Sabtu, Mei 18, 2024
29.7 C
Palangkaraya

Muka Semangka

ENTAH apa yang merasukiku. Di akhir-akhir masa pandemi Covid-19 lalu, saya punya hobi baru. Hobi yang di luar dugaan. Tak dibayangkan. Hobi itu adalah tanam-tanam. Sekeliling rumah kini menghijau. Begitu juga sepetak tanah di kanan rumah.

Dulunya, tanah berkontur gambut itu tumbuh subur ilalang. Tiap tiga bulan, rutin membersihkan. Saat ini, pemandangannya berbeda. Lebih enak dipandang. Apalagi kalau pagi. Menghirup udara sejuk sambil ongkang-ongkang kaki, plus nyeruput kopi. Ehmm, nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Bermacam-macam tanaman tumbuh. Ada pepaya, dan pisang. Ada kacang panjang. Yang buahnya produktif. Sekali metik, lebih-lebih untuk sekadar buat sepanci sayur. Ada lombok. Mau nyambel, tinggal petik. Ada timun, dan pare, yang edisi pertama panen, buahnya bantet-bantet alias gendut tapi pendek. Sekarang juga masih bantet.

Saya juga coba menanam melon. Saat berbuah, gagal menikmatinya. Busuk. Padahal sudah segede bola kasti. Saya masih penasaran. Menanam lagi. Usianya baru satu bulan setelah tanam. Saya juga menunggu semangka. Sudah berumur dua bulan. Sudah ada buahnya. Segenggaman tangan. Sekitar 20 hari lagi, siap dipetik. Semoga saja montok-montok buahnya.

 

Lebih 30 polibek berisi tanaman sayur atau buah. Meski hasil tanam-tanam tak menghasilkan cuan, setidaknya bisa merileksasi pikiran di tengah kesibukan. Kalau istri, hatinya berbunga-bunga terus. Tanaman mawarnya berkembang. Ada 26 batang tertanam. Setiap hari ada saja mawar yang dipetik. Cuan mengalir. Lumayan, satu bunga dihargai Rp500 sampai Rp1.000. Tergantung ukuran. Pembelinya adalah penjual bunga di tempat pemakaman. Tak jauh dari rumah.

Baca Juga :  Sound No Sip

Hobi baru itu juga membawa saya sering melihat konten tanam-tanam di YouTube. Saya sering melihat cara membuat pupuk organik cair atau POC. Solusi petani jika harga pupuk kimia mahal. Dari YouTube juga saya mengenal hormon auksin, dan giberlin. Lalu ada juga Jakaba. Akronim dari jamur keberuntungan abadi. Saya sudah punya di rumah. Buat sendiri. Dari YouTube saya juga mengenal masa vegetatif dan generatif. Ternyata, setiap masa, pupuknya berbeda.

Dari sekian akun konten pertanian, saya paling suka dengan akun Penyuluh Pertanian Lapangan. Subscribernya 681 akun dan 340 video sudah diaploud. Sudah ditonton lebih 66 juta kali. Pemilik akun itu bernama Rizali Anshar. Penyuluh pertanian yang tugas di kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan.

Pandemi Covid-19 mengubah cara dia melakukan penyuluhan. Buat akun YouTube pada 17 Juni 2020. Kontennya, bagi saya begitu menarik. Penjelasannya detail. Dan sesekali melucu.

Terbaru, saya juga belajar banyak dengan Muhammad Fakhrully Akbar. Petani milenial yang ada di Kelurahan Pager, Kecamatan Rakumpit, Palangka Raya. Saya melihat dia sangat ulet. Apa adanya. Dan memiliki semangat yang luar biasa. Pemuda 27 tahun itu tidak takut gagal. Dia juga tidak malu. Pemuda berdarah Banjar-Sunda itu lulusan Universitas Indonesia. Pada tahun 2019, mendapat gelar sarjana dari jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa.

Dua tahun terakhir, dia menggeluti pertanian semangka. Dibantu istri Nadia Prasasti Pratiwi, dan petani-petani yang usianya lebih tua. Ada 12 hektare lahan peninggalan mertuanya. Tujuh hektare ditanami semangka. Lima hektare ditanami jeruk Pontianak.

