Kamis, November 21, 2024
24.5 C
Palangkaraya

Menapaktilasi Jejak Perjuangan Tokoh Islam di Tanah Barito (17)

Puluhan Tahun Berjuang, Gugur di Medan Pertempuran

 Gempuran pasukan Sultan Muhammad Seman mendapat perlawanan sengit dari serdadu Belanda. Suatu ketika, benteng yang dibangun pasukan Sultan Muhammad Seman diserang Belanda. Mereka pun terdesak. Alhasil benteng itu tak bisa dipertahankan, kemudian dibakar serdadu Belanda. Meski demikian, perlawanan tak pernah pudar. Sultan bersama pejuang yang tersisa terus menggalang kekuatan.

ANISA B WAHDAH, Puruk Cahu

 KISAH perjuangan Sultan Muhammad Seman hingga dimakamkan di tanah Kalteng, tak lepas dari cerita panjang ayahnya, Pangeran Antasari. Sang ayah merupakan seorang pejuang Islam keturunan Kesultanan Banjar. Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, lalu meninggal dunia di Bayan Begok, Hindia Belanda, yang kala ini disebut Desa Sampirang, Kabupaten Barito Utara (Batara), 11 Oktober 1862 pada usia 53 tahun. Pangeran Antasari merupakan pahlawan nasional Indonesia yang turut berjuang melawan penjajah Belanda.

Pada 14 Maret 1862, Sultan Muhammad Seman dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar, dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati atau Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

 Cikal bakal lahirnya Sultan Muhammad Seman diawali dari adanya perang Banjar atau juga disebut Perang Barito. Perang ini juga dikenal dengan sebutan Perang Banjar, karena saat itu perang ini terjadi di wilayah Banjar. Melanjutkan perjuangan dengan melakukan taktik perang gerilya ke wilayah hulu Sungai Barito, sehingga ada yang menyebut Perang Banjar atau Perang Barito.

Baca Juga :  Para Penghuni Panti Diajak Berkebun hingga Bermain Musik

Sultan Muhammad Seman sangat dekat dengan masyarakat suku Dayak Murung. Hal itu karena sang ibu, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tak lain merupakan saudara dari Tumenggung Surapati, pejuang yang menenggelamkan Kapal Onrust pada pertempuran di Sungai Barito, 26 Desember 1859.

Sultan Muhammad Seman terus melakukan perlawanan, walau teman-teman seperjuangannya seperti Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durrakhman menyerah pada pemerintah Belanda. Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Seman yang juga biasa disapa Gusti Matseman melanjutkan perjuangan sang ayah yang wafat karena jatuh sakit.

Pada 8 November 1862, Sultan Muhammad Seman membentuk kerajaan dengan ibu kota Muara Teweh. Belanda juga pernah menjadikan Muara Teweh sebagai benteng pertahanan. Bekas bangunannya masih bisa terlihat hingga sekarang ini, yakni di markas Polres Batara, eks Kantor Satpol PP, dan Lapas Muara Teweh.

“Sejak kepergian ayahnya, perjuangan Gusti Matseman melawan penjajah Belanda dimulai tahun 1862, dengan dibantu para pengikut ayahnya,” kata Sekretaris Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Kalteng Akhmad Supriadi kepada Kalteng Pos saat ditemui di Palangka Raya, Sabtu (8/4).

Dosen Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini menceritakan, setelah kurang lebih 44 tahun berjuang melawan penjajah, Gusti Matseman akhirnya meninggal dunia di medan pertempuran pada perang yang terjadi tahun 1905. Jenazahnya dimakamkan di Puruk Cahu. Matseman dikenal sebagai pejuang yang lahir, besar, berjuang, dan meninggal di Puruk Cahu. Tidak salah jika ia dimakamkan di Kota Puruk Cahu.

Baca Juga :  Serius Tangani Karhutla

“Saat itu makam beliau (Matseman,red) berada di perbukitan, memang Puruk Cahu kontur wilayahnya berbukit, tapi saat ini wilayah sekitar makam sudah ramai karena makin banyak rumah-rumah warga,” sebutnya.

Makam Sultan Muhammad Seman kini selalu dikunjungi oleh peziarah. Sebab, ada tradisi masyarakat Kalimantan yang memercayai bahwa dengan mengunjungi atau berziarah ke makam-makam para pahlawan, orang-orang saleh, atau orang suci bisa mendatangkan berkah.

“Nama Gusti Matseman dikenal sebagai pahlawan Perang Banjar atau Perang Barito, saya melihat makam beliau sangat terawat dan dipelihara dengan baik. Mungkin makam ini menjadi situs budaya di daerah Barito,” jelas pria 44 tahun ini.

