Ma’asyiral Muslimin jamaah Salat Iduladhha rahimakumullâh
Mengawali khutbah ‘Id pada pagi hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allâh, kapanpun dan di manapun kita berada serta dalam keadaan sesulit apapun dan dalam kondisi yang bagaimana pun, dengan cara melaksanakan segenap kewajiban dan menjauhi segala larangan Allâh.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Hari raya sejatinya adalah hari yang dirayakan setelah seorang hamba melakukan berbagai ketaatan dan penghambaan kepada Allah. ‘Idul Adha sejatinya adalah bagi mereka yang telah menjalankan rukun haji yang paling utama, yaitu wukuf di ‘Arafah, atau bagi mereka yang telah sungguh-sungguh melakukan ketaatan dan ibadah pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Merekalah yang sejatinya berhari raya.
Hadirin jama’ah Salat Idul Adharahimakumullâh
Hari raya sejatinya bukanlah hari kegembiraan dan kebahagiaan bagi sebagian orang dan bukanlah orang-orang tertentu saja. Seharusnya kita semua bergembira dan berbahagia. Karena hari raya ini sejatinya adalah hari raya seluruh umat Islam di seluruh dunia. Hari raya adalah kegembiraan kita bersama.

Kurban yang mengiringi Iduladha adalah bukti bahwa Islam menggariskan agar hari raya melahirkan kegembiraan bersama. Orang yang mampu berkurban, ia bagikan daging hewan kurban kepada orang-orang yang tidak mampu, yang sebagian dari mereka mungkin hanya merasakan daging setahun sekali. Dengan itu, kegembiraan akan merata. Kegembiraan akan dirasakan oleh sebanyak-banyaknya umat Islam.
Dari titik ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan dan menggembirakan mereka dengan daging kurban adalah sesuatu yang semestinya selalu mengiringi setiap momen hari raya. Hakikat hari raya adalah kegembiraan bersama, kasih sayang, empati dan berbagi kepada sesama.
Hadirin rahimakumullâh
Sebagai upaya untuk menjadikan hari raya sebagai kegembiraan bersama, kita seyogyanya menyambut hari raya dengan mempersiapkan diri untuk berbagi dengan yang lain. Menjelang hari raya, kita persiapkan diri untuk membantu sesama, meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkan dan menghilangkan kesedihan mereka dengan menyumbangkan sebagian harta kita. Jika tidak mampu, maka dengan ucapan- ucapan yang indah yang dapat menghibur hati mereka, dengan sapaan dan senyuman tulus kepada mereka serta lantunan do’a untuk kebaikan mereka.
Ketika kita berkumpul bersama ayah-ibu, bersama anak- anak, teman-teman dan orang-orang yang kita cintai dalam suasana makan bersama pada momen hari raya, ingatlah bahwa di sana masih banyak anak-anak yatim yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua mereka.
Di sana ada janda-janda yang bekerja membanting tulang mencari nafkah untuk menghidupi anak-anak mereka. Ingatlah bahwa di berbagai tempat banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Di berbagai daerah masih banyak orang yang kesulitan mencari nafkah. Paling tidak, kita lantunkan doa untuk mereka pada hari yang penuh keberkahan ini. Pada hari yang semestinya semua orang bergembira, mereka menahan kesedihan, merasakan perihnya kehidupan dan menanggung beban hidup yang serba kesulitan. Kita selipkan doa untuk mereka di tengah kegemberiaan kita.
Hadirin jama’ah salat Iduladha Rahimakumullâh
Kita hadirkan dalam hati bahwa pada saat kita membantu orang-orang yang membutuhkan atau mendoakan mereka, pada hakikatnya kita sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kita renungkan dan kita hadirkan dalam hati kandungan makna dari ayat-ayat berikut ini:
“Jika kalian berbuat baik, sejatinya kalian telah berbuat baik bagi diri kalian sendiri.” (QS al-Isrâ’: 7).
“Dan apa pun harta yang kalian infakkan di jalan Allâh, maka pahalanya itu untuk diri kalian sendiri. Dan janganlah kalian berinfak melainkan karena mencari ridha Allâh. Dan apa pun harta yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahala secara penuh dan kalian sedikit pun tidak akan dirugikan.” (QS Al- Baqarah: 272).
Hadirkan juga dalam hati apa yang disabdakan Baginda Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allâh akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan, maka Allâh akan memberikan baginya kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allâh akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allâh akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR Muslim).
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh
Kepada mereka yang mengalami masa-masa sulit dalam hidup mereka yang disebabkan berbagai masalah, kita katakan bahwa musibah yang menimpa kalian tidak sebanding dengan apa yang menimpa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il beserta keluarga mereka.
