Sabtu, November 23, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Politik Kapitalis Pemicu Koruptor, 2024 Masyarakat Hati Hati!!

Sudah berapa banyak Kepala Daerah baik Bupati,Walikota maupun Gubenur yang harus berurusan dengan hukum karena tersangkut korupsi banyak yang harus menghuni jeruji besi dan tak sedikit pula yang lolos dari jeratan hukum karena kepiawaian, bahkan ada pula proses hukumnya  terombang ambing tak jelas, bagaikan bermain selancar di gunung salju penuh jurang dan babatuan dengan mempertontonkan ketangkasannya memukau walaupun berisiko kematian , contoh di KPK ada  kasus yang masuk dalam  Daftar Pencarian Orang (DPO) sampai sekarang belum ditemukan yang bersangkutan oleh KPK, raib alias menghilang seperti disembunyikan makluk halus (mahluk gaib).

Lain lagi kasus korupsi yang orangnya sudah berstatus tersangka dan kerugian negarapun sudah ditemukan tapi tersangkanya belum ditahan, bahkan berkeliaran, sehingga publik menduga KPK seakan akan menggatang asap dan/atau sedang halusinasi dan banyak contoh contoh yang lainnya lagi yang serupa tak sama.

Jadwal Pemilu dan Pilkada serentak sudah di tetapkan tahun 2024 oleh Pemerintah yang merupakan amanah konstitusi sangat menentukan lahirnya  pemimpin bangsa yang amanah dan berkualitas, namun semua itu sangat dipengaruhi oleh prilaku, kebiasaan, tradisi atau budaya dalam proses demokrasi dan politik, apakah menjujung tinggi etika moral dan kualitas, kapasitas, integritas atau isi tas yang di kenal di publik tersebut.

Maka bila mana tradisi isi tas menjadi parameter dalam mencapai keberhasilan atau suksesi dalam mengikuti pesta demokrasi dan politik, jelas indonesia berpotensi akan menciptakan bibit bibit korupsi baru yang berkelanjutan (sustainable coruption) di setiap Pemilu dan Pilkada

Biaya pesta demokrasi dan politik sangatlah besar, mahal bukan saja yang di biaya oleh Negara bersumber pada APBN dan APBD yaitu yang berkaitan terhadap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan keamanan Pemilu tersebut. Namun yang menyangkut biaya peserta politisi yang mengikuti kontestasi pesta demokrasi dan politik juga jauh lebih besar, baik itu  mengikuti kotestasi domokrasi dalam pemilu maupun pilkada, sekarang yang menjadi pertanyaan apa saja yang menimbul biaya politik itu high cost dan high risk, yaitu

Baca Juga :  Provinsi yang Disegani

Pertama biaya mendapatkan perahu atau partai politik yang menjadi perdebatan publik, yaitu mahalnya biaya politik yang dikenal dengan istilah mahar partai yang sudah menjadi tradisi dan membuat para politisi harus memutar kepala 360 derajat untuk mendapatkan, menyediakan dana pantastis tersebut agar dapat perahu. Poltisi kadang tidak lagi sempat berpikir panjang dan logis terhadap dana yang didapat tersebut harus kembali kepada penyokong dana.

Kedua biaya sosialisasi dan kampanye tidak sedikit, misalnya biaya pertemuan dengan konstituen atau masyarakat daerah pemilihan, cetak baleho, spanduk, kartu nama,kalender, baju, pertemuan dialogis, monologis  ini merupakan komponen biaya resmi yang dibenarkan menurut ketentuan perundang undangan, namun besarannya tergantung kemampuan keuangan politisi atau konstestan masing masing, dan besar kecil biaya atau dana yang digunakan sangat mempengaruhi potensi keberhasilan.

Ketiga biaya siluman ini nilainya sangat significant bahkan sangat menentukan kesuksesan meraih suara dengan isu beragam metode yang digunakan,misal istilah berani piro, traksasi jual beli suara, kanibalisasi suara tak bertuan atau tak ada penghuninya, serangan pajar, bantuan atau sumbangan sembako dan sebagainya. Biaya siluman merupakan kekuatan tradisi dalam pertempuran hidup mati mendapatkan suara atau kursi dalam pesta demokrasi.

Penomena yang bersifat adu nasif dengan cara cara yang menakutkan tersebut menjadi permasalahan klasik dalam demokrasi dan politik di indonesia, sehingga menumbuh kembang koruptor, bagaikan dibunuh satu tumbuh seribu, namun anehnya hal tersebut didukung oleh sebahagian sikap masyarakat cara cara yang bersifat transaksional dan adu materi dalam pesta demokrasi dan politik tersebut. Sehingga menutup peluang bagi kader bangsa yg tidak memiliki kemampuan isi tas, sekalipun memiliki, kualitas, kapastas, integritas, moralitas akhirnya terpaksa memposisi diri sebagai tokoh masyarakat, pemerhati/pengamat, konsultan, aktivis, akademisi.

