PALANGKA RAYA-Di bawah sinar matahari pagi yang perlahan menyusup antara pepohonan di halaman Gereja Katedral Santa Maria Palangka Raya, ratusan pasang mata tertuju pada tanah lapang tepat di bawah simbol salib.
Tidak ada sorotan lampu, dan tidak ada efek suara menggema. Namun di situlah justru keheningan berbicara merasuk ke hati.
Tablo atau dramatisasi jalan salib dipentaskan sebagai bagian dari peringatan Jumat Agung. Tablo ini merupakan visualisasi dari 14 pemberhentian dalam kisah sengsara Yesus.
Tablo ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah napas iman yang divisualisasikan. Sebuah drama visual yang nyaris tanpa dialog, tetapi kaya makna.
Tiap gerakan, tatapan, dan jatuhnya tubuh aktor di tanah, menuntun umat mengenang kembali kisah paling agung dalam iman Kristiani: sengsara dan wafat Kristus.
Umat diajak menyusuri jejak derita Yesus menuju Golgota. Sejak dijatuhi hukuman mati, memikul salib, jatuh berkali-kali, bertemu ibu-Nya, hingga akhirnya mati di kayu salib, lalu diturunkan dan dimakamkan. Tiap adegan membawa lapisan emosi tersendiri. Sunyi, sedih, haru, dan pada akhirnya, refleksi.
Di balik pertunjukan yang berlangsung sekitar 90 menit ini, ada kerja keras, pengorbanan waktu, dan terutama penyerahan batin. Para pemeran bukan aktor profesional.
Mereka adalah orang-orang muda Katolik (OMK) dan misdinar Santo Tarsisius, yang selama sebulan lebih menghabiskan akhir pekan mereka untuk berlatih.
Bagi mereka, memerankan tokoh dalam kisah ini bukan sekadar akting, tetapi perjalanan spiritual pribadi.
Salah satunya Daniel Axcel Adi Widya, yang tahun ini dipercaya memerankan Yesus. Pemuda berusia 20 tahun itu mengaku memerankan tokoh sentral merupakan tantangan besar, baik secara fisik maupun mental.
“Awalnya saya sempat ragu, merasa belum cukup siap secara spiritual. Tapi setelah menjalani latihan dan pendalaman, saya memutuskan untuk menerima peran ini dengan ikhlas,” tuturnya, Jumat pagi (18/4/2025).
Baginya, adegan paling membekas adalah saat dicambuk dan disalibkan. Semua adegan dijalani dengan sungguh-sungguh, tanpa rekayasa.
“Saat saya merasakan cambukan itu, saya membayangkan penderitaan yang Yesus alami. Dari situ saya makin menyadari betapa besar kasih-Nya kepada kita,” ucapnya lirih.
Melalui tablo ini, Daniel berharap umat yang hadir makin sadar bahwa kasih Tuhan tak memandang latar belakang.
“Pesan saya sangat sederhana, jangan takut untuk kembali kepada Allah. Dia selalu membuka tangan-Nya bagi siapa pun yang ingin bertobat,” ucapnya penuh keyakinan.
Pementasan ini merupakan bagian dari rangkaian Pekan Suci, sebagai bentuk perenungan mendalam atas pengorbanan Yesus Kristus dalam menebus dosa umat manusia, sekaligus rangkaian perayaan Paskah.
Salah satu pendamping tablo, Josefin, menyebut naskah yang digunakan merupakan adaptasi dari naskah yang telah ada sebelumnya, tetapi diberi sentuhan kreatif agar lebih kontekstual dan menyentuh hati.
“Kami tambahkan elemen musikal, seperti lagu-lagu pengiring pada adegan Yesus bertemu Bunda Maria dan saat Yesus diturunkan dari salib. Tujuannya agar umat bisa lebih merasakan kedalaman emosional dari tiap peristiwa,” katanya.
Menurut Josefin, meski urutan perhentian selalu sama, tetapi selalu ada pesan khusus yang ingin ditonjolkan.
“Tahun ini kami ingin menekankan besarnya cinta dan penderitaan Yesus. Kami berharap umat dapat merasakan, meskipun hanya sedikit, penderitaan yang pernah dialami Yesus demi menyelamatkan manusia,” jelasnya.
Sementara itu, Pastor Patrisius Alu Tampu menambahkan, tablo ini menjadi sarana membumikan kisah sengsara Yesus Kristus, agar lebih mudah dicerna dan dihayati umat.
“Biasanya kita merenungkan kisah ini melalui kitab suci. Melalui visualisasi seperti ini, umat bisa lebih mudah memahami secara emosional dan spiritual penderitaan Yesus,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Pastor Patrisius mengatakan penderitaan Kristus adalah wujud cinta kasih yang amat besar.
“Melalui tablo ini, kami ingin menyampaikan bahwa kisah penderitaan yang kita saksikan hari ini bukanlah tanpa makna. Seperti Yesus, kita pun dipanggil untuk tetap mengasihi, mengampuni, dan berharap pada pertolongan Tuhan di tengah kesulitan,” jelasnya.
Pantauan Kalteng Pos menunjukkan antusiasme umat sangat tinggi. Ratusan orang memadati halaman gereja, menyimak tiap adegan dengan khusyuk.
Tak sedikit yang meneteskan air mata, terutama pada adegan-adegan yang secara nyata menggambarkan penderitaan Yesus. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa larut dalam suasana doa dan refleksi.
Lebih dari sekadar tradisi liturgis, pementasan tablo menjadi sarana evangelisasi yang kuat. Umat yang hadir tidak hanya menonton, tetapi juga diajak untuk masuk dalam misteri iman: sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.
“Pesan utama dari tablo ini adalah pertobatan sejati. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk sesama, lingkungan, dan dunia. Kita semua dipanggil menjadi saksi kasih dan kebangkitan Kristus melalui hidup yang benar dan penuh cinta kasih,” tutup Pastor Patrisius. (ovi/ce/ram)