DEMOKRASI adalah koridor sempit yang panjang dan berliku. Harus dititi dengan cermat dan hati-hati supaya tidak terpeleset dan jatuh ke dalam jurang. Ibarat titian serambut dibelah tujuh, demokrasi terancam bahaya dari kiri dan kanan. Di sebelah kanan ada jurang otoritarianisme dan di sebelah kiri ada jurang anarkisme.
Jika terpeleset dan jatuh ke sebelah kanan, demokrasi akan dilalap oleh jurang otoritarianisme. Pemerintahan yang terlalu kuat dan mendominasi lembaga legislatif dan yudikatif akan menghilangkan keseimbangan yang dibutuhkan untuk melewati titian. Itulah yang disebut sebagai mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan demokrasi.
Lembaga legislatif dibutuhkan untuk mengawasi dan mengimbangi kekuatan eksekutif yang cenderung kuat dan korup. Mahasiswa ilmu politik semester pertama suka mengutip Lord Acton ”power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan akan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak akan korup secara mutlak. Karena itu, kekuasaan tidak boleh dibiarkan berkuasa secara mutlak. Itulah pentingnya kekuatan penyeimbang dari legislatif.
Jika dua kekuatan tersebut kemudian melakukan kongkalikong, tidak ada kekuatan penyeimbang lagi. Yang muncul adalah kekuatan mutlak yang akan membuat kondisi miring ke kanan dan tercebur ke jurang otoritarianisme.
Sebaliknya, pemerintahan yang lemah akan terancam oleh gerakan dari kiri dalam bentuk anarkisme publik. Kekuatan publik yang tidak terkendali akan menjatuhkan pemerintah ke jurang anarkisme.
Itulah gambaran yang diberikan Daron Acemoglu dan James Anderson dalam buku The Narrow Corridor: State, Societies and the Fate of Liberty (2019). Kekuatan negara (state) dan kekuatan rakyat (society) berada pada posisi seimbang karena saling mengontrol dan mengawasi. Dalam posisi seimbang itulah akan terjadi kebebasan demokrasi (liberty), karena tidak ada dominasi dari satu kekuatan terhadap lainnya.
Jurang kanan oleh Acemoglu dan Anderson disebut sebagai ”Despotic Leviathan”, jurang kiri disebut sebagai ”Absent Leviathan”, dan keseimbangan di tengah adalah ”Shackled Leviathan”. Leviathan adalah hantu laut yang digambarkan dalam buku Thomas Hobbes (1588–1679) The Leviathan yang terbit tahun 1651. Hantu laut itu punya wajah banyak. Ia bisa menjadi dewa penolong, tapi bisa juga menjadi monster penghancur.
Hobbes menggambarkan manusia hidup dalam kondisi saling memangsa satu sama lain. Hidup digambarkan sebagai short, brutish, nasty, poor, solitary (singkat, brutal, keji, melarat, sepi). Karena itu, dibutuhkan kekuatan yang bisa mengatur kebrutalan tersebut supaya masyarakat tenang dan bahagia. Maka, diperlukanlah pemerintahan yang kuat seperti Leviathan.
Bagi Acemoglu dan Anderson, kebebasan demokrasi dan kesejahteraan rakyat (prosperity) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dipertukarkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan ketika rakyat kenyang. Karena itu, rakyat harus dikenyangkan dulu, baru kemudian diberi demokrasi.
Itulah pandangan pembangunanisme, developmentalisme, yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Pembangunanisme menekankan pada pembangunan ekonomi untuk menyejahterakan rakyat dan mengabaikan pembangunan demokrasi. Konsekuensinya, ketika pembangunan ekonomi hancur oleh krisis moneter, legitimasi rezim Orde Baru ikut ambruk.
Indonesia –sebagaimana semua negara demokrasi di dunia– berada pada titian rambut dibelah tujuh. Saat ini, ketika Indonesia sedang memasuki tahun politik menjelang suksesi 2024, dua monster Leviathan itu akan terlibat dalam pertarungan sengit.
Di satu sisi, rezim yang berkuasa berusaha mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan, sedangkan di sisi lain kalangan oposisi ingin membuat perubahan. Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa program pembangunan Presiden Jokowi tidak bisa dihentikan, unstoppable, harus jalan terus, dan wajib dilanjutkan presiden berikutnya.
Jokowi harus melakukan cawe-cawe untuk menjamin keberlanjutan program-programnya. Dia menggagas koalisi besar untuk memastikan kemenangan jagoannya. Dalam perjalanannya, kekuatan legislatif, yang seharusnya menjadi penyeimbang, telah terkooptasi oleh kekuatan eksekutif. Keseimbangan untuk melewati titian serambut dibelah tujuh berada dalam ancaman.
Sebagian rakyat sudah gerah. Sebagian rakyat sudah ada yang menyerukan people power. Lainnya menyerukan pemakzulan oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Sebuah video yang beredar di media sosial menggambarkan sebuah pertemuan di Solo yang dihadiri para aktivis, menyerukan gerakan rakyat people power untuk menggulingkan rezim Jokowi. Para aktivis itu melihat sudah terjadi pelanggaran konstitusi oleh Jokowi sehingga layak untuk ditumbangkan melalui people power.
Dari Melbourne, Denny Indrayana menyerukan impeachment, pemakzulan, Jokowi oleh DPR. Kata Denny, dosa-dosa politik Jokowi sudah cukup bertumpuk sehingga sudah layak bagi DPR untuk memakzulkannya. Denny membandingkan pemakzulan Presiden Richard Nixon di Amerika Serikat akibat dosa skandal Watergate dengan dosa Jokowi dalam kasus ”Moeldokogate”.
Moeldokogate adalah sebutan Denny untuk menggambarkan upaya KSP (Kepala Staf Kepresidenan) Moeldoko menjarah Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di mata Denny, Jokowi sudah melakukan dosa politik sehingga layak dimakzulkan.
Indonesia sudah punya pengalaman people power dalam proses jatuhnya Soekarno dan Soeharto. Indonesia juga sudah punya pengalaman memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam politik berlaku sebuah hukum besi, iron law, sekali terjadi peralihan kekuasaan dengan kekerasan, akan terjadi lagi dan lagi.
Hukum besi itu sangat mungkin akan terjadi lagi di Indonesia. Dan Indonesia sedang dikepung oleh Monster Leviathan dari kiri dan kanan. (*)