKA RAYA-Penahanan terhadap Kepala Desa Tempayung berbuntut reaksi keras dari segelintir aktivis lingkungan. Sebelumnya, Kades Tempayung Syahyunie divonis enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun.

Syahyunie berhadapan dengan hukum, karena dituduh menjadi dalang pemortalan lahan PT Sungai Rangit Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4 , Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).

Beberapa aktivis lingkungan terlihat menyampaikan pernyataan sikap di Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Selasa siang (6/5/2025).

Koordinator lapangan, Agung Sesa, menyebut tindakan yang dilakukan masyarakat ini murni bentuk solidaritas terhadap kepala desa mereka. Menurutnya, masyarakat adat Tempayung merasa suara mereka tidak diwakili dalam proses hukum yang berlangsung.

“Apa yang kami lakukan di sini merupakan wujud solidaritas masyarakat, ini adalah permintaan masyarakat adat Tempayung. Saya kira pengadilan harus betul-betul memahami situasi ini,” kata Agung.

Sesa juga menyinggung ketimpangan kekuasaan antara masyarakat adat dan korporasi. Ia mengutip pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah yang menegaskan tidak ada organinasis masyarakat (ormas) yang boleh berada di atas negara.

“Kami pertegas, mengutip pernyataan Gubernur Kalteng bahwa ormas tidak boleh berada di atas negara, maka perusahaan pun tidak boleh berada di atas negara,” tegasnya.

Baca Juga :  Habib Said Abdurrahman yang Pertama Serahkan Syarat Dukungan Bakal Calon DPD RI

Dalam aksi ini, setidaknya ada tujuh tuntutan yang diutarakan kepada Pengadilan Tinggi. Mereka menyoroti bahwa penuntut umum tidak memberikan tanggapan substansial terhadap pleidoi pembela.

“Ini bertentangan dengan prinsip fair trial, karena terdakwa tidak mendapatkan tanggapan hukum yang layak dan proporsional atas pembelaannya,” ucap Agung.

Para aktivis itu juga menyoroti lemahnya dasar pembuktian kerugian yang dituduhkan kepada sang kepala desa.

Pihaknya menyebut nilai kerugian hanya didasarkan pada keterangan internal PT Sungai Rangit, tanpa melibatkan kantor akuntan publik atau lembaga penilai independen.

Bahkan, berpotensi melanggar standar pembuktian tanpa keraguan yang wajar, sebagaimana tertuang dalam Pasal 183 Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Selain itu, berdasarkan pernyataan penasihat hukum Syahyunie, perkara ini seharusnya adalah sengketa perdata dan bahkan memenuhi unsur prejudicieel geschil, karena status lahan adat belum selesai secara hukum.

Namun, keberatan yang diutarakan justru tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, dengan alasan sudah dibahas dalam putusan sela.

“Padahal ini punya implikasi besar terhadap legitimasi unsur pidana,” tuturnya.

Masalah lain yang diangkat adalah penolakan pengakuan dari majelis hakim terhadap masyarakat adat Tempayung, dengan alasan desa tersebut tidak terdaftar dalam Badan Regulasi Wilayah Adat (BRWA), serta pada spanduk aksi tidak tercantum “Masyarakat Adat”.

Baca Juga :  Oknum Guru Honorer di Kobar Lakukan Penipuan Jual Beli Emas

“Padahal pengakuan masyarakat hukum adat tidak hanya bergantung pada BRWA, dan ini bukan syarat yuridis formal eksklusif,” tegasnya.

Koalisi juga mengungkap adanya dugaan kejanggalan serius dalam proses peradilan. Majelis hakim menyebut nama saksi ahli, Zikri Rachmani. Padahal, selama proses BAP dan persidangan, nama tersebut tidak pernah ada. Karena itu, mereka menilai PN Pangkalan Bun telah menjalankan peradilan sesat.

Aksi damai ini ditutup dengan seruan kepada semua pihak, agar tidak membiarkan hukum menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil.

Masyarakat berharap keadilan substantif dapat ditegakkan, dan kepala desa mereka dibebaskan dari segala bentuk kriminalisasi.

Sebelum memulai aksi dan penyampaian aspirasi, Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya mempersilakan para aktivis itu melakukan aksi damai.

Ia menghargai aksi tersebut, karena pihaknya sangat terbuka terhadap tiap masukan dari masyarakat.