Di Kota Puruk Cahu, kata dia, masih ada orang-orang yang disebut-sebut merupakan keturunan Pangeran Antasari dan Gusti Matseman. Merujuk pada sejarah ini, tidak heran jika di wilayah Puruk Cahu mudah menemui warga suku Banjar. Bahkan ada kampung tertentu yang menjadi basis suku Banjar. (bersambung/ce/ala)

 Gempuran pasukan Sultan Muhammad Seman mendapat perlawanan sengit dari serdadu Belanda. Suatu ketika, benteng yang dibangun pasukan Sultan Muhammad Seman diserang Belanda. Mereka pun terdesak. Alhasil benteng itu tak bisa dipertahankan, kemudian dibakar serdadu Belanda. Meski demikian, perlawanan tak pernah pudar. Sultan bersama pejuang yang tersisa terus menggalang kekuatan.

ANISA B WAHDAH, Puruk Cahu

 KISAH perjuangan Sultan Muhammad Seman hingga dimakamkan di tanah Kalteng, tak lepas dari cerita panjang ayahnya, Pangeran Antasari. Sang ayah merupakan seorang pejuang Islam keturunan Kesultanan Banjar. Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, lalu meninggal dunia di Bayan Begok, Hindia Belanda, yang kala ini disebut Desa Sampirang, Kabupaten Barito Utara (Batara), 11 Oktober 1862 pada usia 53 tahun. Pangeran Antasari merupakan pahlawan nasional Indonesia yang turut berjuang melawan penjajah Belanda.

Pada 14 Maret 1862, Sultan Muhammad Seman dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar, dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati atau Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

 Cikal bakal lahirnya Sultan Muhammad Seman diawali dari adanya perang Banjar atau juga disebut Perang Barito. Perang ini juga dikenal dengan sebutan Perang Banjar, karena saat itu perang ini terjadi di wilayah Banjar. Melanjutkan perjuangan dengan melakukan taktik perang gerilya ke wilayah hulu Sungai Barito, sehingga ada yang menyebut Perang Banjar atau Perang Barito.

Baca Juga :  Para Penghuni Panti Diajak Berkebun hingga Bermain Musik

Sultan Muhammad Seman sangat dekat dengan masyarakat suku Dayak Murung. Hal itu karena sang ibu, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tak lain merupakan saudara dari Tumenggung Surapati, pejuang yang menenggelamkan Kapal Onrust pada pertempuran di Sungai Barito, 26 Desember 1859.

Sultan Muhammad Seman terus melakukan perlawanan, walau teman-teman seperjuangannya seperti Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durrakhman menyerah pada pemerintah Belanda. Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Seman yang juga biasa disapa Gusti Matseman melanjutkan perjuangan sang ayah yang wafat karena jatuh sakit.

Pada 8 November 1862, Sultan Muhammad Seman membentuk kerajaan dengan ibu kota Muara Teweh. Belanda juga pernah menjadikan Muara Teweh sebagai benteng pertahanan. Bekas bangunannya masih bisa terlihat hingga sekarang ini, yakni di markas Polres Batara, eks Kantor Satpol PP, dan Lapas Muara Teweh.

“Sejak kepergian ayahnya, perjuangan Gusti Matseman melawan penjajah Belanda dimulai tahun 1862, dengan dibantu para pengikut ayahnya,” kata Sekretaris Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Kalteng Akhmad Supriadi kepada Kalteng Pos saat ditemui di Palangka Raya, Sabtu (8/4).

Dosen Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini menceritakan, setelah kurang lebih 44 tahun berjuang melawan penjajah, Gusti Matseman akhirnya meninggal dunia di medan pertempuran pada perang yang terjadi tahun 1905. Jenazahnya dimakamkan di Puruk Cahu. Matseman dikenal sebagai pejuang yang lahir, besar, berjuang, dan meninggal di Puruk Cahu. Tidak salah jika ia dimakamkan di Kota Puruk Cahu.

Baca Juga :  Serius Tangani Karhutla

“Saat itu makam beliau (Matseman,red) berada di perbukitan, memang Puruk Cahu kontur wilayahnya berbukit, tapi saat ini wilayah sekitar makam sudah ramai karena makin banyak rumah-rumah warga,” sebutnya.

Makam Sultan Muhammad Seman kini selalu dikunjungi oleh peziarah. Sebab, ada tradisi masyarakat Kalimantan yang memercayai bahwa dengan mengunjungi atau berziarah ke makam-makam para pahlawan, orang-orang saleh, atau orang suci bisa mendatangkan berkah.

“Nama Gusti Matseman dikenal sebagai pahlawan Perang Banjar atau Perang Barito, saya melihat makam beliau sangat terawat dan dipelihara dengan baik. Mungkin makam ini menjadi situs budaya di daerah Barito,” jelas pria 44 tahun ini.

Di Kota Puruk Cahu, kata dia, masih ada orang-orang yang disebut-sebut merupakan keturunan Pangeran Antasari dan Gusti Matseman. Merujuk pada sejarah ini, tidak heran jika di wilayah Puruk Cahu mudah menemui warga suku Banjar. Bahkan ada kampung tertentu yang menjadi basis suku Banjar. (bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/