Kamis, November 21, 2024
28.6 C
Palangkaraya

Belajar Nulis Aksara Jawa Malah Dikira Bikin Mantra Jimat

Budaya Jawa kuno bukan hanya aksara hanacaraka. Ada simbol-simbol khusus yang menarik untuk didalami. Itulah yang membuat anggota Banyu Mangsi semakin penasaran dan terus belajar.

FERLYNDA PUTRI, Jawa Pos

“SAYA belajar nulis (Jawa) di kantor malah dikira bikin mantra jimat,” kata Tomi Febrianto, lantas terkekeh. Apalagi, waktu itu dia menulisnya di daun lontar. Tomi adalah salah seorang anggota komunitas Banyu Mangsi. Pengalaman Tomi sering pula dirasakan sesama anggota komunitas itu. Orang yang tidak tahu menyangka mereka suka klenik. Tentu saja, hal tersebut terkadang membuat para anggota komunitas yang berbasis di Jogja itu merasa gusar. Mereka resah karena belajar budaya Jawa dianggap sedang belajar klenik.

Tidak semua anggota komunitas itu berasal dari Jawa. Akbar Muhibar misalnya. Dia berasal dari Minang. Namun, dia suka mendalami budaya Jawa. Setelah bergabung dengan Banyu Mangsi, Akbar merasa makin cinta pada budaya Jawa.

Baca Juga :  Dua Kloter Tiba di Madinah, Seluruh Jemaah Sehat

Dia bahkan sudah bisa menulis dengan aksara Jawa. Akbar sempat menunjukkan buku catatannya. Awalnya, tulisannya memang tidak rapi. Namun, pada lembar-lembar terakhir, tulisannya mulai bagus. Dia juga memahami kata-kata Jawa yang bahkan sudah jarang diucapkan. “Saya tahu saat diajak ngomong pakai bahasa Jawa, tapi untuk menanggapi belum bisa,” bebernya.

Akbar merasa bahwa budaya Jawa itu indah sekaligus unik lantaran memiliki aksara sendiri. Selain itu, ada simbol-simbol yang penuh makna. Misalnya, wayang, simbol di bangunan sejarah, tembang, dan simbol lain yang membuatnya terkesima. Ternyata, apa yang dilihat dengan mata bisa memiliki arti yang tak hanya indah. Menurut Akbar, pemaknaannya bisa lebih luas. “Semakin dipelajari, semakin membuat kita ingin belajar lagi,” ujarnya. Akbar kini merasa tertantang mendalami Jawa Kawi dan bahasa Jawa lain yang lebih kuno. “Kenapa ya (orang-orang, Red) seolah ingin melupakan, padahal kalau didalami bagus sekali,” imbuhnya.

Baca Juga :  Bulan Depan, Wakili Indonesia pada Event se-Asia

Akbar dan Tomi adalah awal dari Banyu Mangsi terbentuk. Ditambah satu anggota lagi yang hanya mau disebut dengan nama Pakdjo. Entah mengapa dia enggan disebutkan nama aslinya. Mereka awalnya belajar menulis Jawa pada 2019. Aksara hanacaraka yang berbeda dengan tulisan Latin membuat mereka tertarik belajar di sebuah institusi yang akhirnya kelasnya bubar.

Budaya Jawa kuno bukan hanya aksara hanacaraka. Ada simbol-simbol khusus yang menarik untuk didalami. Itulah yang membuat anggota Banyu Mangsi semakin penasaran dan terus belajar.

FERLYNDA PUTRI, Jawa Pos

“SAYA belajar nulis (Jawa) di kantor malah dikira bikin mantra jimat,” kata Tomi Febrianto, lantas terkekeh. Apalagi, waktu itu dia menulisnya di daun lontar. Tomi adalah salah seorang anggota komunitas Banyu Mangsi. Pengalaman Tomi sering pula dirasakan sesama anggota komunitas itu. Orang yang tidak tahu menyangka mereka suka klenik. Tentu saja, hal tersebut terkadang membuat para anggota komunitas yang berbasis di Jogja itu merasa gusar. Mereka resah karena belajar budaya Jawa dianggap sedang belajar klenik.

Tidak semua anggota komunitas itu berasal dari Jawa. Akbar Muhibar misalnya. Dia berasal dari Minang. Namun, dia suka mendalami budaya Jawa. Setelah bergabung dengan Banyu Mangsi, Akbar merasa makin cinta pada budaya Jawa.

Baca Juga :  Dua Kloter Tiba di Madinah, Seluruh Jemaah Sehat

Dia bahkan sudah bisa menulis dengan aksara Jawa. Akbar sempat menunjukkan buku catatannya. Awalnya, tulisannya memang tidak rapi. Namun, pada lembar-lembar terakhir, tulisannya mulai bagus. Dia juga memahami kata-kata Jawa yang bahkan sudah jarang diucapkan. “Saya tahu saat diajak ngomong pakai bahasa Jawa, tapi untuk menanggapi belum bisa,” bebernya.

Akbar merasa bahwa budaya Jawa itu indah sekaligus unik lantaran memiliki aksara sendiri. Selain itu, ada simbol-simbol yang penuh makna. Misalnya, wayang, simbol di bangunan sejarah, tembang, dan simbol lain yang membuatnya terkesima. Ternyata, apa yang dilihat dengan mata bisa memiliki arti yang tak hanya indah. Menurut Akbar, pemaknaannya bisa lebih luas. “Semakin dipelajari, semakin membuat kita ingin belajar lagi,” ujarnya. Akbar kini merasa tertantang mendalami Jawa Kawi dan bahasa Jawa lain yang lebih kuno. “Kenapa ya (orang-orang, Red) seolah ingin melupakan, padahal kalau didalami bagus sekali,” imbuhnya.

Baca Juga :  Bulan Depan, Wakili Indonesia pada Event se-Asia

Akbar dan Tomi adalah awal dari Banyu Mangsi terbentuk. Ditambah satu anggota lagi yang hanya mau disebut dengan nama Pakdjo. Entah mengapa dia enggan disebutkan nama aslinya. Mereka awalnya belajar menulis Jawa pada 2019. Aksara hanacaraka yang berbeda dengan tulisan Latin membuat mereka tertarik belajar di sebuah institusi yang akhirnya kelasnya bubar.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/