Oleh: Try Novian Hidayat
Indonesia tumbuh dari desa adalah pembangunan Indonesia yang berorientasi pada pembangunan wilayah administrasi terendahnya yakni pembangunan desa. Desa merupakan wilayah administrasi terendah yang memiliki kewenangan dalam mengurusi urusan pemerintahan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tercatat berdasarkan data Potensi Desa tahun 2018, jumlah pemerintahan desa di Indonesia ada sebanyak 75.436 atau sebesar 89,9 persen dari jumlah wilayah pemerintahan pada level terendah yang ada di Indonesia. Melihat dari banyaknya jumlah pemerintahan desa, maka pembangunan yang berorientasi pada pembangunan desa memiliki kontribusi yang besar pada pembangunan Indonesia.
Pada publikasi Indeks Pembangunan Desa 2018 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik, disebutkan bahwa desa telah ditetapkan sebagai subjek pembangunan nasional. Tujuan dijadikannya desa sebagai subjek pembangunan nasional antara lain untuk mengurangi kesenjangan pembangunan perdesaan dan perkotaan yang cenderung bias perkotaan (urban bias). Urban bias adalah pembangunan yang hanya menguntungkan masyarakat perkotaan dan malah merugikan masyarakat yang tinggal di perdesaan. Selain itu, tujuan lain dijadikannya desa sebagai subjek pembangunan adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan di tingkat desa agar menjadi solusi perubahan sosial ekonomi desa. Desa sebagai subyek pembangunan, diharapkan mampu mendekatkan pelayanan terhadap warga melalui pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan.
Mulai dari menggerakan perekonomian, membangun sarana pendidikan, kesehatan, sarana energi, transportasi, dan komunikasi, serta sarana lain yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 74 yang berbunyi kebutuhan pembangunan desa meliputi kebutuhan dasar, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Dan pada pasal 78 pada undang-undang yang sama dinyatakan bahwa pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Berdasarkan publikasi Indeks Pembangunan Desa 2018, tahap perkembangan desa di Indonesia secara nasional dalam kategori desa berkembang dengan nilai Indeks Pembangunan Desa (IPD) sebesar 59,36 dari 100. Itu artinya desa-desa di Indonesia kebanyakan baru berada pada kondisi yang cukup memadai dalam ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan. Masih cukup jauh untuk masuk pada kategori desa mandiri di mana nilai indeks desa termasuk kategori mandiri adalah lebih dari 75. Desa mandiri adalah desa yang sudah sangat baik ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang tumbuh dari desa, dibutuhkan kebijakan yang mampu menyinergikan langkah antarpemangku kebijakan pembangunan di pemerintahan pusat dan daerah. Kebijakan tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga level pemerintahan terkecil yakni pemerintah desa sebagai upaya bersama dalam mewujudkan pembangunan Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk dilaksanakan karena ‘jarak’ birokrasi dari pemerintah pusat hingga pemerintah level terendah yakni pemerintah desa sangatlah panjang dan berpotensi menimbulkan kebijakan pembangunan yang tidak selaras ataupun kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran. Keselarasan dalam penentuan kebijakan pembangunan ini dapat terwujud apabila didukung oleh data berkualitas untuk perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan.
Adapun kondisi yang ada sekarang malah sebaliknya, kualitas data di Indonesia belum cukup baik untuk mengakselerasi pembangunan desa-desa di Indonesia. Data-data pemerintah terkait data statistik sektoral sulit untuk didapatkan. Hal ini terjadi karena banyaknya data sektoral yang dipegang oleh individu. Sehingga ketika individu yang bersangkutan dipindahtugaskan maka data sektoral tersebut tidak lagi dimiliki oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, belum tersedianya sistem komunikasi dan koordinasi yang baik dalam mengelola data pemerintah menyebabkan sulitnya mencari data pemerintah. Kondisi lainnya adalah banyak kegiatan statistik yang dilakukan dinas/instansi di daerah yang tidak menerapkan standar data. Sehingga sering ditemukan perbedaan data statistik antarinstansi.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi tata kelola data yang ada sekarang maka pada tahun 2019 ditetapkan Perpres RI Nomor 39 tentang Satu Data Indonesia (SDI). SDI merupakan suatu tata kelola data pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan data berkualitas, mudah diakses, dan dapat dibagi pakai antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah.
