Kamis, Januari 9, 2025
25.5 C
Palangkaraya

KALi Project Kolaborasi Solusi Inovatif Mencegah Kebakaran Gambut

UPR, UI, UGM, Universitas Leichester, Universitas Leeds, Universitas East Anglia, serta London School of Economic and Political Science

 

PALANGKA RAYA,- Bisakah konsep Kalimantan Lestari menjadi kenyataan? Temuan penelitian pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh Indonesia dan Inggris di Palangkaraya, 8 Januari. Temuan penelitian baru menambah pemahaman kita tentang penyebab kebakaran lahan gambut dan dampak kebakaran terhadap kualitas udara dan air serta kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah.

Ada juga tekanan yang signifikan dari kekeringan dan kesenjangan sosial dalam kepemilikan dan pengelolaan lahan, yang menunjukkan bahwa pencapaian Kalimantan Lestari, dimana masyarakat dan lingkungan dapat berkembang, harus menjadi agenda utama para pemangku kepentingan di tingkat lokal, nasional, dan global. Pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian di Kalimantan ini memberikan peningkatan pemahaman tentang lingkungan lahan gambut dan masyarakat di seluruh bangsa Indonesia.

Selama beberapa dekade terakhir, Kalimantan Tengah telah menjadi salah satu episentrum utama kebakaran lahan gambut di Indonesia. Hal ini mempunyai implikasi terhadap lingkungan lokal dan regional serta komunitas manusia di dalamnya, dan juga terhadap iklim global, karena degradasi lahan gambut dan kebakaran merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang meningkatkan perubahan iklim

Penelitian ini dirancang untuk menjawab tiga pertanyaan inti: Apa dampak kekeringan dan kebakaran lahan gambut tropis di Kalimantan Tengah, dan komunitas mana yang paling rentan terhadap bahaya ini? Terkait kualitas udara, peneliti Kalimantan Lestari (KaLi) mengukur PM2.5, yaitu partikel berukuran 2,5 mikrometer atau kurang dan termasuk asap konsentrasi tinggi berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang parah.

Baca Juga :  Peduli Warga Terdampak PPKM, Bagikan 1.400 Paket Bansos

Akibat kabut asap kebakaran lahan gambut, hampir dua pertiga masyarakat Kalimantan Tengah terpapar kualitas udara yang tergolong tidak sehat, sangat tidak sehat, bahkan berbahaya. Para peneliti menemukan bahwa tinggal di dalam rumah selama peristiwa kabut asap tahun 2023 tidak memberikan perlindungan apa pun, karena sebagian besar rumah bersifat terbuka. “Pada tahun 2023, diperkirakan 1,6 juta orang di kawasan ini terpapar PM2.5 dengan tingkat yang melebihi pedoman keselamatan. Banyak orang yang disurvei pernah mengalami kabut asap di dalam rumah mereka dan melihat dampak kabut terhadap kesehatan keluarga mereka, menjelaskan bahwa anak-anak mereka dirawat di rumah sakit karena infeksi saluran pernafasan akut dan iritasi mata yang disebabkan oleh asap,” kata Dr Ailish Graham. Ilmuwan Kualitas Udara di Universitas Leeds di Inggris.

Para peneliti juga mempelajari kualitas air. “Kami menemukan bahwa kadar oksigen terlarut di Sungai Sebangau sangat rendah selama musim kemarau dan hujan,” kata Dr Yulintine, Ilmuwan Perairan di Universitas Palangka Raya.

“Meskipun rendahnya kadar oksigen merupakan ciri umum sungai yang berair hitam, kondisi ini kemungkinan besar akan diperburuk oleh kekeringan ekstrem dan kebakaran lahan gambut. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Jika masyarakat di Kalimantan Tengah hanya mengandalkan ikan dari sungai Sebangau dan Kahayan, maka masyarakat mungkin perlu mempertimbangkan sumber protein alternatif berbasis ikan seperti budidaya perikanan.”

Di luar dampak fisik dari polusi udara dan air, terdapat dampak tersembunyi terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang hidup akibat kebakaran lahan gambut.
peristiwa kebakaran lahan gambut berdampak pada aspek non-material terhadap kualitas hidup.

