OLEH: Akhmad Kamil Rizani
IBADAH haji adalah salah satu rukun Islam yang menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu. Dalam konteks ini, kemampuan tidak semata-mata dinilai dari segi finansial, tetapi juga dari kesiapan fisik dan aksesibilitas. Namun, bagi kelompok penyandang disabilitas, pelaksanaan ibadah haji sering kali menghadirkan tantangan yang kompleks, mencakup dimensi fisik, sosial, dan struktural.
Penyelenggaraan ibadah haji bagi umat Islam Indonesia selalu menjadi agenda besar yang melibatkan jutaan orang setiap tahunnya. Dalam proses ini, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh jamaah dapat menunaikan ibadah dengan aman, nyaman, dan penuh kekhusyukan. Namun, bagi jamaah penyandang disabilitas, perjalanan menuju Tanah Suci sering kali menghadirkan tantangan yang tidak mudah. Mewujudkan haji yang inklusif bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal menyediakan fasilitas fisik, tetapi juga mencerminkan nilai keadilan dan kesetaraan yang menjadi inti dari ajaran Islam.
Pada tahun 2025, sebanyak 513 penyandang disabilitas tercatat menjadi jamaah haji (data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) hingga Senin (19/5/2025)). Dalam rangka memastikan kenyamanan dan kemudahan bagi penyandang disabilitas, Kemenag RI telah mengambil langkah strategis dengan menyiapkan bimbingan teknis (bimtek) bagi petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) serta meningkatkan kesiapan sarana dan fasilitas bagi jamaah difabel. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan layanan yang lebih inklusif.
Salah satu hal mendasar yang perlu terus dioptimalkan adalah sistem data dan informasi yang terintegrasi. Saat ini, pendaftaran haji belum sepenuhnya mampu mengidentifikasi kebutuhan spesifik jamaah disabilitas, seperti alat bantu mobilitas, layanan pendampingan, atau kebutuhan komunikasi khusus. Padahal, data semacam ini sangat penting untuk merancang layanan yang sesuai dengan kebutuhan individu. Tanpa pemetaan yang jelas, upaya inklusivitas sering kali terhambat oleh pendekatan yang bersifat umum dan tidak terarah.
Di sisi lain, pelatihan petugas haji menjadi elemen kunci dalam memastikan kualitas pelayanan. Petugas haji memiliki peran strategis sebagai pendamping utama jamaah selama proses ibadah. Dengan adanya bimtek yang diselenggarakan oleh Kemenag, petugas kini mulai dibekali dengan pemahaman tentang cara berkomunikasi dengan jamaah tunarungu, membantu jamaah dengan disabilitas sensorik lainnya, serta keterampilan teknis lainnya yang relevan. Peningkatan kapasitas ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga membangun sensitivitas terhadap keberagaman kebutuhan jamaah.
Fasilitas fisik juga memainkan peran penting dalam menciptakan pengalaman ibadah yang inklusif. Kemenag telah memastikan bahwa beberapa embarkasi dan asrama haji dilengkapi dengan jalur kursi roda, kamar mandi yang ramah disabilitas, dan lift. Namun, penerapan standar aksesibilitas ini masih belum merata di seluruh titik layanan. Hal ini menunjukkan perlunya kerja sama yang lebih erat antara Indonesia dan Arab Saudi dalam memastikan kenyamanan jamaah penyandang disabilitas.
Selain itu, teknologi dapat menjadi jawaban untuk mengatasi banyak tantangan ini. Aplikasi yang dirancang khusus untuk jamaah disabilitas, misalnya, dapat menyediakan panduan ibadah berbasis audio untuk tunanetra, penerjemahan ke dalam bahasa isyarat untuk tunarungu, atau informasi visual yang mempermudah mobilitas. Teknologi semacam ini tidak hanya membantu dalam hal teknis, tetapi juga memberikan rasa kemandirian bagi jamaah, yang sangat penting dalam perjalanan spiritual penyandang disabilitas.
Kemenag RI juga memiliki peluang besar untuk menggandeng komunitas disabilitas dan organisasi masyarakat sipil dalam menyusun kebijakan dan program. Melibatkan organisasi penyandang disabilitas secara langsung bukan hanya memastikan relevansi kebijakan, tetapi juga memberikan suara bagi kelompok yang selama ini kurang terwakili dalam proses perencanaan. Kolaborasi semacam ini akan memperkuat kesadaran bahwa inklusivitas adalah tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan dengan sungguh-sungguh.
Memfasilitasi penyandang disabilitas dalam ibadah haji adalah wujud implementasi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan keringanan dalam Islam. Ini mencakup menyediakan fasilitas fisik, pendampingan, teknologi, dan solusi lain yang membantu mereka menjalankan ibadah dengan aman dan nyaman. Sebagai umat Islam, kita berkewajiban menjadikan ibadah sebagai ruang yang inklusif bagi semua, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Penyelenggaraan ibadah haji yang ramah disabilitas bukan hanya tentang memberikan layanan tambahan bagi sebagian kecil jamaah. Ini adalah bagian dari komitmen untuk menjadikan ibadah sebagai ruang yang inklusif bagi semua umat, tanpa kecuali. Dengan langkah-langkah yang terencana dan terukur, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam pelayanan haji yang berkeadilan dan mencerminkan nilai-nilai luhur Islam. Kini, saatnya mewujudkan haji sebagai pengalaman spiritual yang terbuka dan ramah bagi semua.(*)