Jumat, November 22, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Suku Dayak Ikut Menyelesaikan Pembangunan Masjid

Masjid Kiai Gede menjadi bukti nyata sejarah bahwa agama Islam sudah masuk ke wilayah Kotawaringin sejak ratusan tahun silam. Berdirinya masjid yang berarsitektur campuran Jawa, Kalimantan, dan Cina itu tidak terlepas dari peran penduduk lokal kala itu yang mayoritas merupakan suku Dayak.

RUSLAN, Pangkalan Bun

MELIHAT konstruksi bangunannya, dari lantai hingga atap bangunan didominasi bahan kayu. Terdiri dari 36 tiang penyangga. Di bagian tengah ruangan terdapat empat tiang utama. Tiang-tiang itu memiliki ukiran menyerupai kelopak bunga teratai. Uniknya, proses pengerjaan atau pembangunan masjid yang memiliki luas lahan 2.700 m2 ini tidak menggunakan paku besi. Teknik dalam penyambungan kayu satu dengan yang lain tidak menggunakan paku besi, melainkan pasak (paku dari kayu).

Bangunan masjid tersebut memiliki percampuran seni bangunan Jawa, Kalimantan, dan Cina. Ciri arsitektur bangunan masjid di Jawa itu bisa dilihat dari bentuk atap tumpang dan menggunakan atap limas bersusun tiga yang membentuk segitiga sama kaki.

Baca Juga :  Kewalahan Layani Pesanan, Tutup Orderan Lebih Awal

Ciri khas arsitektur Kalimantan terlihat dari bahan kayu ulin bertipe bangunan panggung (rumah panggung). Sementara beduk yang digantung di bagian serambi masjid merupakan warna arsitektur Cina. Berdasarkan cerita sejarah yang diturunkan tiap generasi serta diyakini oleh pengelola Masjid Kiai Gede, masjid yang diketahui sudah berusia kurang lebih 389 tahun ini diresmikan oleh Sultan Balladudin. Kala itu masjid yang mampu menampung 400 jemaah tersebut diberi nama Masjid Jami Kutaringin. Namun pada tahun 1985 diganti nama menjadi Masjid Kiai Gede.

Tidak ada yang tahu pasti terkait berubahnya nama masjid tersebut. Padahal jika merujuk sejarah, pembangunan masjid tersebut merupakan gagasan dari Pangeran Penghulu (Sultan VI Kutarangin), yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Sultan Balladudin. Muhammad Padli selaku ketua pengurus Masjid Kiai Gede mengatakan, pihaknya kesulitan menggali lebih jauh tentang sejarah Kiai Gede, karena memang ada beberapa versi yang sampai saat ini dipercaya dan diyakini oleh masyarakat.

Baca Juga :  Tertarik dengan Ilmu Anatomi

Bahkan terkait alasan perubahan nama Masjid Kiai Gede, sampai saat ini masih belum terpecahkan. “Untungnya, ada bukti nyata peninggalan sejarah yang saat ini masih ada, yakni masjid yang sangat menarik dan masuk dalam kategori peninggalan sejarah terbesar, khususnya dalam sejarah perkembangan agama Islam di wilayah kita,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, baru-baru ini.

Dari peninggalan sejarah inilah, banyak yang beranggapan bahwa masjid ini dibangun dan didirikan oleh Kiai Gede. Padli menjelaskan, berdasarkan cerita sejarah yang diketahuinya, Masjid Kiai Gede memang bukan dibangun dan didirikan oleh Kiai Gede, melainkan atas perintah raja, dan dibangun oleh penduduk asli Kotawaringin yang mayoritas suku Dayak. “Karena dari jenis ukiran yang terdapat di Masjid Kiai Gede, yang saya tahu itu merupakan hasil dari pengerjaan masyarakat lokal pada masa itu yang mayoritasnya suku Dayak,” pungkasnya. (*bersambung/ce/ala)

Masjid Kiai Gede menjadi bukti nyata sejarah bahwa agama Islam sudah masuk ke wilayah Kotawaringin sejak ratusan tahun silam. Berdirinya masjid yang berarsitektur campuran Jawa, Kalimantan, dan Cina itu tidak terlepas dari peran penduduk lokal kala itu yang mayoritas merupakan suku Dayak.

RUSLAN, Pangkalan Bun

MELIHAT konstruksi bangunannya, dari lantai hingga atap bangunan didominasi bahan kayu. Terdiri dari 36 tiang penyangga. Di bagian tengah ruangan terdapat empat tiang utama. Tiang-tiang itu memiliki ukiran menyerupai kelopak bunga teratai. Uniknya, proses pengerjaan atau pembangunan masjid yang memiliki luas lahan 2.700 m2 ini tidak menggunakan paku besi. Teknik dalam penyambungan kayu satu dengan yang lain tidak menggunakan paku besi, melainkan pasak (paku dari kayu).

Bangunan masjid tersebut memiliki percampuran seni bangunan Jawa, Kalimantan, dan Cina. Ciri arsitektur bangunan masjid di Jawa itu bisa dilihat dari bentuk atap tumpang dan menggunakan atap limas bersusun tiga yang membentuk segitiga sama kaki.

Baca Juga :  Kewalahan Layani Pesanan, Tutup Orderan Lebih Awal

Ciri khas arsitektur Kalimantan terlihat dari bahan kayu ulin bertipe bangunan panggung (rumah panggung). Sementara beduk yang digantung di bagian serambi masjid merupakan warna arsitektur Cina. Berdasarkan cerita sejarah yang diturunkan tiap generasi serta diyakini oleh pengelola Masjid Kiai Gede, masjid yang diketahui sudah berusia kurang lebih 389 tahun ini diresmikan oleh Sultan Balladudin. Kala itu masjid yang mampu menampung 400 jemaah tersebut diberi nama Masjid Jami Kutaringin. Namun pada tahun 1985 diganti nama menjadi Masjid Kiai Gede.

Tidak ada yang tahu pasti terkait berubahnya nama masjid tersebut. Padahal jika merujuk sejarah, pembangunan masjid tersebut merupakan gagasan dari Pangeran Penghulu (Sultan VI Kutarangin), yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Sultan Balladudin. Muhammad Padli selaku ketua pengurus Masjid Kiai Gede mengatakan, pihaknya kesulitan menggali lebih jauh tentang sejarah Kiai Gede, karena memang ada beberapa versi yang sampai saat ini dipercaya dan diyakini oleh masyarakat.

Baca Juga :  Tertarik dengan Ilmu Anatomi

Bahkan terkait alasan perubahan nama Masjid Kiai Gede, sampai saat ini masih belum terpecahkan. “Untungnya, ada bukti nyata peninggalan sejarah yang saat ini masih ada, yakni masjid yang sangat menarik dan masuk dalam kategori peninggalan sejarah terbesar, khususnya dalam sejarah perkembangan agama Islam di wilayah kita,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, baru-baru ini.

Dari peninggalan sejarah inilah, banyak yang beranggapan bahwa masjid ini dibangun dan didirikan oleh Kiai Gede. Padli menjelaskan, berdasarkan cerita sejarah yang diketahuinya, Masjid Kiai Gede memang bukan dibangun dan didirikan oleh Kiai Gede, melainkan atas perintah raja, dan dibangun oleh penduduk asli Kotawaringin yang mayoritas suku Dayak. “Karena dari jenis ukiran yang terdapat di Masjid Kiai Gede, yang saya tahu itu merupakan hasil dari pengerjaan masyarakat lokal pada masa itu yang mayoritasnya suku Dayak,” pungkasnya. (*bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/