Secara rinci, tujuan pengaturan tata kelola data dalam SDI adalah memberikan acuan pelaksanaan dan pedoman bagi Instansi Pusat dan Instansi Daerah dalam rangka penyelenggaraan tata kelola data untuk mendukung perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan; mewujudkan ketersediaan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagi pakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan; mendorong keterbukaan dan transparansi data sehingga tercipta perencanaan dan perumusan kebijakan pembangunan yang berbasis pada data; mendukung Sistem Statistik Nasional (SSN) sesuai peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya SDI maka pemerintah dapat memanfaatkan data berkualitas secara cepat dan tepat sehingga mampu menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien untuk mensinergikan kebijakan-kebijakan pembangunan yang dilaksanakan antarpemangku kebijakan di pemerintahan pusat dan daerah.
Penyelenggara SDI terdiri dari penyelenggara SDI di tingkat pusat dan daerah. Penyelenggara SDI di tingkat daerah terdiri dari Pembina Data, Walidata tingkat daerah, Walidata pendukung, dan Produsen Data. Pembina data di tingkat daerah adalah Badan Pusat Statistik (BPS) di daerah. Tugas pembina data adalah mengkoordinasikan pelaksanaan Satu Data Indonesia. Walidata adalah instansi yang bertugas mengelola dan menyebarluaskan data. Sementara Produsen Data adalah instansi yang melaksanakan kegiatan pengumpulan data.
Agar dapat dijadikan sebagai solusi dari kebutuhan data berkualitas untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan, SDI memiliki empat prinsip. Prinsip pertama, data yang dihasilkan oleh produsen harus memenuhi standar data. Tujuannya untuk memudahkan pengumpulan, berbagi pakai, dan pengintegrasian data serta memastikan adanya informasi yang jelas tentang data yang dihasilkan. Prinsip kedua, data yang dihasilkan produsen data harus memiliki metadata. Artinya, data yang dihasilkan produsen harus memiliki informasi yang disusun sedemikian rupa untuk menggambarkan, menjelaskan, menempatkan, memudahkan pencarian, menggunakan, atau mengelola sumber daya informasi.
Prinsip ketiga, data yang dihasilkan produsen data harus memenuhi kaidah interoperabilitas. Artinya, data yang dihasilkan harus siap untuk dibagipakaikan antarsistem elektronik yang saling berinteraksi. Prinsip keempat, data yang dihasilkan produsen data menggunakan kode referensi dan/atau kode induk.
Berdasarkan penjelasan di atas, kebijakan Satu Data Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi kunci untuk akselerasi pembangunan desa-desa di Indonesia. Dengan memanfaatkan hasil SDI yang berupa data berkualitas utamanya data statistik sektoral, pemerintah dapat mengukur program-program terkait pembangunan desa. Dengan demikian, kebutuhan akan data berkualitas untuk perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan utamanya pembangunan desa dapat terpenuhi. Sehingga kebijakan pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah terjaga keselarasan dan ketepatannya untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang tumbuh dari desa.
Pada akhirnya, kebijakan SDI yang telah dibangun ini tidak akan terwujud tanpa komitmen dan kolaborasi seluruh penyelenggara yang terlibat di dalamnya. Melalui momentum Hari Statistik Nasional 26 September, kita diingatkan kembali bahwa menyediakan data statistik yang berkualitas adalah suatu keharusan dalam upaya pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan Indonesia yang tumbuh dari desa.
(Penulis adalah Fungsional Statistisi Pertama di BPS Kabupaten Barito Selatan)