PALANGKA RAYA – Fenomena pencurian dan penjarahan buah sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) menuai keprihatinan dari berbagai pihak.
Salah satunya datang dari pakar hukum dan Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Palangka Raya, Kartika Candrawati, S.H., M.H.
Meski tindakan tersebut tergolong tindak pidana, Kartika menilai persoalan ini tak bisa dilihat secara hitam-putih. Ia menekankan perlunya pendekatan hukum yang lebih komprehensif dan berkeadilan, dengan menuntaskan akar masalah yang kerap bermula dari konflik agraria.
Dirinya mengatakan bahwa meskipun tindakan pencurian tergolong sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana, banyak kasus di lapangan yang tak bisa semata-mata dilihat sebagai kejahatan murni.
“Kasus pencurian tandan buah segar (TBS) sawit yang terjadi di Kalteng umumnya dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang belum terselesaikan, seperti persoalan ganti rugi lahan, program plasma, dan kemitraan yang tidak berjalan. Ini yang membuat masyarakat akhirnya mengambil tindakan sendiri,” jelas Kartika, Minggu (6/7/2025).
Menurutnya, tindakan pencurian memang secara tegas dilarang dalam Pasal 362 sampai 364 KUHP. Namun, dalam konteks perkebunan, juga terdapat pengaturan khusus melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengatur secara spesifik tentang sanksi bagi pelaku kejahatan di sektor ini. “UU Perkebunan menjadi lex specialis dari KUHP,” tambahnya.
Salah satu hal yang memperumit penanganan kasus ini adalah ketika pelaku berasal dari masyarakat sekitar yang mengklaim lahan sebagai tanah adat atau tanah ulayat.
Terkait hal itu, Kartika mendorong pendekatan mediasi sebagai langkah awal penyelesaian, bukan langsung mempidanakan masyarakat.
“Pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) sebaiknya melakukan pendekatan persuasif lebih dulu. Klaim tanah adat pun harus dibuktikan dengan itikad baik, tidak semua bisa serta-merta dijustifikasi,” tegasnya.
Kartika juga menekankan pentingnya transparansi dari pihak perusahaan. Jika perusahaan mengklaim telah memiliki legalitas lahan, maka mereka juga harus bersedia membuka akses terhadap dokumen legalitas yang dimiliki.
Menurutnya, tidak sedikit perizinan yang beredar saat ini belum memenuhi standar legal formal yang kuat secara hukum.
Soal langkah hukum, ia menjelaskan bahwa setiap pihak, termasuk perusahaan, memiliki hak untuk menempuh jalur hukum terhadap pelaku pencurian. Namun, dirinya mengingatkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat atau pelanggaran HAM.
“Selama proses hukum dilakukan sesuai KUHAP dan didasarkan pada alat bukti yang sah, maka tidak akan terjadi pelanggaran HAM,” katanya.
Ia pun menyinggung peran aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus ini.
“Saya tidak bisa menilai detail bagaimana penegakan hukumnya selama ini, tapi yang pasti harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dan memberikan ruang pembelaan yang adil bagi semua pihak,” katanya.
Dalam konteks lebih luas, Kartika menilai negara harus hadir secara aktif dalam menyelesaikan konflik lahan yang kerap menjadi pemicu kasus pencurian sawit.
“Jika pemerintah, baik pusat maupun daerah, terus abai dan tidak hadir menyelesaikan konflik ini, maka dikhawatirkan akan menjadi bola salju yang berujung pada ketidakstabilan sosial dan keamanan,” tegasnya.
Sebagai penutup, Kartika menyampaikan pesan kepada seluruh pemangku kepentingan agar lebih mengedepankan penyelesaian secara dialogis.
“Masalah ini harus diselesaikan dari akarnya. Masyarakat mencari keadilan, perusahaan ingin kepastian hukum, maka mari duduk bersama. Pemerintah dan APH jangan langsung represif, tapi kedepankan dialog dan mediasi. Dan bila pun harus masuk proses hukum, jalankanlah dengan adil dan sesuai aturan yang berlaku,” pungkasnya. (ovi)