Baca Juga :  Tempat Baru, Sulit Adaptasi? Lakukan Hal Ini!

Akbar tergabung dalam kelompok tani Oibama. Tahun 2023 ini, sudah tiga kali panen. Januari lalu, 88 ton semangka dihasilkan. April, turun menjadi 53 ton. Edisi Agustus September ini, lebih 70 ton. Akbar meraup keuntungan bersih Rp10-Rp30 juta setiap musim panen.

Saya dapat banyak ilmu dari dia. Saya juga dapat cerita yang menggelitik dari dia. Saya mau cerita sedikit. Cerita menggelitik dan menggemaskan itu. Seperti biasa, setiap musim panen, selalu didatangi pihak-pihak dari pemerintah. Mereka ke sana. Tanya-tanya hasil panen. Foto bersama buat dokumentasi. Hal itu tak terlalu dirisaukan sama Akbar. Karena mereka-mereka yang datang selama ini memang memberi dukungan.

Namun, Akbar sedikit geregetan dengan kelakuan penyuluh pertanian setempat. Selama dua tahun Akbar di sana, mereka tak pernah melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh. Datang saat panen. Tanya-tanya hasil. Foto-foto. Lalu buat bahan laporan ke pimpinan. Pulang bawa buah. Kalau ada perwakilan dari kementerian atau instansi terkait berkunjung ke Kebun Oibama, mereka mendampingi. Cari panggung. Cari muka.

Ngomong-ngomong soal cari muka, saya juga mengalaminya. Kemarin. Saat ada kerja bakti di kantor. Bersih-bersih halaman. Mami, panggilan Manajer Umum kami, memberi arahan. Berjalan lalu-lalang. Mengatur tempat barang yang dipindah. Saya juga ikut. Saat angkat meja, saya cuma memegang saja. Seakan-akan turut menanggung beban. Saat ada Mami, saya ambil paksa sapu dari teman. Saya nyapu. Mami pun tersenyum kagum. Asiikkk dapat pujian. Uppsss, keceplosan! Kenapa saya tulis di sini.(*)

*)Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos 

ENTAH apa yang merasukiku. Di akhir-akhir masa pandemi Covid-19 lalu, saya punya hobi baru. Hobi yang di luar dugaan. Tak dibayangkan. Hobi itu adalah tanam-tanam. Sekeliling rumah kini menghijau. Begitu juga sepetak tanah di kanan rumah.

Dulunya, tanah berkontur gambut itu tumbuh subur ilalang. Tiap tiga bulan, rutin membersihkan. Saat ini, pemandangannya berbeda. Lebih enak dipandang. Apalagi kalau pagi. Menghirup udara sejuk sambil ongkang-ongkang kaki, plus nyeruput kopi. Ehmm, nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Bermacam-macam tanaman tumbuh. Ada pepaya, dan pisang. Ada kacang panjang. Yang buahnya produktif. Sekali metik, lebih-lebih untuk sekadar buat sepanci sayur. Ada lombok. Mau nyambel, tinggal petik. Ada timun, dan pare, yang edisi pertama panen, buahnya bantet-bantet alias gendut tapi pendek. Sekarang juga masih bantet.

Saya juga coba menanam melon. Saat berbuah, gagal menikmatinya. Busuk. Padahal sudah segede bola kasti. Saya masih penasaran. Menanam lagi. Usianya baru satu bulan setelah tanam. Saya juga menunggu semangka. Sudah berumur dua bulan. Sudah ada buahnya. Segenggaman tangan. Sekitar 20 hari lagi, siap dipetik. Semoga saja montok-montok buahnya.

 

Lebih 30 polibek berisi tanaman sayur atau buah. Meski hasil tanam-tanam tak menghasilkan cuan, setidaknya bisa merileksasi pikiran di tengah kesibukan. Kalau istri, hatinya berbunga-bunga terus. Tanaman mawarnya berkembang. Ada 26 batang tertanam. Setiap hari ada saja mawar yang dipetik. Cuan mengalir. Lumayan, satu bunga dihargai Rp500 sampai Rp1.000. Tergantung ukuran. Pembelinya adalah penjual bunga di tempat pemakaman. Tak jauh dari rumah.

