Kamis, November 21, 2024
26.5 C
Palangkaraya

Belajar Nulis Aksara Jawa Malah Dikira Bikin Mantra Jimat

Karena merasa masih kurang ilmu yang didapat, mereka bertiga kemudian melanggengkan kegiatan tersebut. Buku-buku yang ditulis dengan aksara Jawa baru sedikit dipelajari. Beruntung, Pakdjo seorang abdi dalem dan menjadi guru budaya Jawa pada komunitas lain. Ilmunya cukup banyak.

Seiring berjalannya waktu, anggota semakin banyak. Tiap anggota mengajak teman meski beberapa saja yang bertahan. Menurut Tomi, mereka yang sekarang terkumpul adalah angsor lan jodho, berjodoh dalam hal baik. Mereka saling melengkapi. Tak ada yang jadi guru.

Latar belakang pekerjaan mereka memang beragam. Ada yang seniman, akuntan, arkeolog, bahkan ibu rumah tangga. Keberagaman latar belakang itulah yang disebut Tomi dengan istilah angsor lan jodho. Winda Artista yang seorang arkeolog, misalnya, membantu mereka memahami mengapa ungkapan atau simbol-simbol tertentu bisa lahir. “Kalau zaman dulu, menandai sebuah kejadian itu tidak dengan waktu, tapi dengan istilah,” beber Winda.

Baca Juga :  Dua Kloter Tiba di Madinah, Seluruh Jemaah Sehat

Misalnya, saat pembuatan candi. Dalam prasasti atau keterangan di candi, tidak ditulis tahun pembuatan. Karena itu, agar lebih paham, perlu telaah lebih lanjut dari latar belakang ungkapan atau simbol yang muncul. “Kami ini tidak hanya membaca dan menulis,” kata Pakdjo. Kalau belajar hanya berhenti di kelas, Pakdjo yakin bakal bubar. Ilmu yang didapat juga bisa jadi cepat dilupakan. Untuk itu, mereka punya kegiatan jalan-jalan.

Mereka pergi ke tempat-tempat yang punya nilai sejarah. Merekonstruksi apa yang terjadi sesuai dengan serat atau kajian sejarah yang sudah ada. Misalnya, ke Kotagede, Jogjakarta. Tempat itu merupakan saksi berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Ada benteng dan peninggalan lain yang merupakan sisa kerajaan. Ada pula makam pendiri Kerajaan Mataram Islam. Setelah pergi ke tempat tersebut, mereka ternyata tak hanya belajar masa Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, peristiwa sebelumnya juga dijelaskan.

Baca Juga :  Bulan Depan, Wakili Indonesia pada Event se-Asia

Mereka juga pergi ke candi. Nah, ternyata bagi orang yang sensitif, tak boleh pergi ke banyak candi sekaligus. Tubuh dan pikirannya akan “capek” karena energi sekeliling yang berbeda-beda. Pakdjo mengibaratkan dalam satu hari pergi ke ruang ber-AC, lalu ke tempat yang panas, lalu ke dataran tinggi. “Nanti tubuhnya enggak nyaman. Sebab, meski yang dikunjungi itu benda mati, tempat itu menyimpan energi yang berbeda. Ini bukan soal mistis ya,” ungkapnya tegas.

Rizka Widyaningtyas pernah merasakan tersetrum di Candi Ijo. Yang membuatnya tersetrum bukan benda yang teraliri listrik, melainkan stupa. Batu.

“Saat itu kunjungan ke beberapa candi. Terus, Pakdjo nyuruh nyentuh stupa,” ceritanya. Yang terjadi, tangan kanan Rizka seolah teraliri listrik. Tentu itu membuatnya kaget. Kemudian, dia bertanya kepada Pakdjo mengapa bisa merasakan hal itu.

Karena merasa masih kurang ilmu yang didapat, mereka bertiga kemudian melanggengkan kegiatan tersebut. Buku-buku yang ditulis dengan aksara Jawa baru sedikit dipelajari. Beruntung, Pakdjo seorang abdi dalem dan menjadi guru budaya Jawa pada komunitas lain. Ilmunya cukup banyak.

Seiring berjalannya waktu, anggota semakin banyak. Tiap anggota mengajak teman meski beberapa saja yang bertahan. Menurut Tomi, mereka yang sekarang terkumpul adalah angsor lan jodho, berjodoh dalam hal baik. Mereka saling melengkapi. Tak ada yang jadi guru.

Latar belakang pekerjaan mereka memang beragam. Ada yang seniman, akuntan, arkeolog, bahkan ibu rumah tangga. Keberagaman latar belakang itulah yang disebut Tomi dengan istilah angsor lan jodho. Winda Artista yang seorang arkeolog, misalnya, membantu mereka memahami mengapa ungkapan atau simbol-simbol tertentu bisa lahir. “Kalau zaman dulu, menandai sebuah kejadian itu tidak dengan waktu, tapi dengan istilah,” beber Winda.

Baca Juga :  Dua Kloter Tiba di Madinah, Seluruh Jemaah Sehat

Misalnya, saat pembuatan candi. Dalam prasasti atau keterangan di candi, tidak ditulis tahun pembuatan. Karena itu, agar lebih paham, perlu telaah lebih lanjut dari latar belakang ungkapan atau simbol yang muncul. “Kami ini tidak hanya membaca dan menulis,” kata Pakdjo. Kalau belajar hanya berhenti di kelas, Pakdjo yakin bakal bubar. Ilmu yang didapat juga bisa jadi cepat dilupakan. Untuk itu, mereka punya kegiatan jalan-jalan.

Mereka pergi ke tempat-tempat yang punya nilai sejarah. Merekonstruksi apa yang terjadi sesuai dengan serat atau kajian sejarah yang sudah ada. Misalnya, ke Kotagede, Jogjakarta. Tempat itu merupakan saksi berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Ada benteng dan peninggalan lain yang merupakan sisa kerajaan. Ada pula makam pendiri Kerajaan Mataram Islam. Setelah pergi ke tempat tersebut, mereka ternyata tak hanya belajar masa Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, peristiwa sebelumnya juga dijelaskan.

Baca Juga :  Bulan Depan, Wakili Indonesia pada Event se-Asia

Mereka juga pergi ke candi. Nah, ternyata bagi orang yang sensitif, tak boleh pergi ke banyak candi sekaligus. Tubuh dan pikirannya akan “capek” karena energi sekeliling yang berbeda-beda. Pakdjo mengibaratkan dalam satu hari pergi ke ruang ber-AC, lalu ke tempat yang panas, lalu ke dataran tinggi. “Nanti tubuhnya enggak nyaman. Sebab, meski yang dikunjungi itu benda mati, tempat itu menyimpan energi yang berbeda. Ini bukan soal mistis ya,” ungkapnya tegas.

Rizka Widyaningtyas pernah merasakan tersetrum di Candi Ijo. Yang membuatnya tersetrum bukan benda yang teraliri listrik, melainkan stupa. Batu.

“Saat itu kunjungan ke beberapa candi. Terus, Pakdjo nyuruh nyentuh stupa,” ceritanya. Yang terjadi, tangan kanan Rizka seolah teraliri listrik. Tentu itu membuatnya kaget. Kemudian, dia bertanya kepada Pakdjo mengapa bisa merasakan hal itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/