Pondok Pesantren Raudhatul Jannah merupakan salah satu pusat pendidikan agama Islam yang masih eksis di Palangka Raya. Pesantren ini dibangun 2003 lalu. Telah berdiri selama 19 tahun dan memiliki ratusan santri. Proses pendidikannya pun berkiblat pada pesantren besar dan modern.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
PESANTREN Raudhatul Jannah berdiri di atas lahan yang terletak di Jalan Surung, Kelurahan Sabaru. Pondok pesantren ini dipimpin oleh Akhmad Gapuri. Pertengahan Oktober lalu, Kalteng Pos mengunjungi pesantren yang masuk wilayah Kecamatan Sabangau, Palangka Raya. Disambut langsung oleh Akhmad Gafuri selaku kepala pondok pesantren itu.
Menurut Akhmad, Pesantren Raudhatul Janah didirikan tahun 2003 oleh seorang pengusaha dermawan bernama H Matran bin Junaid. Dikatakannya bahwa H Matran ingin mendirikan pesantren sebagai investasi akhirat untuk mendapatkan amal jariyah. Pendiri pesantren ini bukanlah sosok kiai. Namun ia memfasilitasi kiai untuk mengurus pengajian.
“Dari pengajian demi pengajian itulah terbentuk wadah kecil yang perlahan dilengkapi beberapa asrama sehingga menjadi pesantren ini,” kata Akhmad kepada Kalteng Pos, Jumat (14/10).
Akhmad menuturkan, ada pola pendidikan yang diterapkan di pesantren. Pagi hingga siang ada sekolah formal untuk para santri. Seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Kemudian dimulai pukul 13.00 WIB hingga sore, para santri akan mengikuti program diniyah (keagamaan).
“Pagi khusus kurikulum negara, siang sampai sore program diniyah, yang mana kami mengajarkan kegiatan-kegiatan keagamaan dari sebagian kurikulum pondok,” bebernya.
Ditanya soal mazhab yang diajarkan di pesantren ini, Akhmad mengaku tidak ada mazhab khusus yang dijadikan acuan untuk dijalankan di pesantren. Semua mazhab diajarkan, sehingga para santri mendapat pengetahuan yang luas, sehingga tidak menyalahkan orang lain ketika ada perbedaan tata cara pelaksanaan ibadah.
Diketahui mazbah merupakan perkara fikih. Terdapat empat mazhab yang saat ini dijadikan acuan oleh beberapa pesantren. Seperti mazhab imam hanafi, mazhab imam hambali, mazhab imam maliki, dan yang paling terkenal dan banyak dianut yaitu mazhab imam syafi’i.
“Itu kan perkara fikih, semua mazhab kita ajarkan agar mereka punya pikiran terbuka dan tidak menyalahkan orang lain,” ungkapnya.
Alumnus Pesantren Gontor itu menuturkan, pihaknya tidak mencirikan organisasi masyarakat (ormas) tertentu dalam menjalankan pesantren. Berbeda dengan pesantren pada umumnya yang punya ciri khas ormas tertentu, seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, Raudhatul Jannah. Pihaknya lebih memilih untuk tidak mencirikan ormas tertentu agar bisa menghimpun semua golongan untuk belajar di pesantren ini.
“Itu hanya ormas, kalau dibilang ke NU atau Muhammadiyah, namanya pondok ya harusnya berdiri untuk semua golongan,” ucapnya.
Saat ini tercatat ada 395 santri yang menimba ilmu di pesantren ini. Sebanyak 70 santri tinggal di pesantren. Terdiri dari 40 putri dan 30 putra. “Sisanya pulang pergi karena kapasitas asrama masih terbatas, karena perkembangan pesantren ini terbilang lambat,” tuturnya.
Para santri tak hanya berasal dari Palangka Raya, tapi juga datang dari daerah lainnya. Pesantren yang berada jauh dari pusat Kota Palangka Raya ini terbilang masih berkembang. Hal ini diakui oleh Akhmad. Kendati telah hampir 20 tahun eksis, perkembangan pesantren ini cukup lambat. Penyebab utama adalah pergantian kiai. Selama masa pergantian itu, sulit mencari penerus kiai yang dapat mengajar di pesantren ini.
“Selalu ada pergantian guru, salah satunya karena meninggal dunia, dampaknya membuat perkembangan pesantren ini lambat,” tutur pria yang tinggal di dekat pesantren itu.
Sejak awal didirikan, kiai pesantren ini sering berganti. Waktu transisi dari pergantian demi pergantian kiai itu menyebabkan kegiatan pesantren sempat vakum. Apalagi pesantren ini masih menerapkan pola pendidikan pesantren klasik, di mana kiai menjadi sosok sentral. Alhasil sering terjadi kekosongan kegiatan selama masa transisi itu.
Akhmad mengaku baru menjabat enam bulan sebagai kepala pesantren ini. Ia memastikan bahwa sebelumnya, setiap ada pergantian kiai, kegiatan pesantren sempat terhenti.
“Berganti-ganti, misal ada yang selama empat tahun ada gurunya ada muridnya, meninggal ganti lagi guru baru, yang itu meninggal ganti lagi, seperti yang terjadi baru-baru ini, kan ada guru kami namanya Ustaz Marzuki, beliau meninggal, akhirnya tahfiz Qur’an mandek, berhenti,” beber Akhmad.
Selama masa pencarian guru baru, Gapuri mengatakan, tak jarang orang lokal lulusan pesantren dijadikan guru pengganti. “Biasanya mereka menawarkan diri untuk mengajar sesuai kemampuan yang dimiliki,” ucapnya.
Pergantian guru itulah yang menyebabkan kemandekan perkembangan Pesantren Raudhatul Jannah. Karena itu mulai diterapkan cara modern, seperti adanya sistem kaderisasi guru.
“Jadi dari santri yang baru masuk kita sudah kaderkan untuk menjadi guru, dengan begitu ada penerus seandainya guru lama tidak dapat mengajar lagi,” tutur Akhmad. Ke depannya, dalam hal pendidikan keislaman modern, Pesantren Raudhatul Jannah akan berkiblat pada Pesantren Gontor.
Berkenaan dengan peringatan Hari Santri yang dirayakan tiap 22 Oktober, mereka punya acara sendiri yang dilaksanakan di pesantren. Seperti tablig akbar dan syukuran sederhana dengan menghadirkan semua santri. (*/ce/ala)