Dalam rangka upaya merubah tradisi demokrasi dan politik berbiaya tinggi (high cost) dan resiko tinggi (high risk) sangatlah ditentukan oleh Partai Politik, termasuk masyarakat dan pemerintah sebagai pihak penentu dalam suksesi politisi yg memiliki kapasitas, berkualitas, integritas dan moralitas dalam pesta demokrasi dan politik.

Baca Juga :  Mengurai Kontroversi Al Zaytun

Peran Parpol dalam hal perbaikan tersebut melalui meniadakan uang mahar ataupun pungutan pungutan,setoran dan sejenisnya yang membebani para politisi yg menduduki jabatan politik secara berlebihan atau diluar kewajaran yang bisa menimbulkan memaksa untuk korupsi atau menyalah gunaan kewenangan atau jabatan (Abuse of power).

Peran masyarakat dalam hal tersebut tidak membebani politisi yg bersifat materi, trasaksional dalam komitmen politik namun menilai dari sisi kapasitas, kualitas, integritas dan moralitas dan/atau mendukung poltisi yang memiliki sumber daya manusia yang handal dan memiliki moralitas tanggung jawab terhadap publik amanah yang diberikan.

Peran Pemerintah sebagai wakil negara dalam ini sangat menentukan melalui regulasi ataupun produk peraturan perundang undang yang sifat nya negara hadir membantu meringankan biaya demokrasi dan politik seperti sosialisai dan kampanye untuk politisi yg ikut kontestasi baik pemilu maupun pilkada, bukan malah sebaliknya membuka ruang untuk terjadinya adu kekuatan materi atau menjadikan politik kapitalis, sehingga tak jarang saat pemilu atau pilkada para peserta kotestasi perang alat peraga kampanye seperti baleho,spanduk dan lainnya, termasuk memobilisasi masa dengan kemasan atau berkedok sosialisasi, pertemuan monologis, diologis dengan menggunakan dana besar, termasuk juga mencetak dan membagikan baju kaos, kain sarung, peci dan sebagainnya.

Belum lagi serangan siluman, ini jelas mempersempit kesempatan orang yang tidak memiliki kecukupan dana alias modal sekalipun memiliki kapasitas, kualutas, integritas dan moralitas namun tak berdaya dengan adanya ruang politik kapitalis. Keadaan hal ini harus dilakukan perubahan kebijakan oleh pemerintah agar menjadikan biaya politik yang ekonomis dan menghasil para legeslator, kepala daerah yang jauh lebih baik dan mencegah lahirnya koruptor koruptor baru, dalam rangka memperbaiki negara ini untuk masa depannya.

MUHAMMAD GUMARANG

Pengamat Sosial dan Politik

Sudah berapa banyak Kepala Daerah baik Bupati,Walikota maupun Gubenur yang harus berurusan dengan hukum karena tersangkut korupsi banyak yang harus menghuni jeruji besi dan tak sedikit pula yang lolos dari jeratan hukum karena kepiawaian, bahkan ada pula proses hukumnya  terombang ambing tak jelas, bagaikan bermain selancar di gunung salju penuh jurang dan babatuan dengan mempertontonkan ketangkasannya memukau walaupun berisiko kematian , contoh di KPK ada  kasus yang masuk dalam  Daftar Pencarian Orang (DPO) sampai sekarang belum ditemukan yang bersangkutan oleh KPK, raib alias menghilang seperti disembunyikan makluk halus (mahluk gaib).

Lain lagi kasus korupsi yang orangnya sudah berstatus tersangka dan kerugian negarapun sudah ditemukan tapi tersangkanya belum ditahan, bahkan berkeliaran, sehingga publik menduga KPK seakan akan menggatang asap dan/atau sedang halusinasi dan banyak contoh contoh yang lainnya lagi yang serupa tak sama.

Jadwal Pemilu dan Pilkada serentak sudah di tetapkan tahun 2024 oleh Pemerintah yang merupakan amanah konstitusi sangat menentukan lahirnya  pemimpin bangsa yang amanah dan berkualitas, namun semua itu sangat dipengaruhi oleh prilaku, kebiasaan, tradisi atau budaya dalam proses demokrasi dan politik, apakah menjujung tinggi etika moral dan kualitas, kapasitas, integritas atau isi tas yang di kenal di publik tersebut.

Maka bila mana tradisi isi tas menjadi parameter dalam mencapai keberhasilan atau suksesi dalam mengikuti pesta demokrasi dan politik, jelas indonesia berpotensi akan menciptakan bibit bibit korupsi baru yang berkelanjutan (sustainable coruption) di setiap Pemilu dan Pilkada

Biaya pesta demokrasi dan politik sangatlah besar, mahal bukan saja yang di biaya oleh Negara bersumber pada APBN dan APBD yaitu yang berkaitan terhadap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan keamanan Pemilu tersebut. Namun yang menyangkut biaya peserta politisi yang mengikuti kontestasi pesta demokrasi dan politik juga jauh lebih besar, baik itu  mengikuti kotestasi domokrasi dalam pemilu maupun pilkada, sekarang yang menjadi pertanyaan apa saja yang menimbul biaya politik itu high cost dan high risk, yaitu

Baca Juga :  Provinsi yang Disegani

Pertama biaya mendapatkan perahu atau partai politik yang menjadi perdebatan publik, yaitu mahalnya biaya politik yang dikenal dengan istilah mahar partai yang sudah menjadi tradisi dan membuat para politisi harus memutar kepala 360 derajat untuk mendapatkan, menyediakan dana pantastis tersebut agar dapat perahu. Poltisi kadang tidak lagi sempat berpikir panjang dan logis terhadap dana yang didapat tersebut harus kembali kepada penyokong dana.

