Selasa, Juli 1, 2025
33.9 C
Palangkaraya

Kapuas dan Pulang Pisau Berpotensi Kebakaran Lahan Tahun 2025, Ini Alasannya

PALANGKA RAYA-Musim kemarau diprediksi akan segera tiba. Muncul kekhawatiran akan terulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Kedua kabupaten ini dinilai sebagai titik rawan karhutla tiap tahun, terutama karena berada pada kawasan ekosistem gambut.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata, salah satu penyebab utama kebakaran berulang di wilayah tersebut adalah kerusakan dan degradasi ekosistem gambut akibat aktivitas perusahaan besar swasta, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

“Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau menjadi langganan karhutla, karena kondisi ekosistem gambut telah rusak akibat pengelolaan yang buruk oleh perusahaan sawit dan HTI. Mereka membuka hutan, mengeringkan gambut dengan membuat kanal-kanal, padahal gambut tidak boleh kering karena sangat mudah terbakar,” ungkapnya, Rabu (14/5/2025).

Lebih lanjut, Bayu mengatakan minimnya keseriusan perusahaan dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla turut memperparah kondisi ini.

“Banyak perusahaan dinilai tidak menyediakan infrastruktur dasar penanganan kebakaran, seperti menara pantau, sumur bor, embung, serta tim pemadam yang memadai,” sebutnya.

Oleh karena itu, ia merekomendasikan pemerintah untuk menanggulangi persoalan ini secara menyeluruh. Salah satunya, dengan melakukan evaluasi terhadap seluruh izin usaha perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut.

“Jika ditemukan indikasi pelanggaran, pemerintah harus berani memberikan sanksi. Mulai dari penciutan areal izin hingga pencabutan izin operasional. Ketegasan dalam penegakan hukum menjadi kunci untuk menimbulkan efek jera,” tuturnya.

Selain penindakan, Walhi Kalteng juga mendorong pemerintah dan semua pihak menjaga kawasan ekosistem gambut yang tersisa agar tidak dieksploitasi terus-menerus. Langkah nyata seperti pemulihan atau restorasi lahan gambut yang telah rusak sangatlah penting dilakukan, agar lahan tersebut bisa menjalankan kembali fungsi ekologisnya, termasuk sebagai penahan air dan penyerap karbon alami.

Baca Juga :  Ugal-ugalan, Tabrak Polisi, Lima Remaja Diangkut

“Jangan sampai ekosistem yang tersisa justru dirusak oleh program-program pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Kita harus memperkuat perlindungan terhadap gambut sebagai sistem penyangga lingkungan dan benteng terakhir dari bencana karhutla,” pesannya.

Kondisi ini menjadi peringatan serius menjelang musim kemarau. Pemerintah daerah maupun provinsi diharapkan tidak hanya mengandalkan upaya pemadaman ketika terjadi kebakaran, tetapi lebih fokus pada upaya pencegahan, evaluasi, dan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan.

Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai menambahkan, salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem gambut adalah kanalisasi atau pembuatan parit dan kanal yang dilakukan oleh perusahaan di sekitar maupun dalam area konsesi. Praktik ini menyebabkan turunnya tinggi muka air tanah, sehingga lapisan gambut menjadi kering dan sangat mudah terbakar.

“Berdasarkan pemantauan kami, hampir semua perusahaan sawit yang beroperasi di Pulang Pisau dan Kapuas membuka lahan di atas lahan gambut. Kanalisasi yang mereka buat menjadikan gambut makin kering. Inilah yang mengakibatkan kedua daerah itu rawan kebakaran tiap musim kemarau,” ungkapnya.

Ia menambahkan, dalam kondisi gambut yang sudah rusak dan kering, titik-titik api mudah muncul, baik dalam area konsesi maupun di wilayah sekitar konsesi. Hal ini menimbulkan risiko tinggi terhadap bencana ekologis yang berulang tiap tahun, sekaligus mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar.

Baca Juga :  Besei Kambe, Permainan Tradisional yang Terus Dilestarikan melalui Ajang FBIM

Melihat kondisi yang terus memburuk, pihaknya mendesak Pemerintah Provinsi Kalteng dan pemerintah pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut, serta melakukan audit lingkungan secara komprehensif.

“Pemerintah harus mengacu pada aturan yang jelas, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang merupakan perubahan dari PP Nomor 71 Tahun 2014. Ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi menyangkut keselamatan lingkungan dan masyarakat,” tegasnya.

Pemerintah diminta untuk melakukan audit lingkungan terhadap seluruh perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dalam tiap pemberian atau evaluasi izin. Tanpa langkah ini, potensi terjadinya bencana ekologis berulang seperti karhutla akan terus menghantui.

“Audit lingkungan akan membantu mengidentifikasi sejauh mana perusahaan telah memenuhi kewajiban perlindungan gambut. Jika ditemukan pelanggaran serius, maka pencabutan izin bisa menjadi langkah tegas yang harus diambil pemerintah,” tuturnya.

Kondisi gambut yang rusak tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat sekitar akibat kebakaran yang terus berulang. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menempatkan mitigasi bencana ekologis sebagai prioritas dalam agenda pembangunan berkelanjutan di Kalteng.

“Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah serius, bukan sekadar imbauan. Perlindungan lahan gambut bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal hak hidup masyarakat dan keberlanjutan daerah,” tandasnya. (zia/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Musim kemarau diprediksi akan segera tiba. Muncul kekhawatiran akan terulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Kedua kabupaten ini dinilai sebagai titik rawan karhutla tiap tahun, terutama karena berada pada kawasan ekosistem gambut.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata, salah satu penyebab utama kebakaran berulang di wilayah tersebut adalah kerusakan dan degradasi ekosistem gambut akibat aktivitas perusahaan besar swasta, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

“Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau menjadi langganan karhutla, karena kondisi ekosistem gambut telah rusak akibat pengelolaan yang buruk oleh perusahaan sawit dan HTI. Mereka membuka hutan, mengeringkan gambut dengan membuat kanal-kanal, padahal gambut tidak boleh kering karena sangat mudah terbakar,” ungkapnya, Rabu (14/5/2025).

Lebih lanjut, Bayu mengatakan minimnya keseriusan perusahaan dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla turut memperparah kondisi ini.

“Banyak perusahaan dinilai tidak menyediakan infrastruktur dasar penanganan kebakaran, seperti menara pantau, sumur bor, embung, serta tim pemadam yang memadai,” sebutnya.

Oleh karena itu, ia merekomendasikan pemerintah untuk menanggulangi persoalan ini secara menyeluruh. Salah satunya, dengan melakukan evaluasi terhadap seluruh izin usaha perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut.

“Jika ditemukan indikasi pelanggaran, pemerintah harus berani memberikan sanksi. Mulai dari penciutan areal izin hingga pencabutan izin operasional. Ketegasan dalam penegakan hukum menjadi kunci untuk menimbulkan efek jera,” tuturnya.

Selain penindakan, Walhi Kalteng juga mendorong pemerintah dan semua pihak menjaga kawasan ekosistem gambut yang tersisa agar tidak dieksploitasi terus-menerus. Langkah nyata seperti pemulihan atau restorasi lahan gambut yang telah rusak sangatlah penting dilakukan, agar lahan tersebut bisa menjalankan kembali fungsi ekologisnya, termasuk sebagai penahan air dan penyerap karbon alami.

Baca Juga :  Ugal-ugalan, Tabrak Polisi, Lima Remaja Diangkut

“Jangan sampai ekosistem yang tersisa justru dirusak oleh program-program pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Kita harus memperkuat perlindungan terhadap gambut sebagai sistem penyangga lingkungan dan benteng terakhir dari bencana karhutla,” pesannya.

Kondisi ini menjadi peringatan serius menjelang musim kemarau. Pemerintah daerah maupun provinsi diharapkan tidak hanya mengandalkan upaya pemadaman ketika terjadi kebakaran, tetapi lebih fokus pada upaya pencegahan, evaluasi, dan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan.

Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai menambahkan, salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem gambut adalah kanalisasi atau pembuatan parit dan kanal yang dilakukan oleh perusahaan di sekitar maupun dalam area konsesi. Praktik ini menyebabkan turunnya tinggi muka air tanah, sehingga lapisan gambut menjadi kering dan sangat mudah terbakar.

“Berdasarkan pemantauan kami, hampir semua perusahaan sawit yang beroperasi di Pulang Pisau dan Kapuas membuka lahan di atas lahan gambut. Kanalisasi yang mereka buat menjadikan gambut makin kering. Inilah yang mengakibatkan kedua daerah itu rawan kebakaran tiap musim kemarau,” ungkapnya.

Ia menambahkan, dalam kondisi gambut yang sudah rusak dan kering, titik-titik api mudah muncul, baik dalam area konsesi maupun di wilayah sekitar konsesi. Hal ini menimbulkan risiko tinggi terhadap bencana ekologis yang berulang tiap tahun, sekaligus mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar.

Baca Juga :  Besei Kambe, Permainan Tradisional yang Terus Dilestarikan melalui Ajang FBIM

Melihat kondisi yang terus memburuk, pihaknya mendesak Pemerintah Provinsi Kalteng dan pemerintah pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut, serta melakukan audit lingkungan secara komprehensif.

“Pemerintah harus mengacu pada aturan yang jelas, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang merupakan perubahan dari PP Nomor 71 Tahun 2014. Ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi menyangkut keselamatan lingkungan dan masyarakat,” tegasnya.

Pemerintah diminta untuk melakukan audit lingkungan terhadap seluruh perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dalam tiap pemberian atau evaluasi izin. Tanpa langkah ini, potensi terjadinya bencana ekologis berulang seperti karhutla akan terus menghantui.

“Audit lingkungan akan membantu mengidentifikasi sejauh mana perusahaan telah memenuhi kewajiban perlindungan gambut. Jika ditemukan pelanggaran serius, maka pencabutan izin bisa menjadi langkah tegas yang harus diambil pemerintah,” tuturnya.

Kondisi gambut yang rusak tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat sekitar akibat kebakaran yang terus berulang. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menempatkan mitigasi bencana ekologis sebagai prioritas dalam agenda pembangunan berkelanjutan di Kalteng.

“Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah serius, bukan sekadar imbauan. Perlindungan lahan gambut bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal hak hidup masyarakat dan keberlanjutan daerah,” tandasnya. (zia/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/