Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Seni Ukir Sudah Dikenal 1500 SM

PALANGKA RAYA –  Pembuatan patung memiliki keterkaitan erat dengan seni ukir. Nenek moyang orang Indonesia telah mengenal seni ukir sejak 1500 sebelum masehi (SM). Seni ini makin berkembang pada tahun 500 – 300 SM.

Hal ini disampaikan oleh Prof Kumpiady Widen PhD saat menjadi narasumber Diskusi Terpumpun Kajian Koleksi Patung yang diselenggarakan oleh UPT Museum Balanga, Palangk Raya, Rabu (20/7).

Diskusi yang mengundang dua narasumber ini Prof Kumpiady Widen PhD dan Yerson MHum dihadiri oleh 50 orang perwakilan mahasiswa, komunitas pecinta sejarah, budayawan dan instansi.

Pelaksana Tugas (Plt) UPT Museum Balanga Lilik Margiatsih menyatakan, kegiatan yang diselenggarakan bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta kepada pelajar, mahasiswa serta masyarakat luas tentang sejarah Kalteng.

Baca Juga :  Tiga Fakultas UMPR Gelar Pengabdian Masyarakat di Danau Tundai

“Selain itu kegiatan juga bertujuan untuk menjaga adat dan budaya terhadap barang-barang peninggalan leluhur sebagai koleksi yang ada di Museum ini,” tuturnya dalam sambutannya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng dalam sambutannya yang dibacakan Sekretaris Ramlah Achmad Selamat Pelu mengatakan, Diskusi Terpumpun tentang kearifan Lokal dan Karya Budaya dalam Optik permuseuman telah sesuai dengan program Pemerintah baik Pusat maupun Daerah.

Prof Kumpiady Widen PhD memaparkan tentang Patung dari Sejarah, Ragam Dan Fungsinya. Dia menyatakan, sejarah Patung erat kaitannya dengan perkembangan seni ukir.

“Menurut literatur orang Indonesia termasuk Kalteng telah mengenal seni ukir sejak 1500 SM.  Pada Tahun 500-300 SM  berkembang. Dalam dekade itu masyarakat menggunakan bahan perunggu, emas, dan perak untuk diukir, sehingga motif ukiran yang dihasilkan mulai beragam,” ujarnya..

Baca Juga :  Aksi Solidaritas, PSI Berbagi Takjil

Sementara Yerson dalam paparannya menjelaskan tentang Kajian Sapundu dan gambaran umum Budaya Dayak yang ada di Museum Balanga. Dalam konteks ritual umumnya Sapundu untuk mengikat binatang kurban sapi atau kerbau pada ritual kematian atau lainnya. Bahan terbuat dari kayu besi atau ulin, dan dibuatkan ukiran dalam sosok patung manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lain,” ungkapnya. (dha/b5/sos/ko)

PALANGKA RAYA –  Pembuatan patung memiliki keterkaitan erat dengan seni ukir. Nenek moyang orang Indonesia telah mengenal seni ukir sejak 1500 sebelum masehi (SM). Seni ini makin berkembang pada tahun 500 – 300 SM.

Hal ini disampaikan oleh Prof Kumpiady Widen PhD saat menjadi narasumber Diskusi Terpumpun Kajian Koleksi Patung yang diselenggarakan oleh UPT Museum Balanga, Palangk Raya, Rabu (20/7).

Diskusi yang mengundang dua narasumber ini Prof Kumpiady Widen PhD dan Yerson MHum dihadiri oleh 50 orang perwakilan mahasiswa, komunitas pecinta sejarah, budayawan dan instansi.

Pelaksana Tugas (Plt) UPT Museum Balanga Lilik Margiatsih menyatakan, kegiatan yang diselenggarakan bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta kepada pelajar, mahasiswa serta masyarakat luas tentang sejarah Kalteng.

Baca Juga :  Tiga Fakultas UMPR Gelar Pengabdian Masyarakat di Danau Tundai

“Selain itu kegiatan juga bertujuan untuk menjaga adat dan budaya terhadap barang-barang peninggalan leluhur sebagai koleksi yang ada di Museum ini,” tuturnya dalam sambutannya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng dalam sambutannya yang dibacakan Sekretaris Ramlah Achmad Selamat Pelu mengatakan, Diskusi Terpumpun tentang kearifan Lokal dan Karya Budaya dalam Optik permuseuman telah sesuai dengan program Pemerintah baik Pusat maupun Daerah.

Prof Kumpiady Widen PhD memaparkan tentang Patung dari Sejarah, Ragam Dan Fungsinya. Dia menyatakan, sejarah Patung erat kaitannya dengan perkembangan seni ukir.

“Menurut literatur orang Indonesia termasuk Kalteng telah mengenal seni ukir sejak 1500 SM.  Pada Tahun 500-300 SM  berkembang. Dalam dekade itu masyarakat menggunakan bahan perunggu, emas, dan perak untuk diukir, sehingga motif ukiran yang dihasilkan mulai beragam,” ujarnya..

Baca Juga :  Aksi Solidaritas, PSI Berbagi Takjil

Sementara Yerson dalam paparannya menjelaskan tentang Kajian Sapundu dan gambaran umum Budaya Dayak yang ada di Museum Balanga. Dalam konteks ritual umumnya Sapundu untuk mengikat binatang kurban sapi atau kerbau pada ritual kematian atau lainnya. Bahan terbuat dari kayu besi atau ulin, dan dibuatkan ukiran dalam sosok patung manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lain,” ungkapnya. (dha/b5/sos/ko)

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/