Senin, November 25, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Di Balik Saranghaeyo

Rangkaian strategi diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan demi mendorong industri budaya, dari menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menstimulasi ekosistem industri budaya hingga mengucurkan dana subsidi untuk membangun infrastruktur industri film dan musik. Pada tahun 2008 dibentuklah konvergensi dari dua kementerian, yakni Kementerian Budaya dan Turisme dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi, untuk mengoptimalkan konten-konten digital sebagai bagian dari produk yang dipasarkan secara global. Dal Yong Jin menggarisbawahi kekuatan konglomerasi di Korea Selatan, dari perusahaan besar seperti Samsung, LG, Hyundai, hingga ke industri budaya melalui tiga perusahaan K-Pop terbesar di Korea Selatan, yakni SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment. Ia mengkritik, industri budaya ini lambat laun menghilangkan keberagaman kultural dan justru menyeragamkan produk kultural semata-mata sebagai komoditas yang laris dipasarkan.

Baca Juga :  Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

Media sosial adalah gelanggang baru. Dan dalam konteks K-Pop, media sosial memungkinkan munculnya kelompok megabintang seperti grup BTS dari label musik Bighit Entertainment. BTS yang juga dikenal sebagai Bangtan Boys merupakan grup vokal laki-laki yang terdiri atas tujuh anggota. Suk-Young Kim, profesor di Sekolah Teater, Film, dan Multimedia di UCLA, menjelaskan bahwa kesuksesan BTS mencapai rekognisi global disebabkan kehadiran di media sosial. BTS adalah salah satu simbol kultural yang penting bagi Korea Selatan. Bagaimana tidak, BTS mengontribusikan $ 3,6 miliar per tahun untuk ekonomi Korea Selatan. Sebagai contoh saja, single BTS yang berjudul Dynamite menguntungkan ekonomi Korea Selatan sebesar $ 1,4 miliar dan membuka 8.000 lapangan pekerjaan. Simon Critchley, seorang filsuf, pernah berkomentar bahwa K-Pop tersebut tidak menampilkan otentisitas. Tidak ada yang esensial di dalam K-Pop, demikian sindirnya. Memang belakangan K-Pop tengah dikerubungi oleh skandal, dari tudingan kekerasan seksual hingga bunuh diri yang terjadi pada idolanya karena tekanan sosial yang berlebih. Namun, tidakkah K-Pop juga seni yang membawa kebahagiaan bagi para penikmatnya? BTS dengan lagu-lagu yang berkisah tentang mencintai diri sendiri, bersikap positif. BTS pun mengadvokasikan kesetaraan dan penolakan pada rasialisme. Mereka menjadi duta Unicef yang gigih mengampanyekan kesehatan mental dan menolak kekerasan serta perundungan. Tentu kegemaran terhadap idola atau apresiasi terhadap ragam ekspresi budaya semestinya tetap dipahami melalui pola pikir kritis. (*)

Baca Juga :  Belajar Merdeka dari Finlandia

SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Rangkaian strategi diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan demi mendorong industri budaya, dari menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menstimulasi ekosistem industri budaya hingga mengucurkan dana subsidi untuk membangun infrastruktur industri film dan musik. Pada tahun 2008 dibentuklah konvergensi dari dua kementerian, yakni Kementerian Budaya dan Turisme dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi, untuk mengoptimalkan konten-konten digital sebagai bagian dari produk yang dipasarkan secara global. Dal Yong Jin menggarisbawahi kekuatan konglomerasi di Korea Selatan, dari perusahaan besar seperti Samsung, LG, Hyundai, hingga ke industri budaya melalui tiga perusahaan K-Pop terbesar di Korea Selatan, yakni SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment. Ia mengkritik, industri budaya ini lambat laun menghilangkan keberagaman kultural dan justru menyeragamkan produk kultural semata-mata sebagai komoditas yang laris dipasarkan.

Baca Juga :  Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

Media sosial adalah gelanggang baru. Dan dalam konteks K-Pop, media sosial memungkinkan munculnya kelompok megabintang seperti grup BTS dari label musik Bighit Entertainment. BTS yang juga dikenal sebagai Bangtan Boys merupakan grup vokal laki-laki yang terdiri atas tujuh anggota. Suk-Young Kim, profesor di Sekolah Teater, Film, dan Multimedia di UCLA, menjelaskan bahwa kesuksesan BTS mencapai rekognisi global disebabkan kehadiran di media sosial. BTS adalah salah satu simbol kultural yang penting bagi Korea Selatan. Bagaimana tidak, BTS mengontribusikan $ 3,6 miliar per tahun untuk ekonomi Korea Selatan. Sebagai contoh saja, single BTS yang berjudul Dynamite menguntungkan ekonomi Korea Selatan sebesar $ 1,4 miliar dan membuka 8.000 lapangan pekerjaan. Simon Critchley, seorang filsuf, pernah berkomentar bahwa K-Pop tersebut tidak menampilkan otentisitas. Tidak ada yang esensial di dalam K-Pop, demikian sindirnya. Memang belakangan K-Pop tengah dikerubungi oleh skandal, dari tudingan kekerasan seksual hingga bunuh diri yang terjadi pada idolanya karena tekanan sosial yang berlebih. Namun, tidakkah K-Pop juga seni yang membawa kebahagiaan bagi para penikmatnya? BTS dengan lagu-lagu yang berkisah tentang mencintai diri sendiri, bersikap positif. BTS pun mengadvokasikan kesetaraan dan penolakan pada rasialisme. Mereka menjadi duta Unicef yang gigih mengampanyekan kesehatan mental dan menolak kekerasan serta perundungan. Tentu kegemaran terhadap idola atau apresiasi terhadap ragam ekspresi budaya semestinya tetap dipahami melalui pola pikir kritis. (*)

Baca Juga :  Belajar Merdeka dari Finlandia

SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Artikel Terkait

Katanya Hari Tenang

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Terpopuler

Artikel Terbaru

/