Baca Juga :  Sound No Sip

Hobi baru itu juga membawa saya sering melihat konten tanam-tanam di YouTube. Saya sering melihat cara membuat pupuk organik cair atau POC. Solusi petani jika harga pupuk kimia mahal. Dari YouTube juga saya mengenal hormon auksin, dan giberlin. Lalu ada juga Jakaba. Akronim dari jamur keberuntungan abadi. Saya sudah punya di rumah. Buat sendiri. Dari YouTube saya juga mengenal masa vegetatif dan generatif. Ternyata, setiap masa, pupuknya berbeda.

Dari sekian akun konten pertanian, saya paling suka dengan akun Penyuluh Pertanian Lapangan. Subscribernya 681 akun dan 340 video sudah diaploud. Sudah ditonton lebih 66 juta kali. Pemilik akun itu bernama Rizali Anshar. Penyuluh pertanian yang tugas di kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan.

Pandemi Covid-19 mengubah cara dia melakukan penyuluhan. Buat akun YouTube pada 17 Juni 2020. Kontennya, bagi saya begitu menarik. Penjelasannya detail. Dan sesekali melucu.

Terbaru, saya juga belajar banyak dengan Muhammad Fakhrully Akbar. Petani milenial yang ada di Kelurahan Pager, Kecamatan Rakumpit, Palangka Raya. Saya melihat dia sangat ulet. Apa adanya. Dan memiliki semangat yang luar biasa. Pemuda 27 tahun itu tidak takut gagal. Dia juga tidak malu. Pemuda berdarah Banjar-Sunda itu lulusan Universitas Indonesia. Pada tahun 2019, mendapat gelar sarjana dari jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa.

Dua tahun terakhir, dia menggeluti pertanian semangka. Dibantu istri Nadia Prasasti Pratiwi, dan petani-petani yang usianya lebih tua. Ada 12 hektare lahan peninggalan mertuanya. Tujuh hektare ditanami semangka. Lima hektare ditanami jeruk Pontianak.

Baca Juga :  Tempat Baru, Sulit Adaptasi? Lakukan Hal Ini!

Akbar tergabung dalam kelompok tani Oibama. Tahun 2023 ini, sudah tiga kali panen. Januari lalu, 88 ton semangka dihasilkan. April, turun menjadi 53 ton. Edisi Agustus September ini, lebih 70 ton. Akbar meraup keuntungan bersih Rp10-Rp30 juta setiap musim panen.

Saya dapat banyak ilmu dari dia. Saya juga dapat cerita yang menggelitik dari dia. Saya mau cerita sedikit. Cerita menggelitik dan menggemaskan itu. Seperti biasa, setiap musim panen, selalu didatangi pihak-pihak dari pemerintah. Mereka ke sana. Tanya-tanya hasil panen. Foto bersama buat dokumentasi. Hal itu tak terlalu dirisaukan sama Akbar. Karena mereka-mereka yang datang selama ini memang memberi dukungan.

Namun, Akbar sedikit geregetan dengan kelakuan penyuluh pertanian setempat. Selama dua tahun Akbar di sana, mereka tak pernah melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh. Datang saat panen. Tanya-tanya hasil. Foto-foto. Lalu buat bahan laporan ke pimpinan. Pulang bawa buah. Kalau ada perwakilan dari kementerian atau instansi terkait berkunjung ke Kebun Oibama, mereka mendampingi. Cari panggung. Cari muka.

Ngomong-ngomong soal cari muka, saya juga mengalaminya. Kemarin. Saat ada kerja bakti di kantor. Bersih-bersih halaman. Mami, panggilan Manajer Umum kami, memberi arahan. Berjalan lalu-lalang. Mengatur tempat barang yang dipindah. Saya juga ikut. Saat angkat meja, saya cuma memegang saja. Seakan-akan turut menanggung beban. Saat ada Mami, saya ambil paksa sapu dari teman. Saya nyapu. Mami pun tersenyum kagum. Asiikkk dapat pujian. Uppsss, keceplosan! Kenapa saya tulis di sini.(*)

*)Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos 

Artikel Terkait

Sabar Fest

Los Dol

Saleh Mudik?

Terpopuler

Artikel Terbaru

/