Jumat, September 20, 2024
22.4 C
Palangkaraya

Penyandang Disabilitas yang Enggan Menyerah dengan Keadaan (2)

Supiani Menyasar Pasar dari Pagi, Siang, sampai Malam

ILHAM ROMADHONA, Palangka Raya

 

“INI (harganya, red) berapa, Pak?” tanya ibu-ibu sambil memegang kaca mata yang diambil dari rak dagangan. “Harganya 35 ribu, itu kaca mata polarized atau kaca mata anti silau, Bu,” jawab Supiani berusaha meyakinkan calon pembeli.

Supiani merupakan penyandang disabilitas yang saat ini berdagang kaca mata dan topi di area Pasar Baru A, Jalan Halmahera, Palangka Raya. Kaca mata yang dijualnya beragam jenisnya. Ada kaca mata plus, kaca mata minus, kata mata polarized, dan kaca mata antiradiasi. Bahkan kaca mata fashion juga tersedia. Harganya pun cukup terjangkau. “Kaca mata minus dijual Rp30 ribu, sedangkan kaca mata hias atau gaya-gayaan seharga Rp50 ribu,” tuturnya.

 

Pria kelahiran Martapura itu membuka lapak dagangnya dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Dari hasil berdagang kaca mata dan topi, Supiani bisa meraup omzet hingga Rp7 juta per bulan. Untuk pendapatan bersihnya sekitar Rp3 juta tiap bulan.

 

Supiani mengalami cacat kaki kiri sejak 2004 lalu setelah ia dan temannya mengalami kecelakaan di Kecamatan Basarang. Kala itu mereka dalam perjalanan dari dari Palangka Raya menuju Banjarmasin dengan menggunakan truk.

“Saat itu saya dan teman mau pulang ke Banjarmasin, lalu terjadi tabrakan antara truk dengan truk. Beruntung kami selamat setelah dilarikan ke rumah sakit di Kapuas untuk mendapatkan perawatan medis,” ungkapnya.

 

Yang membuat Supiani bangkit kembali karena mengikuti pelatihan keterampilan khusus disabilitas di Solo, Jawa Tengah. Ia cukup senang karena bisa berkumpul dengan sesama penyandang disabilitas.

Baca Juga :  Upayakan Korban Banjir Dapat Bansos

“Yang ikut pelatihan itu semuanya disabilitas, jadi saya termotivasi untuk lebih semangat lagi, karena ternyata ada banyak yang lebih parah kondisinya dari saya,” tuturnya.

 

Supiani berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Ia merantau ke Palangka Raya setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) tahun 1987. Karena perekonomian keluarganya tidak mampu untuk menyokong kelanjutan pendidikannya, ia pun memberanikan diri meminta izin ke orang tua untuk merantau ke Palangka Raya.

“Orang tua merestui, Mas. Makanya saya bisa ke Palangka Raya dengan niat bekerja. Namun terkendala karena belum cukup umur untuk bekerja, jadi saya tidak bekerja,” ucapnya kepada Kalteng Pos, beberapa hari lalu.

Suami dari Nur Chasanah ini juga pernah ikut tergabung dalam Yayasan Disabilitas di Solo. Tahun 2007, ia mendaftarkan diri ke Dinas Sosial Kalimantan Selatan untuk mengikuti pelatihan keterampilan khusus disabilitas, dengan tujuan menumbuhkan kepercayaan dirinya.

“Saya ikut pelatihan hanya setahun. Itu pelatihan khusus orang disabilitas. Misalnya orang itu suka servis elektronik, menjahit, membuat kerajinan, maka disana akan dibina dan diarahkan. Kebetulan saya ambil keahlian elektro,” beber pria kelahiran 1971 ini.

Setelah setahun mengikuti pelatihan di Solo, ayah dari Luthfia Apipah ini mulai membuka usaha mainan anak-anak. Supiani membuka lapak dagangan mainan kecil-kecilan demi bisa menyambung hidup. Dia menyasar ke pasar-pasar dadakan, selain mangkal di Pasar Besar.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

Tahun 2019 hingga 2020, pria yang berasal dari Martapura ini pernah mencicipi profesi ojek online. Namun ketika Palangka Raya dilanda pandemi Covid-19, lalu ada pembatasan aktivitas masyarakat, orderan pun mulai sepi. Kemudian Supiani memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai ojek online. Beruntungnya, ada teman yang ingin menyewa akun ojek online miliknya.

“Ya, kami bagi hasil lah dari sana,” candanya.

Setelah berhenti dari pekerjaan itu, Supian mulai berpikir untuk mendapatkan penghasilan dengan membuka usaha. Ia memberanikan diri untuk mulai berniaga kaca mata. Ia membuka lapak dagang di depan Pasar Baru. Menempelkan dagangan di samping lapak orang yang berjualan es teler. Kemudian lapak dagang Supiani pindah ke bagian dalam pasar karena sang penjual es teler tidak berjualan lagi.

“Baru tahun 2020 saya pindah ke sini (tempat yang sekarang, red),” ungkapnya.

 

Supiani menambahkan, jika kondisi fisiknya masih kuat, ia dan keluarga kecilnya biasanya membuka lapak dagang pada malam hari di pasar malam. Tentu saja atas persetujuan sang istri.

“Kalau ada pasar malam, saya dan keluarga buka lapak di sana. Malam Selasanya di Jalan Gurame. Malam Rabunya di Kalampangan. Malam Kamis di Pasar Kalibata. Pokoknya pindah-pindah terus,” sebutnya.

Untuk menambah pendapatan keluarga, istri Supiani berjualan kerupuk. Kerupuk-kerupuk yang diproduksinya dititipkan ke warung-warung.