Baca Juga :  Penuhi Kebutuhan Daging melalui Program Sikomandan

Tim KALi juga telah mempelajari penyebab kekeringan dan kebakaran lahan gambut yang terjadi Kalimantan Tengah untuk lebih memahami di mana dan kapan risiko kebakaran paling besar sehingga intervensi dapat dilakukan tepat sasaran.

Dengan memodelkan iklim masa depan berdasarkan kondisi perubahan iklim global dan berbagai kemungkinan skenario deforestasi, tim menemukan bahwa risiko kebakaran meningkat seiring dengan perubahan iklim dan deforestasi.

“Hasil paling penting dari pemodelan komputer adalah bahwa hilangnya hutan alam akan menyebabkan peningkatan risiko musim kemarau yang ekstrim, bahkan lebih buruk dibandingkan tahun 2015. Dengan mempertahankan tutupan hutan saat ini dan bahkan mungkin meningkatkannya melalui program reboisasi, penelitian ini menunjukkan bahwa hal ini akan membantu memitigasi dampak perubahan iklim dan mengurangi kejadian kondisi cuaca yang memperburuk kebakaran. Jadi, menerapkan kebijakan nasional untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030 sangatlah penting untuk mengurangi kebakaran,” kata Frank van Veen, Pemimpin Proyek KaLi dan Profesor Ekologi dan Konservasi di Universitas Exeter.

Dari penelitian kolaboratif yang melibatkan peneliti Indonesia dan Inggris dari berbagai disiplin ilmu, memahami bahwa upaya tersebut memerlukan pendekatan holistik dimana solusi teknis, seperti pembendungan kanal dan reboisasi, terintegrasi sepenuhnya dalam pengembangan masyarakat untuk memastikan penghidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat pada saat yang bersamaan serta untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan.

“Kami punya visi Kalimantan Lestari, Penelitian kolaboratif sangat penting untuk mendapatkan pemahaman komprehensif tentang ekosistem lahan gambut di Indonesia dan untuk mendukung tindakan efektif dalam membangun ketahanan terhadap kondisi kekeringan,´tutup Prof Frank van Veen. (hen)

UPR, UI, UGM, Universitas Leichester, Universitas Leeds, Universitas East Anglia, serta London School of Economic and Political Science

 

PALANGKA RAYA,- Bisakah konsep Kalimantan Lestari menjadi kenyataan? Temuan penelitian pengelolaan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh Indonesia dan Inggris di Palangkaraya, 8 Januari. Temuan penelitian baru menambah pemahaman kita tentang penyebab kebakaran lahan gambut dan dampak kebakaran terhadap kualitas udara dan air serta kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah.

Ada juga tekanan yang signifikan dari kekeringan dan kesenjangan sosial dalam kepemilikan dan pengelolaan lahan, yang menunjukkan bahwa pencapaian Kalimantan Lestari, dimana masyarakat dan lingkungan dapat berkembang, harus menjadi agenda utama para pemangku kepentingan di tingkat lokal, nasional, dan global. Pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian di Kalimantan ini memberikan peningkatan pemahaman tentang lingkungan lahan gambut dan masyarakat di seluruh bangsa Indonesia.

Selama beberapa dekade terakhir, Kalimantan Tengah telah menjadi salah satu episentrum utama kebakaran lahan gambut di Indonesia. Hal ini mempunyai implikasi terhadap lingkungan lokal dan regional serta komunitas manusia di dalamnya, dan juga terhadap iklim global, karena degradasi lahan gambut dan kebakaran merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang meningkatkan perubahan iklim

Penelitian ini dirancang untuk menjawab tiga pertanyaan inti: Apa dampak kekeringan dan kebakaran lahan gambut tropis di Kalimantan Tengah, dan komunitas mana yang paling rentan terhadap bahaya ini? Terkait kualitas udara, peneliti Kalimantan Lestari (KaLi) mengukur PM2.5, yaitu partikel berukuran 2,5 mikrometer atau kurang dan termasuk asap konsentrasi tinggi berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang parah.

