Di balik kerajinan getah nyatu, ada kisah perjuangan seorang perempuan bernama Surtiati (59) yang rela meninggalkan kariernya demi melestarikan warisan budaya. Namun, kini ia dihadapkan dengan ketersediaan bahan baku yang semakin sulit di dapat.
NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya
DI sebuah rumah di Jalan Kerandang IV, Palangka Raya, Surtiati duduk di ruangan yang penuh dengan miniatur perahu, telawang, dan berbagai kerajinan khas suku Dayak. Tangannya sesekali meraba permukaan halus sebuah perahu kecil yang sudah jadi. Namun, di balik keindahan karya-karya itu, ada keresahan yang tak kunjung reda, kelangkaan bahan baku getah nyatu yang semakin menjadi ancaman bagi kelangsungan usahanya.
Surtiati bukanlah pendatang baru dalam dunia kerajinan getah nyatu. Sejak 1997, ia telah meninggalkan profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membantu suaminya mengembangkan usaha ini. Dengan kecintaan yang mendalam terhadap budaya Kalimantan Tengah, ia berhasil membawa kerajinan getah nyatu ke panggung internasional. Salah satu pencapaiannya yang membanggakan adalah saat ia meraih juara dua dalam ajang promosi di Jerman.
Namun, seiring berjalannya waktu, bahan baku utama yang menjadi ruh dari kerajinan ini semakin sulit didapat. Pohon getah nyatu, yang selama ini tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan, semakin terpinggirkan oleh ekspansi perkebunan sawit.
“Dulu, saya bisa mendapatkan bahan baku dari Muara Teweh dan Kandui. Sekarang, di sana sudah jadi kebun sawit semua,” ujar Surtiati dengan nada kecewa.
Kini, untuk mendapatkan getah nyatu, Surtiati harus mengandalkan pasokan dari daerah Takaras dan sesekali dari Pangkalan Bun. Padahal, permintaan terhadap kerajinannya terus meningkat. Pesanan datang dari berbagai instansi, mulai dari Kantor Gubernur, DPRD Kota, RSUD Palangka Raya, hingga Bank Kalteng. Bahkan, pada tahun 2013, ia pernah menerima pesanan dari Herawati Budiono, istri Wakil Presiden RI saat itu, berupa miniatur perahu berukuran satu meter.
Dengan keterbatasan bahan baku, Surtiati juga terpaksa menolak beberapa pesanan besar, termasuk peluang ekspor.
“Pernah ada yang ingin bekerja sama agar produk ini bisa diekspor. Tapi saya tolak, karena saya khawatir tidak bisa memenuhi permintaan akibat keterbatasan bahan baku dan tenaga kerja,” katanya.
Surtiati tidak sendiri dalam menjalankan usaha ini. Ia dibantu adiknya, Silawaliadi, serta anak-anaknya. Silawaliadi, di teras rumah itu, dengan cekatan, membentuk getah nyatu yang telah dipanaskan menjadi berbagai komponen miniatur. Satu per satu, potongan-potongan itu disusun hingga menyerupai perahu lengkap dengan figur suku Dayak yang mendayung di atasnya.
Proses pembuatan kerajinan ini membutuhkan ketelitian tinggi. Getah nyatu harus direbus agar lunak dan elastis, lalu digiling hingga mencapai ketebalan tertentu. Setelah itu, getah kembali direbus sebelum diwarnai agar lebih awet dan menyerap sempurna. Dalam keadaan panas, bahan ini kemudian dibentuk menjadi berbagai miniatur khas budaya Dayak. Nantinya, miniatur akan direndam ke dalam air dingin agar cepat keras.
Dengan satu kilogram getah nyatu, Surtiati bisa membuat satu miniatur perahu berukuran sedang. Harga produknya pun bervariasi, mulai dari Rp15 ribu untuk gantungan kunci hingga belasa juta, tergantung bentuk dan ukuran. Salah satu karyanya yang paling prestisius adalah lambang Garuda berukuran dua meter yang dibuat atas pesanan DPRD Kota Palangka Raya.
Bahkan, dalam setahun, omzet usahanya bisa mencapai Rp700 juta pada tahun 2024. Namun, angka ini berpotensi menurun jika pasokan bahan baku terus menyusut.
Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan, Surtiati tidak tinggal diam. Ia mulai berupaya membudidayakan pohon nyatu agar ketersediaan bahan baku tetap terjaga.
“Saya sudah sering menyuarakan ini ke pemerintah. Kalimantan Tengah harus mulai membudidayakan pohon nyatu, karena selama ini kami hanya mengandalkan pohon liar,” ujarnya.
Jika budidaya pohon nyatu berhasil, bukan hanya keberlanjutan usaha yang terjaga, tetapi juga pelestarian budaya Kalimantan Tengah. Surtiati berharap pemerintah daerah bisa memberikan dukungan nyata, baik dalam bentuk regulasi maupun pendampingan bagi para pengrajin.
Di usia 59 tahun, Surtiati masih memiliki impian besar, melihat generasi muda melanjutkan tradisi kerajinan getah nyatu. Ia ingin anak-anak muda tidak hanya mengenal budaya Dayak dari cerita, tetapi juga melalui karya yang nyata.
“Saya ingin warisan ini tetap hidup. Jangan sampai nanti generasi mendatang hanya tahu dari buku sejarah, tanpa pernah melihat dan menyentuh langsung keindahan kerajinan ini,” tuturnya dengan penuh harap.
Di rumahnya itu, Surtiati terus bekerja. Setiap potongan getah yang ia bentuk bukan sekadar kerajinan, tetapi juga simbol perjuangan menjaga tradisi di tengah arus modernisasi. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Meski usia tak lagi muda, tapi selama tangannya masih mampu membentuk getah nyatu, dan selama ada yang ingin belajar, ia akan terus berkarya, menjaga warisan budaya Kalimantan Tengah agar tetap lestari. (*/ala)