“Istri jualan kerupuk haruan. Kami beli kerupuk mentahnya di Martapura, terus digoreng, lalu dititipkan ke warung-warung,” pungkasnya. (ce/ram)

ILHAM ROMADHONA, Palangka Raya

 

“INI (harganya, red) berapa, Pak?” tanya ibu-ibu sambil memegang kaca mata yang diambil dari rak dagangan. “Harganya 35 ribu, itu kaca mata polarized atau kaca mata anti silau, Bu,” jawab Supiani berusaha meyakinkan calon pembeli.

Supiani merupakan penyandang disabilitas yang saat ini berdagang kaca mata dan topi di area Pasar Baru A, Jalan Halmahera, Palangka Raya. Kaca mata yang dijualnya beragam jenisnya. Ada kaca mata plus, kaca mata minus, kata mata polarized, dan kaca mata antiradiasi. Bahkan kaca mata fashion juga tersedia. Harganya pun cukup terjangkau. “Kaca mata minus dijual Rp30 ribu, sedangkan kaca mata hias atau gaya-gayaan seharga Rp50 ribu,” tuturnya.

 

Pria kelahiran Martapura itu membuka lapak dagangnya dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Dari hasil berdagang kaca mata dan topi, Supiani bisa meraup omzet hingga Rp7 juta per bulan. Untuk pendapatan bersihnya sekitar Rp3 juta tiap bulan.

 

Supiani mengalami cacat kaki kiri sejak 2004 lalu setelah ia dan temannya mengalami kecelakaan di Kecamatan Basarang. Kala itu mereka dalam perjalanan dari dari Palangka Raya menuju Banjarmasin dengan menggunakan truk.

“Saat itu saya dan teman mau pulang ke Banjarmasin, lalu terjadi tabrakan antara truk dengan truk. Beruntung kami selamat setelah dilarikan ke rumah sakit di Kapuas untuk mendapatkan perawatan medis,” ungkapnya.

 

Yang membuat Supiani bangkit kembali karena mengikuti pelatihan keterampilan khusus disabilitas di Solo, Jawa Tengah. Ia cukup senang karena bisa berkumpul dengan sesama penyandang disabilitas.

Baca Juga :  Upayakan Korban Banjir Dapat Bansos

“Yang ikut pelatihan itu semuanya disabilitas, jadi saya termotivasi untuk lebih semangat lagi, karena ternyata ada banyak yang lebih parah kondisinya dari saya,” tuturnya.

 

Supiani berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Ia merantau ke Palangka Raya setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) tahun 1987. Karena perekonomian keluarganya tidak mampu untuk menyokong kelanjutan pendidikannya, ia pun memberanikan diri meminta izin ke orang tua untuk merantau ke Palangka Raya.

“Orang tua merestui, Mas. Makanya saya bisa ke Palangka Raya dengan niat bekerja. Namun terkendala karena belum cukup umur untuk bekerja, jadi saya tidak bekerja,” ucapnya kepada Kalteng Pos, beberapa hari lalu.

Suami dari Nur Chasanah ini juga pernah ikut tergabung dalam Yayasan Disabilitas di Solo. Tahun 2007, ia mendaftarkan diri ke Dinas Sosial Kalimantan Selatan untuk mengikuti pelatihan keterampilan khusus disabilitas, dengan tujuan menumbuhkan kepercayaan dirinya.

“Saya ikut pelatihan hanya setahun. Itu pelatihan khusus orang disabilitas. Misalnya orang itu suka servis elektronik, menjahit, membuat kerajinan, maka disana akan dibina dan diarahkan. Kebetulan saya ambil keahlian elektro,” beber pria kelahiran 1971 ini.

Setelah setahun mengikuti pelatihan di Solo, ayah dari Luthfia Apipah ini mulai membuka usaha mainan anak-anak. Supiani membuka lapak dagangan mainan kecil-kecilan demi bisa menyambung hidup. Dia menyasar ke pasar-pasar dadakan, selain mangkal di Pasar Besar.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

Tahun 2019 hingga 2020, pria yang berasal dari Martapura ini pernah mencicipi profesi ojek online. Namun ketika Palangka Raya dilanda pandemi Covid-19, lalu ada pembatasan aktivitas masyarakat, orderan pun mulai sepi. Kemudian Supiani memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai ojek online. Beruntungnya, ada teman yang ingin menyewa akun ojek online miliknya.

“Ya, kami bagi hasil lah dari sana,” candanya.

Setelah berhenti dari pekerjaan itu, Supian mulai berpikir untuk mendapatkan penghasilan dengan membuka usaha. Ia memberanikan diri untuk mulai berniaga kaca mata. Ia membuka lapak dagang di depan Pasar Baru. Menempelkan dagangan di samping lapak orang yang berjualan es teler. Kemudian lapak dagang Supiani pindah ke bagian dalam pasar karena sang penjual es teler tidak berjualan lagi.

“Baru tahun 2020 saya pindah ke sini (tempat yang sekarang, red),” ungkapnya.

 

Supiani menambahkan, jika kondisi fisiknya masih kuat, ia dan keluarga kecilnya biasanya membuka lapak dagang pada malam hari di pasar malam. Tentu saja atas persetujuan sang istri.

“Kalau ada pasar malam, saya dan keluarga buka lapak di sana. Malam Selasanya di Jalan Gurame. Malam Rabunya di Kalampangan. Malam Kamis di Pasar Kalibata. Pokoknya pindah-pindah terus,” sebutnya.

Untuk menambah pendapatan keluarga, istri Supiani berjualan kerupuk. Kerupuk-kerupuk yang diproduksinya dititipkan ke warung-warung.

“Istri jualan kerupuk haruan. Kami beli kerupuk mentahnya di Martapura, terus digoreng, lalu dititipkan ke warung-warung,” pungkasnya. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/