Kedua biaya sosialisasi dan kampanye tidak sedikit, misalnya biaya pertemuan dengan konstituen atau masyarakat daerah pemilihan, cetak baleho, spanduk, kartu nama,kalender, baju, pertemuan dialogis, monologis  ini merupakan komponen biaya resmi yang dibenarkan menurut ketentuan perundang undangan, namun besarannya tergantung kemampuan keuangan politisi atau konstestan masing masing, dan besar kecil biaya atau dana yang digunakan sangat mempengaruhi potensi keberhasilan.

Ketiga biaya siluman ini nilainya sangat significant bahkan sangat menentukan kesuksesan meraih suara dengan isu beragam metode yang digunakan,misal istilah berani piro, traksasi jual beli suara, kanibalisasi suara tak bertuan atau tak ada penghuninya, serangan pajar, bantuan atau sumbangan sembako dan sebagainya. Biaya siluman merupakan kekuatan tradisi dalam pertempuran hidup mati mendapatkan suara atau kursi dalam pesta demokrasi.

Penomena yang bersifat adu nasif dengan cara cara yang menakutkan tersebut menjadi permasalahan klasik dalam demokrasi dan politik di indonesia, sehingga menumbuh kembang koruptor, bagaikan dibunuh satu tumbuh seribu, namun anehnya hal tersebut didukung oleh sebahagian sikap masyarakat cara cara yang bersifat transaksional dan adu materi dalam pesta demokrasi dan politik tersebut. Sehingga menutup peluang bagi kader bangsa yg tidak memiliki kemampuan isi tas, sekalipun memiliki, kualitas, kapastas, integritas, moralitas akhirnya terpaksa memposisi diri sebagai tokoh masyarakat, pemerhati/pengamat, konsultan, aktivis, akademisi.

Dalam rangka upaya merubah tradisi demokrasi dan politik berbiaya tinggi (high cost) dan resiko tinggi (high risk) sangatlah ditentukan oleh Partai Politik, termasuk masyarakat dan pemerintah sebagai pihak penentu dalam suksesi politisi yg memiliki kapasitas, berkualitas, integritas dan moralitas dalam pesta demokrasi dan politik.

Baca Juga :  Mengurai Kontroversi Al Zaytun

Peran Parpol dalam hal perbaikan tersebut melalui meniadakan uang mahar ataupun pungutan pungutan,setoran dan sejenisnya yang membebani para politisi yg menduduki jabatan politik secara berlebihan atau diluar kewajaran yang bisa menimbulkan memaksa untuk korupsi atau menyalah gunaan kewenangan atau jabatan (Abuse of power).

Peran masyarakat dalam hal tersebut tidak membebani politisi yg bersifat materi, trasaksional dalam komitmen politik namun menilai dari sisi kapasitas, kualitas, integritas dan moralitas dan/atau mendukung poltisi yang memiliki sumber daya manusia yang handal dan memiliki moralitas tanggung jawab terhadap publik amanah yang diberikan.

Peran Pemerintah sebagai wakil negara dalam ini sangat menentukan melalui regulasi ataupun produk peraturan perundang undang yang sifat nya negara hadir membantu meringankan biaya demokrasi dan politik seperti sosialisai dan kampanye untuk politisi yg ikut kontestasi baik pemilu maupun pilkada, bukan malah sebaliknya membuka ruang untuk terjadinya adu kekuatan materi atau menjadikan politik kapitalis, sehingga tak jarang saat pemilu atau pilkada para peserta kotestasi perang alat peraga kampanye seperti baleho,spanduk dan lainnya, termasuk memobilisasi masa dengan kemasan atau berkedok sosialisasi, pertemuan monologis, diologis dengan menggunakan dana besar, termasuk juga mencetak dan membagikan baju kaos, kain sarung, peci dan sebagainnya.

Belum lagi serangan siluman, ini jelas mempersempit kesempatan orang yang tidak memiliki kecukupan dana alias modal sekalipun memiliki kapasitas, kualutas, integritas dan moralitas namun tak berdaya dengan adanya ruang politik kapitalis. Keadaan hal ini harus dilakukan perubahan kebijakan oleh pemerintah agar menjadikan biaya politik yang ekonomis dan menghasil para legeslator, kepala daerah yang jauh lebih baik dan mencegah lahirnya koruptor koruptor baru, dalam rangka memperbaiki negara ini untuk masa depannya.

MUHAMMAD GUMARANG

Pengamat Sosial dan Politik

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/