Hadirin rahimakumullâh
Dalam penantian yang sangat lama hingga mencapai puncak usia 86 tahun, Nabi Ibrahim baru dikaruniai seorang anak yang kemudian diberi nama Isma’il. Setelah belahan jiwanya itu tumbuh dewasa menjadi seorang remaja, Allah memerintahkan kepada Baginda Nabi Ibrahim agar menyembelih putra yang sangat dicintai dan dinanti-nanti itu. Apa sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il menerima perintah itu?
Dengan ketundukan yang total kepada Allah, Nabi Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu tanpa ada keraguan sedikitpun. Sang putra juga menyambut perintah itu dengan kepasrahan yang total tanpa ada protes sepatah katapun. Subhana-Allah! Sebuah potret keluarga shalih yang lebih mengutamakan perintah Allah dibandingkan dengan apa pun selainnya. Ayah dan anak saling menolong dan menyemangati untuk melaksanakan perintah Allah.
Dialog indah antara keduanya terekam dalam al-Qur’an sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT.
“Ibrahim berkata: ‘Duhai putraku, sesungguh-nya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?’” (QS As-Shâffât: 102).
Sebagaimana kita tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Sedangkan perkataan Nabi Ibrahim kepada putranya, “Maka pikirkanlah apa pendapatmu?,” bukanlah permintaan pendapat kepada putranya apakah perintah Allah itu akan dijalankan ataukah tidak. Juga bukanlah sebuah keragu-raguan. Nabi Ibrahim hanya ingin mengetahui kemantapan hati putranya dalam menerima perintah Allâh.
Lalu dengan kemantapan dan keteguhan hati, Nabi Ismail menjawab dengan jawaban yang menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah jauh melebihi kecintaannya kepada jiwa dan dirinya sendiri:
“Isma’il menjawab: ‘Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS As-Shâffât: 102)
Jawaban Isma’il yang disertai “Insyaa Allah” menunjukkan keyakinan sepenuh hati dalam dirinya bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak akan terjadi.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh
Demi mendengar jawaban dari sang putra tercinta, Nabi Ibrâhîm lantas menciumnya dengan penuh kasih sayang sembari menangis terharu dan mengatakan kepada Ismail:
“Engkaulah sebaik-baik penolong bagiku untuk menjalankan perintah Allah, duhai putraku.”
Nabi Ibrahim kemudian mulai menggerakkan pisau di atas leher Ismail. Akan tetapi pisau itu sedikit pun tidak dapat melukai leher Ismail. Hal ini dikarenakan pencipta segala sesuatu adalah Allah. Pisau hanyalah sebab terpotongnya sesuatu. Sedangkan pencipta terpotongnya sesuatu dan pencipta segala sesuatu tiada lain adalah Allah. Sebab tidak dapat menciptakan akibat. Pisau tidak dapat menciptakan terpotongnya leher Nabi Ismail. Sebab maupun akibat, keduanya adalah ciptaan Allah.
Hadirin yang berbahagia Berkat takwa, sabar dan tawakal serta ketundukan total yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, Allâh kemudian memberikan jalan keluar dan mengganti Ismail dengan seekor domba jantan yang besar dan berwarna putih yang dibawa malaikat Jibril dari surga. Allah berfirman:
Artinya, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yg nyata. Dan Kami tebus Ismail dengan seekor sembelihan yg agung” (QS ash-Shâffât:106-107).
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh
Mari kita renungkan bersama, hadirin sekalian. Di tengah berbagai problem kehidupan, marilah kita meneladani apa yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail ketika diuji oleh Allah dengan ujian yang sangat berat tersebut.
Berkat ketaqwaan, sikap sabar, tawakal, keteguhan hati dalam menjalankan perintah Allâh dan ketundukan yang total kepada-Nya, Nabi Ibrahim dan Isma’il pada akhirnya mendapatkan jalan keluar dan pertolongan dari Allâh. Kita harus yakin bahwa di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, jika kita bersabar. Kita harus yakin bahwa di setiap musibah pasti ada hikmah, jika kita bertawakal. Kita harus yakin bahwa di setiap masalah, pasti akan kita temukan jalan keluar, jika kita bertakwa.
Dan kita yakin bahwa di setiap kesusahan pasti ada kebahagiaan, jika kita tunduk total kepada Allâh.
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh
Akhirnya kita berdoa, semoga Allâh menghindarkan negara kita secara khusus dan seluruh negeri umat Islam dari segala bala’, musibah, wabah, melambungnya harga kebutuhan pokok, kemungkaran, keburukan, kekejian, berbagai kesulitan dan kesusahan.(*/)
*) Penulis/ Khatib merupakan Rektor Universitas Antakusuma Pangkalan Bun, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Palangka Raya dan Sekretaris Umum DP MUI Kalimantan Tengah
**Disampaikan pada Hari Raya Iduladha, Jumat 10 Dzulhijjah 1446 H./06 Juni 2025 Masehi di Masjid Agung Riyadhlussalihin Pangkalan Bun