Kamis, Februari 20, 2025
23.3 C
Palangkaraya

Pasar Gelap Bikin Resah, Ancaman Kepunahan Satwa Langka di Kalimantan Tengah

 

PALANGKA RAYA-Kalimantan Tengah (Kalteng) dikenal kaya akan keanekaragaman hayati, dengan berbagai spesies satwa langka yang menghuni hutan tropis. Sebagai bagian dari upaya konservasi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng beberapa waktu lalu merilis puluhan satwa dilindungi di wilayah Bumi Tambun Bungai.

Kepala Subbagian Tata Usaha BKSDA Kalteng Nizar Ardhanianto menjelaskan, satwa-satwa yang dilepasliarkan biasanya berasal dari wilayah Kalteng atau habitat hutan tropis di daerah ini.

Sayangnya, keberadaan satwa-satwa itu makin terancam karena kerusakan lingkungan, deforestasi, dan perburuan liar. Walaupun beberapa kawasan konservasi telah dibentuk untuk melindungi mereka, populasi dan habitatnya makin terbatas.

Nizar menyebut, satwa-satwa perlu dilindungi untuk memastikan kelestarian spesies yang terancam punah. Tolok ukur perlindungan ini merujuk pada status konservasi yang dikeluarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang mencatat spesies-spesies terancam punah atau rentan.

“Hal ini disebabkan oleh perusakan habitat, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa yang makin marak,” ungkapnya, belum lama ini.

Salah satu satwa yang mendapat perhatian khusus adalah gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), yang hanya dapat ditemukan di Pulau Kalimantan. Populasinya kini sangat terbatas. Diperkirakan hanya tersisa 1.500 individu di alam liar. Spesies ini terancam punah akibat kehilangan habitat dan konflik dengan manusia.

Selain gajah, dua spesies langka lain, yaitu burung rangkong badak dan enggang papan, juga ditemukan di hutan tropis Kalteng. Namun, kedua spesies ini pun menghadapi ancaman serupa karena perusakan habitat serta perburuan. Kondisi ini memerlukan perhatian serius, agar populasi mereka tetap terjaga.

Lebih lanjut ia mengatakan, bagi oknum yang memelihara bahkan memperjualbelikan secara ilegal satwa langka dan dilindungi dapat berakibat serius.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem mengatur sanksi pidana bagi pelaku perburuan atau perdagangan satwa liar, dengan ancaman denda dan hukuman penjara.

“Kasus jual beli satwa dilindungi sering ditemukan di daerah-daerah yang memiliki pasar gelap atau di dekat hutan yang menjadi habitat satwa tersebut. Kota-kota besar dan wilayah perbatasan provinsi merupakan tempat yang rawan perdagangan satwa ilegal.

Baca Juga :  Seorang Warga Desa Baru Ditemukan Meninggal di Seberang SPBU Raut

Beberapa satwa yang sering dijual, dibunuh, atau dipelihara secara ilegal adalah trenggiling, burung rangkong, kucing hutan, serta satwa endemik lainnya seperti ular piton,” terangnya.

Oleh sebab itu, BKSDA Kalteng mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam perdagangan satwa liar dan untuk menjaga kelestarian habitat alam. Edukasi mengenai pentingnya perlindungan satwa dan lingkungan sangat diperlukan, agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

“Masyarakat juga diharapkan mendukung upaya konservasi dengan tidak memelihara satwa liar secara ilegal dan melaporkan jika menemukan adanya pelanggaran. Dengan kerja sama dari semua pihak, diharapkan keberagaman hayati di Kalteng, khususnya satwa-satwa yang terancam punah, dapat terus terjaga,” tutupnya.

Sementara itu, menurut Direktur Save Our Borneo (SOB) Habibi, saat ini tidak hanya satwa langka yang menghadapi ancaman kepunahan, tetapi juga habitatnya yang makin menyusut akibat alih fungsi lahan dan deforestasi. Kondisi ini semakin memperburuk peluang hidup satwa liar di hutan.

Menurut Habibi, banyak satwa yang dilindungi di wilayah Kalteng. Di antaranya trenggiling, orang utan, rusa, serta beberapa jenis burung seperti rangkong badak dan enggang papan. Namun, perlindungan terhadap satwa saja tidak cukup, jika habitat mereka tidak turut dilindungi.

“Hanya melindungi satwanya tanpa menjaga habitatnya akan membuat upaya konservasi menjadi sulit. Habitat adalah tempat hidup sekaligus tempat berkembang biak satwa. Saat ini banyak habitat yang mengalami kepunahan akibat alih fungsi lahan, deforestasi, dan ekspansi industri,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan di Bumi Tambun Bungai makin parah, terutama di wilayah sekitar daerah aliran sungai (DAS) seperti Sungai Kahayan dan Kapuas.

Data yang diterima SOB menunjukkan bahwa pemerintah telah mengeluarkan berbagai izin konsesi hutan, termasuk untuk industri perkebunan dan pertambangan. Akibatnya, banyak hutan yang dibuka, mengancam kelangsungan hidup satwa liar.

Baca Juga :  Tingkatkan Kompetensi Petani Kelapa Sawit melalui Pelatihan ISPO Gratis 

“Ketika habitat mereka makin sempit, satwa liar akan kesulitan mencari makan, sehingga masuk ke perkebunan atau permukiman warga. Hal ini bisa menimbulkan konflik, di mana satwa dianggap sebagai ancaman dan berakhir dengan perburuan atau pembunuhan, dan sebaliknya,” jelasnya.

Selain kehilangan habitat, satwa langka juga menghadapi ancaman perburuan liar dan perdagangan ilegal. Beberapa spesies bahkan dikonsumsi oleh manusia.  Sebagai organisasi yang bergerak di bidang konservasi, SOB terus mendorong perlindungan kawasan hutan, tidak hanya bagi satwa liar, tetapi juga bagi masyarakat adat yang bergantung pada hutan.

“Kami berharap pemerintah dapat memberikan pengakuan terhadap kawasan hutan yang menjadi habitat satwa langka dan endemik. Selain itu, pemerintah juga perlu menghentikan praktik alih fungsi lahan yang makin mengancam keberadaan satwa liar,” tegasnya.

Habibi juga menyoroti keterbatasan kawasan konservasi dalam menampung satwa liar. Dengan luas wilayah Kalyeng yang sangat besar, habitat satwa tersebar di banyak tempat, tidak hanya di kawasan konservasi. Oleh karena itu, menjaga hutan yang masih ada sangatlah penting.

Menurutnya, jika izin untuk pembukaan lahan terus dikeluarkan, maka keberlanjutan ekosistem di Kalteng akan makin terancam. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak lingkungan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, terutama terkait ekspansi industri sawit dan pertambangan.

Kerusakan habitat satwa tidak hanya berdampak pada populasi satwa langka, tetapi juga pada keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Hutan yang makin berkurang akan meningkatkan risiko bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, yang juga berdampak langsung pada masyarakat sekitar.

“Kita harus mempertahankan hutan yang tersisa. Jika tidak, dampaknya bukan hanya terhadap satwa liar, tetapi juga masyarakat yang akan menghadapi bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan,” pesannya.

Oleh sebab itu, lanjut Habibi, dengan makin menyusutnya luas hutan, diperlukan langkah nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Konservasi tidak hanya soal melindungi satwa, tetapi juga menjaga habitat agar tetap lestari. (ovi/ce/uni)

 

PALANGKA RAYA-Kalimantan Tengah (Kalteng) dikenal kaya akan keanekaragaman hayati, dengan berbagai spesies satwa langka yang menghuni hutan tropis. Sebagai bagian dari upaya konservasi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng beberapa waktu lalu merilis puluhan satwa dilindungi di wilayah Bumi Tambun Bungai.

Kepala Subbagian Tata Usaha BKSDA Kalteng Nizar Ardhanianto menjelaskan, satwa-satwa yang dilepasliarkan biasanya berasal dari wilayah Kalteng atau habitat hutan tropis di daerah ini.

Sayangnya, keberadaan satwa-satwa itu makin terancam karena kerusakan lingkungan, deforestasi, dan perburuan liar. Walaupun beberapa kawasan konservasi telah dibentuk untuk melindungi mereka, populasi dan habitatnya makin terbatas.

Nizar menyebut, satwa-satwa perlu dilindungi untuk memastikan kelestarian spesies yang terancam punah. Tolok ukur perlindungan ini merujuk pada status konservasi yang dikeluarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang mencatat spesies-spesies terancam punah atau rentan.

“Hal ini disebabkan oleh perusakan habitat, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa yang makin marak,” ungkapnya, belum lama ini.

Salah satu satwa yang mendapat perhatian khusus adalah gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis), yang hanya dapat ditemukan di Pulau Kalimantan. Populasinya kini sangat terbatas. Diperkirakan hanya tersisa 1.500 individu di alam liar. Spesies ini terancam punah akibat kehilangan habitat dan konflik dengan manusia.

Selain gajah, dua spesies langka lain, yaitu burung rangkong badak dan enggang papan, juga ditemukan di hutan tropis Kalteng. Namun, kedua spesies ini pun menghadapi ancaman serupa karena perusakan habitat serta perburuan. Kondisi ini memerlukan perhatian serius, agar populasi mereka tetap terjaga.

Lebih lanjut ia mengatakan, bagi oknum yang memelihara bahkan memperjualbelikan secara ilegal satwa langka dan dilindungi dapat berakibat serius.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem mengatur sanksi pidana bagi pelaku perburuan atau perdagangan satwa liar, dengan ancaman denda dan hukuman penjara.

“Kasus jual beli satwa dilindungi sering ditemukan di daerah-daerah yang memiliki pasar gelap atau di dekat hutan yang menjadi habitat satwa tersebut. Kota-kota besar dan wilayah perbatasan provinsi merupakan tempat yang rawan perdagangan satwa ilegal.

Baca Juga :  Seorang Warga Desa Baru Ditemukan Meninggal di Seberang SPBU Raut

Beberapa satwa yang sering dijual, dibunuh, atau dipelihara secara ilegal adalah trenggiling, burung rangkong, kucing hutan, serta satwa endemik lainnya seperti ular piton,” terangnya.

Oleh sebab itu, BKSDA Kalteng mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam perdagangan satwa liar dan untuk menjaga kelestarian habitat alam. Edukasi mengenai pentingnya perlindungan satwa dan lingkungan sangat diperlukan, agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

“Masyarakat juga diharapkan mendukung upaya konservasi dengan tidak memelihara satwa liar secara ilegal dan melaporkan jika menemukan adanya pelanggaran. Dengan kerja sama dari semua pihak, diharapkan keberagaman hayati di Kalteng, khususnya satwa-satwa yang terancam punah, dapat terus terjaga,” tutupnya.

Sementara itu, menurut Direktur Save Our Borneo (SOB) Habibi, saat ini tidak hanya satwa langka yang menghadapi ancaman kepunahan, tetapi juga habitatnya yang makin menyusut akibat alih fungsi lahan dan deforestasi. Kondisi ini semakin memperburuk peluang hidup satwa liar di hutan.

Menurut Habibi, banyak satwa yang dilindungi di wilayah Kalteng. Di antaranya trenggiling, orang utan, rusa, serta beberapa jenis burung seperti rangkong badak dan enggang papan. Namun, perlindungan terhadap satwa saja tidak cukup, jika habitat mereka tidak turut dilindungi.

“Hanya melindungi satwanya tanpa menjaga habitatnya akan membuat upaya konservasi menjadi sulit. Habitat adalah tempat hidup sekaligus tempat berkembang biak satwa. Saat ini banyak habitat yang mengalami kepunahan akibat alih fungsi lahan, deforestasi, dan ekspansi industri,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan di Bumi Tambun Bungai makin parah, terutama di wilayah sekitar daerah aliran sungai (DAS) seperti Sungai Kahayan dan Kapuas.

Data yang diterima SOB menunjukkan bahwa pemerintah telah mengeluarkan berbagai izin konsesi hutan, termasuk untuk industri perkebunan dan pertambangan. Akibatnya, banyak hutan yang dibuka, mengancam kelangsungan hidup satwa liar.

Baca Juga :  Tingkatkan Kompetensi Petani Kelapa Sawit melalui Pelatihan ISPO Gratis 

“Ketika habitat mereka makin sempit, satwa liar akan kesulitan mencari makan, sehingga masuk ke perkebunan atau permukiman warga. Hal ini bisa menimbulkan konflik, di mana satwa dianggap sebagai ancaman dan berakhir dengan perburuan atau pembunuhan, dan sebaliknya,” jelasnya.

Selain kehilangan habitat, satwa langka juga menghadapi ancaman perburuan liar dan perdagangan ilegal. Beberapa spesies bahkan dikonsumsi oleh manusia.  Sebagai organisasi yang bergerak di bidang konservasi, SOB terus mendorong perlindungan kawasan hutan, tidak hanya bagi satwa liar, tetapi juga bagi masyarakat adat yang bergantung pada hutan.

“Kami berharap pemerintah dapat memberikan pengakuan terhadap kawasan hutan yang menjadi habitat satwa langka dan endemik. Selain itu, pemerintah juga perlu menghentikan praktik alih fungsi lahan yang makin mengancam keberadaan satwa liar,” tegasnya.

Habibi juga menyoroti keterbatasan kawasan konservasi dalam menampung satwa liar. Dengan luas wilayah Kalyeng yang sangat besar, habitat satwa tersebar di banyak tempat, tidak hanya di kawasan konservasi. Oleh karena itu, menjaga hutan yang masih ada sangatlah penting.

Menurutnya, jika izin untuk pembukaan lahan terus dikeluarkan, maka keberlanjutan ekosistem di Kalteng akan makin terancam. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak lingkungan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, terutama terkait ekspansi industri sawit dan pertambangan.

Kerusakan habitat satwa tidak hanya berdampak pada populasi satwa langka, tetapi juga pada keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Hutan yang makin berkurang akan meningkatkan risiko bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, yang juga berdampak langsung pada masyarakat sekitar.

“Kita harus mempertahankan hutan yang tersisa. Jika tidak, dampaknya bukan hanya terhadap satwa liar, tetapi juga masyarakat yang akan menghadapi bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan,” pesannya.

Oleh sebab itu, lanjut Habibi, dengan makin menyusutnya luas hutan, diperlukan langkah nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Konservasi tidak hanya soal melindungi satwa, tetapi juga menjaga habitat agar tetap lestari. (ovi/ce/uni)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/