Hal-hal seperti ini tentunya perlu diminimalkan, sehingga tidak menghambat pelaksanaan pembangunan di Kalteng. Semua pihak terkait diharapkan memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan tanah garapan.
“Oleh karena itu, baik pihak Kemendagri maupun BPN bisa berbagi ilmu kepada peserta, terutama untuk insan pertanahan, agar siap mengatasi masalah sosial, budaya, bahkan mafia tanah yang kian marak saat ini,” harap Leo.
Oleh karena itu personel yang ada dituntut lebih menguasai regulasi dan bisa melakukan negosiasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mampu menyelesaikan persoalan dengan baik.
Terpisah, Kepala Seksi Wilayah I Subdit Pertanahan dan Penataan Ruang Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri T Hadi Priyanto mengatakan, untuk menyelesaikan sengketa lahan tanah garapan di Kalteng, diperlukan peran serta pemerintah daerah, baik yang bergerak di sektor pertanahan maupun kantor pertanahan atau kantor wilayah BPN.
“Karena ketika ada sengketa lahan seperti adanya dokumen sertifikat ganda dan lainnya, maka perlu peran pemda melakukan inventarisasi bersama pihak terkait,” katanya.
Sehingga akan ada deliniasi dan registrasi di BPN untuk memenangkan hak atas tanah yang dikuasai, melakukan ganti rugi, dan lainnya. Proses ini membutuhkan peran pemda untuk melakukan mediasi.
“Ketika ukuran tanah tidak sesuai, maka akan diperkarakan di pengadilan. Ketika sudah diperkarakan, maka pihak pemerintah dan pihak BPN ini akan menjadi saksi ahli dalam persidangan,” tuturnya.
Menurut Hadi, sengketa lahan yang terjadi Kalteng berkaitan dengan HGU untuk pembukaan lahan sawit dan lainnya. Saat pembukaan lahan, maka ada deliniasi. Dan terkadang ada permukiman yang sudah ditempati puluhan tahun oleh masyarakat lokal. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan sengketa.