Sabtu, November 23, 2024
24.3 C
Palangkaraya

7 Ikan Sapan (Langka) Menjadi Santapan

7 Hari Bersama Geng Kapak, Seniman dan Budayawan Kalteng

Berjuta cerita terekam sejauh perjalanan ke Murung Raya. Pergolakan logika dan metafisika melengkapi karya para komunitas seni budaya alias kombud yang ikut ke sana. Kontinuitas angka 7 menjadi inklusi tersendiri untuk dibagi. Boleh dianggap kebetulan. Bisa diyakini sarat pesan.

ALBERT M SHOLEH, Palangka Raya

HARI pertama dan kedua di Kota Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya. Ketiga dan keempat di Desa Tumbang Apat. Kelima dan keenam di Desa Tumbang Olong. Banyak legenda dan fakta menjadi bahan omongan.

Pukul 21.00 Wib rombongan tiba di kediaman Kepala Desa Tumbang Olong 2 Seger Satria SIP. Sambutan luar biasa diberikan tuan rumah kepada tamunya. Ritual potong pantan dipimpin tokoh adat setempat. Ada juga Camat Uut Murung Milwan Admaja dan Kepala Desa Tumbang Olong 1 Tarigan.

Baca Juga :  Momentum Generasi Muda Mempertahankan Seni dan Budaya

Di ruang tengah rumah kades, hampir tengah malam. Perbincangan lengkap dengan sejumlah kudapan, diawali Ketua Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR) Jimy O andin sebagai kepala rombongan menjelaskan tujuannya.

Mendadak suara riuh terdengar dari depan rumah. Seketika masuk membawa boks berisi ikan sapan. Warga setempat percaya ikan sapan adalah makanan nenek moyang dan para raja terdahulu. Munculnya ikan sapan dianggap berkah.

“Ini pertanda baik. Tidak semua tamu yang pesan ikan sapan mendapatkannya walaupun 1 ekor saja. Ini malah 7 ekor. Biasa ada tamu selalu kita pesan warga carikan ikan sapan dengan cara ditombak. Ini baru pertama kalinya,” ucap sang tuan rumah, Seger.

Ikan sapan dianggap langka. Susah mencarinya. Jauh tempatnya. Apalagi menangkapnya bermodal tombak saja.
Bisa jadi karena proses tersebut, daging ikan sapan terasa tebal dan lembut. Sedikit duri. Telurnya sangat lezat dimasak dengan bumbu lengkuas hutan.

Baca Juga :  Sayangnya, Medali Itu Bukan untuk Kalteng

7 Hari Bersama Geng Kapak, Seniman dan Budayawan Kalteng

Berjuta cerita terekam sejauh perjalanan ke Murung Raya. Pergolakan logika dan metafisika melengkapi karya para komunitas seni budaya alias kombud yang ikut ke sana. Kontinuitas angka 7 menjadi inklusi tersendiri untuk dibagi. Boleh dianggap kebetulan. Bisa diyakini sarat pesan.

ALBERT M SHOLEH, Palangka Raya

HARI pertama dan kedua di Kota Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya. Ketiga dan keempat di Desa Tumbang Apat. Kelima dan keenam di Desa Tumbang Olong. Banyak legenda dan fakta menjadi bahan omongan.

Pukul 21.00 Wib rombongan tiba di kediaman Kepala Desa Tumbang Olong 2 Seger Satria SIP. Sambutan luar biasa diberikan tuan rumah kepada tamunya. Ritual potong pantan dipimpin tokoh adat setempat. Ada juga Camat Uut Murung Milwan Admaja dan Kepala Desa Tumbang Olong 1 Tarigan.

Baca Juga :  Momentum Generasi Muda Mempertahankan Seni dan Budaya

Di ruang tengah rumah kades, hampir tengah malam. Perbincangan lengkap dengan sejumlah kudapan, diawali Ketua Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR) Jimy O andin sebagai kepala rombongan menjelaskan tujuannya.

Mendadak suara riuh terdengar dari depan rumah. Seketika masuk membawa boks berisi ikan sapan. Warga setempat percaya ikan sapan adalah makanan nenek moyang dan para raja terdahulu. Munculnya ikan sapan dianggap berkah.

“Ini pertanda baik. Tidak semua tamu yang pesan ikan sapan mendapatkannya walaupun 1 ekor saja. Ini malah 7 ekor. Biasa ada tamu selalu kita pesan warga carikan ikan sapan dengan cara ditombak. Ini baru pertama kalinya,” ucap sang tuan rumah, Seger.

Ikan sapan dianggap langka. Susah mencarinya. Jauh tempatnya. Apalagi menangkapnya bermodal tombak saja.
Bisa jadi karena proses tersebut, daging ikan sapan terasa tebal dan lembut. Sedikit duri. Telurnya sangat lezat dimasak dengan bumbu lengkuas hutan.

Baca Juga :  Sayangnya, Medali Itu Bukan untuk Kalteng

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/