Baca Juga :  Peduli Warga Terdampak PPKM, Bagikan 1.400 Paket Bansos

Akibat kabut asap kebakaran lahan gambut, hampir dua pertiga masyarakat Kalimantan Tengah terpapar kualitas udara yang tergolong tidak sehat, sangat tidak sehat, bahkan berbahaya. Para peneliti menemukan bahwa tinggal di dalam rumah selama peristiwa kabut asap tahun 2023 tidak memberikan perlindungan apa pun, karena sebagian besar rumah bersifat terbuka. “Pada tahun 2023, diperkirakan 1,6 juta orang di kawasan ini terpapar PM2.5 dengan tingkat yang melebihi pedoman keselamatan. Banyak orang yang disurvei pernah mengalami kabut asap di dalam rumah mereka dan melihat dampak kabut terhadap kesehatan keluarga mereka, menjelaskan bahwa anak-anak mereka dirawat di rumah sakit karena infeksi saluran pernafasan akut dan iritasi mata yang disebabkan oleh asap,” kata Dr Ailish Graham. Ilmuwan Kualitas Udara di Universitas Leeds di Inggris.

Para peneliti juga mempelajari kualitas air. “Kami menemukan bahwa kadar oksigen terlarut di Sungai Sebangau sangat rendah selama musim kemarau dan hujan,” kata Dr Yulintine, Ilmuwan Perairan di Universitas Palangka Raya.

“Meskipun rendahnya kadar oksigen merupakan ciri umum sungai yang berair hitam, kondisi ini kemungkinan besar akan diperburuk oleh kekeringan ekstrem dan kebakaran lahan gambut. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Jika masyarakat di Kalimantan Tengah hanya mengandalkan ikan dari sungai Sebangau dan Kahayan, maka masyarakat mungkin perlu mempertimbangkan sumber protein alternatif berbasis ikan seperti budidaya perikanan.”

Di luar dampak fisik dari polusi udara dan air, terdapat dampak tersembunyi terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang hidup akibat kebakaran lahan gambut.
peristiwa kebakaran lahan gambut berdampak pada aspek non-material terhadap kualitas hidup.

Baca Juga :  Penuhi Kebutuhan Daging melalui Program Sikomandan

Tim KALi juga telah mempelajari penyebab kekeringan dan kebakaran lahan gambut yang terjadi Kalimantan Tengah untuk lebih memahami di mana dan kapan risiko kebakaran paling besar sehingga intervensi dapat dilakukan tepat sasaran.

Dengan memodelkan iklim masa depan berdasarkan kondisi perubahan iklim global dan berbagai kemungkinan skenario deforestasi, tim menemukan bahwa risiko kebakaran meningkat seiring dengan perubahan iklim dan deforestasi.

“Hasil paling penting dari pemodelan komputer adalah bahwa hilangnya hutan alam akan menyebabkan peningkatan risiko musim kemarau yang ekstrim, bahkan lebih buruk dibandingkan tahun 2015. Dengan mempertahankan tutupan hutan saat ini dan bahkan mungkin meningkatkannya melalui program reboisasi, penelitian ini menunjukkan bahwa hal ini akan membantu memitigasi dampak perubahan iklim dan mengurangi kejadian kondisi cuaca yang memperburuk kebakaran. Jadi, menerapkan kebijakan nasional untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030 sangatlah penting untuk mengurangi kebakaran,” kata Frank van Veen, Pemimpin Proyek KaLi dan Profesor Ekologi dan Konservasi di Universitas Exeter.

Dari penelitian kolaboratif yang melibatkan peneliti Indonesia dan Inggris dari berbagai disiplin ilmu, memahami bahwa upaya tersebut memerlukan pendekatan holistik dimana solusi teknis, seperti pembendungan kanal dan reboisasi, terintegrasi sepenuhnya dalam pengembangan masyarakat untuk memastikan penghidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat pada saat yang bersamaan serta untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan.

“Kami punya visi Kalimantan Lestari, Penelitian kolaboratif sangat penting untuk mendapatkan pemahaman komprehensif tentang ekosistem lahan gambut di Indonesia dan untuk mendukung tindakan efektif dalam membangun ketahanan terhadap kondisi kekeringan,´tutup Prof Frank van Veen. (hen)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/