Di balik cita rasa gurih ikan asin khas Seruyan, tersimpan kerja keras, doa, dan tradisi panjang para perajin lokal yang tak gentar menghadapi terik matahari dan musim hujan. Tiap pagi, sebelum menyentuh air laut, para nelayan di Kuala Pembuang lebih dahulu memanjatkan doa
NOVIA NADYA CLAUDIA, Kuala Pembuang
MENTARI baru saja naik di ufuk timur. Menyibak kabut tipis yang menyelimuti kawasan Pasar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Pembuang, Desa Sungai Undang, Kecamatan Seruyan Hilir, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Sinar keemasan pagi itu, memantul di atas hamparan ikan asin yang tengah dijemur, menyajikan pemandangan khas pesisir.
Deretan nampan berisi ikan yang telah diasinkan, berjajar rapi di kawasan TPI Kuala Pembuang. Aroma asin yang tajam menyeruak ke udara, menyatu dengan hiruk pikuk aktivitas para perajin ikan asin yang sejak subuh telah memulai pekerjaan.
Mereka datang dengan semangat yang nyaris tak tergoyahkan. Sebagian besar adalah ibu-ibu tangguh, yang dengan cekatan memisahkan ikan berdasarkan jenis, membersihkan sisik dan isi perut ikan, lalu melumurinya dengan garam.
Proses ini bukan pekerjaan ringan. Butuh ketekunan dan ketelitian agar hasil akhirnya bisa menggoda lidah para pembeli.
“Kami mulai bekerja sejak pukul lima pagi, kadang lebih awal. Setelah salat Subuh, meminta doa agar diberi keselamatan dan hasil yang bagus, yang laki-laki langsung ke laut atau ke dermaga untuk mencari ikan segar,” ucap Hj Aluh, seorang pekerja senior yang telah bergelut di dunia ikan asin sejak era Presiden Soeharto. Pada usia yang tak muda lagi, tangannya tetap cekatan memilah ikan selungsungan dari belanak.
Menurut Hj Aluh, proses pengolahan ikan asin dimulai dari tahap sortir, dilanjutkan pencucian, lalu marinasi dalam garam atau yang mereka sebut ‘diuyah’.
Untuk ikan kecil, proses marinasinya selama satu malam, sementara ikan besar memakan waktu hingga dua malam agar bumbu meresap sempurna.
“Setelah itu, barulah dijemur. Kalau cuacanya panas terik seperti sekarang, dua hari cukup. Namun kalau musim hujan, bisa lebih lama. Itu tantangannya,” katanya sembari sesekali menatap langit, seolah membaca ramalan cuaca dari gerak awan.
Ikan asin dari kawasan ini sangat populer. Selain harganya terjangkau, rasanya pun dikenal gurih dan tahan lama. Jenis ikan yang diolah pun beragam.
Mulai dari ikan pari yang dijual Rp30-35 ribu per kilogram, belanak Rp40 ribu, selungsungan Rp30 ribu, ikan otek Rp35 ribu, hingga tenggiri yang harganya bisa mencapai Rp110 ribu per kilogram.
Aktivitas para perajin ikan asin ini tak kenal waktu. Jika hasil tangkapan melimpah, pekerjaan bisa berlangsung hingga malam hari. Namun, semua dijalani dengan ikhlas, karena dari sinilah sumber penghidupan mereka berasal.
Di tengah gempuran makanan instan dan produk pabrikan, ikan asin buatan tangan para perajin Seruyan tetap menjadi primadona di dapur-dapur warga Seruyan dan sekitarnya.
Tiap butir garam yang menempel, tiap lembar daging ikan yang mengering di bawah mentari, menyimpan cerita kerja keras, doa, dan semangat hidup masyarakat pesisir.
Di tengah arus modernisasi dan produksi massal, masyarakat Kuala Pembuang tetap bertahan dengan cara mereka sendiri. Mereka menjual bukan hanya ikan asin, tetapi juga cerita tentang laut, tentang tanah, dan tentang tangan-tangan terampil yang menjaga rasa agar tetap hidup.(*/ce/ala)