“Kami persilakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, selama dilakukan secara tertib dan sesuai ketentuan hukum,” kata Agung Iswanto di hadapan massa. (ham/ce/ala)

 

PALANGKA RAYA-Penahanan terhadap Kepala Desa Tempayung berbuntut reaksi keras dari segelintir aktivis lingkungan. Sebelumnya, Kades Tempayung Syahyunie divonis enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun.

Syahyunie berhadapan dengan hukum, karena dituduh menjadi dalang pemortalan lahan PT Sungai Rangit Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4 , Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).

Beberapa aktivis lingkungan terlihat menyampaikan pernyataan sikap di Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Selasa siang (6/5/2025).

Koordinator lapangan, Agung Sesa, menyebut tindakan yang dilakukan masyarakat ini murni bentuk solidaritas terhadap kepala desa mereka. Menurutnya, masyarakat adat Tempayung merasa suara mereka tidak diwakili dalam proses hukum yang berlangsung.

“Apa yang kami lakukan di sini merupakan wujud solidaritas masyarakat, ini adalah permintaan masyarakat adat Tempayung. Saya kira pengadilan harus betul-betul memahami situasi ini,” kata Agung.

Sesa juga menyinggung ketimpangan kekuasaan antara masyarakat adat dan korporasi. Ia mengutip pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah yang menegaskan tidak ada organinasis masyarakat (ormas) yang boleh berada di atas negara.

“Kami pertegas, mengutip pernyataan Gubernur Kalteng bahwa ormas tidak boleh berada di atas negara, maka perusahaan pun tidak boleh berada di atas negara,” tegasnya.

Baca Juga :  Habib Said Abdurrahman yang Pertama Serahkan Syarat Dukungan Bakal Calon DPD RI

Dalam aksi ini, setidaknya ada tujuh tuntutan yang diutarakan kepada Pengadilan Tinggi. Mereka menyoroti bahwa penuntut umum tidak memberikan tanggapan substansial terhadap pleidoi pembela.

“Ini bertentangan dengan prinsip fair trial, karena terdakwa tidak mendapatkan tanggapan hukum yang layak dan proporsional atas pembelaannya,” ucap Agung.

Para aktivis itu juga menyoroti lemahnya dasar pembuktian kerugian yang dituduhkan kepada sang kepala desa.

Pihaknya menyebut nilai kerugian hanya didasarkan pada keterangan internal PT Sungai Rangit, tanpa melibatkan kantor akuntan publik atau lembaga penilai independen.

Bahkan, berpotensi melanggar standar pembuktian tanpa keraguan yang wajar, sebagaimana tertuang dalam Pasal 183 Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Selain itu, berdasarkan pernyataan penasihat hukum Syahyunie, perkara ini seharusnya adalah sengketa perdata dan bahkan memenuhi unsur prejudicieel geschil, karena status lahan adat belum selesai secara hukum.

Namun, keberatan yang diutarakan justru tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, dengan alasan sudah dibahas dalam putusan sela.

“Padahal ini punya implikasi besar terhadap legitimasi unsur pidana,” tuturnya.

Masalah lain yang diangkat adalah penolakan pengakuan dari majelis hakim terhadap masyarakat adat Tempayung, dengan alasan desa tersebut tidak terdaftar dalam Badan Regulasi Wilayah Adat (BRWA), serta pada spanduk aksi tidak tercantum “Masyarakat Adat”.

Baca Juga :  Oknum Guru Honorer di Kobar Lakukan Penipuan Jual Beli Emas

“Padahal pengakuan masyarakat hukum adat tidak hanya bergantung pada BRWA, dan ini bukan syarat yuridis formal eksklusif,” tegasnya.

Koalisi juga mengungkap adanya dugaan kejanggalan serius dalam proses peradilan. Majelis hakim menyebut nama saksi ahli, Zikri Rachmani. Padahal, selama proses BAP dan persidangan, nama tersebut tidak pernah ada. Karena itu, mereka menilai PN Pangkalan Bun telah menjalankan peradilan sesat.

Aksi damai ini ditutup dengan seruan kepada semua pihak, agar tidak membiarkan hukum menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil.

Masyarakat berharap keadilan substantif dapat ditegakkan, dan kepala desa mereka dibebaskan dari segala bentuk kriminalisasi.

Sebelum memulai aksi dan penyampaian aspirasi, Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya mempersilakan para aktivis itu melakukan aksi damai.

Ia menghargai aksi tersebut, karena pihaknya sangat terbuka terhadap tiap masukan dari masyarakat.

“Kami persilakan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, selama dilakukan secara tertib dan sesuai ketentuan hukum,” kata Agung Iswanto di hadapan massa. (ham/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/