Oleh; Agus Pramono
“MUDAH-MUDAHAN para sultan Puruk Cahu datang ke sini. Saking sugihnya nah, kami berisi kolam (saking kayanya kami sampai berisi kolam).” Celetuk emak-emak yang duduk di atap rumah itu membuat miris. Di sisi lain, juga mengundang ketawa siapa saja yang mendengar jeritannya itu. Video tersebut pun sempat viral di media sosial yang ada di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Rumahnya kebanjiran. Dia cuci piring dan baju dari atap. Air banjir diumpamakan kolam multifungsi. Dia menjerit, meminta bantuan. Dia memanggil sultan, atau kata pengganti dari orang yang kaya.
Jeritan emak-emak itu murni merupakan luapan kegelisahan. Mungkin, selama terjadi bencana banjir, tidak ada satu pun pejabat yang datang berkunjung. Tidak ada yang memberi bantuan. Politikus-politikus yang mencari panggung ogah basah-basahan. Padahal, dalam hati mereka, pengen banget ngasih bantuan sembako, sekaligus menyelipkan kartu nama.
Bencana banjir di Kalteng memang sudah biasa terjadi. Tiap musim hujan. Namun, seiring bertambahnya tahun, banjir makin menggila. Jika dua tahun lalu hanya sepinggang orang dewasa, sekarang ayam pun bisa nongkrong di atap rumah pemiliknya. Tidak tahu lagi, bagaimana banjir pada lima sampai sepuluh tahun mendatang. Tidak bisa dibayangkan.
Kita tak bisa mengelak lagi. Kalteng menjadi provinsi penyumbang deforestasi tertinggi di Indonesia. Mengacu pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang tahun 1990-2022, total deforestasi di Indonesia adalah 24.5 juta hektare.
Dalam kurun waktu yang sama, total deforestasi Pulau Kalimantan mencapai 9,5 juta hektare. Sementara, total deforestasi Kalteng sebesar 3,6 juta hektare atau 14,54 persen, sedikit di bawah Riau yang berada di angka 14,84 persen dari total deforestasi Indonesia.
Save Our Borneo (SOB) juga merilis, luas hutan Kalteng pada tahun 2000 adalah 10.894.712 hektare. Kemudian tahun 2022 tersisa 9.996.804 hektare. Selama 22 tahun, Kalteng telah kehilangan hutan seluas 897.908 hektare.
Namun, data-data itu tak ada artinya. Tidak akan dipakai untuk bahan evaluasi, agar bencana banjir tidak terulang lagi. Pemerintah lebih suka mencari aman. Hujan yang selalu dijadikan kambing hitam.
Jika emak-emak di Puruk Cahu tadi mencari sultan, ada juga puluhan pemuda di Palangka Raya yang mencari sultan. Mereka bukan korban banjir. Disebut korban janji, bisa juga. Atau yang lebih lembut, para pemuda korban perasaan.
Mereka ngambek tidak menerima bantuan yang memang menjadi hak mereka. Bantuan itu sangat dibutuhkan keluarganya agar bisa makan. Kesempatan bertemu sultan tidak ada. Lalu, kekesalan itu dicurahkan ke media sosial. Viral. Kayak emak-emak tadi.
Usai viral, si sultan yang dicari-cari oleh para pemuda itu akhirnya muncul. Sultan tak terima dibilang tak memberi bantuan. Si sultan malah menyalahkan pemuda-pemuda itu, karena dianggap tidak menjalankan kewajiban dengan penuh perasaan. Menjiwai ketika bekerja.
Si sultan akhirnya melapor ke aparat berseragam. Tidak terima nama baiknya dicoreng. Pemuda-pemuda itu juga ngambek. Pulang ke rumah masing-masing. Sama-sama rugi.
Sebagai masyarakat awam, sudah pasti tidak tahu siapa yang benar dan yang salah. Namun bagi masyarakat yang paham, sudah pasti berteriak; “loe yang salah, loe yang marah.” (*/ce)
*) Penulis Adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos