Minggu, Februari 23, 2025
30.5 C
Palangkaraya

Carbon Trading: Dibayar Untuk Pelestarian Hutan dan Gambut

PALANGKA RAYA – Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan provinsi dengan kawasan hutan yang luas serta memiliki ekosistem gambut yang besar. Kedua hal ini menjadi potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui skema perdagangan karbon (carbon trading).

Dengan menjaga kelestarian hutan dan gambut, perusahaan penghasil emisi karbon bersedia membayar kompensasi kepada pengelola hutan dan gambut karena ekosistem ini mampu menyerap emisi karbon.

Peluang serta skema bisnis perdagangan karbon menjadi topik utama dalam Diskusi Interaktif yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Kalteng, Jumat (21/2/2025) malam.

Diskusi terbatas yang berlangsung di halaman MES Kalteng, Jalan MH Thamrin, Palangka Raya ini menghadirkan Direktur Yayasan Perkumpulan Kalimantan Bumi Lestari (KBLi), Dadang Riansyah SHut. Kegiatan tersebut dihadiri oleh pengurus MES Kalteng dan mahasiswa, serta dibuka oleh Ketua Umum MES Kalteng, Hj. Norhani, S.Sos., M.A.P., didampingi Sekretaris Umum, H. Heru Hidayat, S.T., M.Pd.

Menurut Norhani, dengan luasnya hutan dan lahan gambut yang dimiliki, Kalteng memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon. Diskusi ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam mengenai peluang dan skema perdagangan karbon di daerah tersebut.

Baca Juga :  Tim Call Center 112 Evakuasi Beruk Liar

“Bagi Kalteng, ini bisa menjadi model ekonomi masa depan yang ramah lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Norhani, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kalteng.

Dadang menjelaskan bahwa luas kawasan hutan Kalteng mencapai 12,7 juta hektare atau sekitar 82 persen dari total luas wilayah 15 juta hektare. Hal ini menjadikan Kalteng sebagai salah satu wilayah dengan potensi besar dalam perdagangan karbon.

Kekhawatiran terhadap perubahan iklim global menjadi latar belakang perdagangan karbon. Peningkatan suhu bumi akibat emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan es di kutub mencair, permukaan air laut naik, serta mengancam sektor pertanian yang berpotensi menyebabkan krisis pangan.

“Saat ini, suhu bumi telah meningkat 1 derajat Celsius. Jika naik hingga 2 derajat Celsius, es di kutub bisa mencair seluruhnya dan menyebabkan daratan tenggelam,” ujar Dadang.

Gas CO2 dihasilkan dari aktivitas industri, pembakaran batubara, serta kendaraan bermotor. Sementara itu, pohon, gambut, dan hutan mangrove memiliki kemampuan menyerap gas CO2. Oleh karena itu, negara-negara di dunia sepakat untuk mewajibkan perusahaan penghasil emisi karbon membayar kompensasi kepada kelompok masyarakat atau perusahaan yang mampu menjaga kelestarian hutan dan gambut.

Baca Juga :  Pemkab Gandeng KPU untuk Pembentukan TPS di PBS

“Masyarakat yang menjaga hutan akan mendapatkan kompensasi dari negara dan perusahaan industri. Hutan dan gambut yang terjaga akan dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan oksigen (O2) serta menyerap karbon dioksida (CO2). Saat ini, harga satu ton CO2 dipatok sebesar 5 dolar AS,” jelas Dadang.

Tugas masyarakat atau kelompok yang mengelola hutan adalah memastikan hutan tidak terbakar serta menjaga lahan gambut tetap basah agar tetap mampu menyerap CO2.

“Pada 2018, di Kalteng sudah ada tiga perusahaan yang berhasil melakukan perdagangan karbon. Di Kalimantan Timur, program ini telah berjalan dan dikelola oleh pemerintah provinsi setempat. Satu desa di sana bahkan mendapat kompensasi sebesar Rp1,75 miliar per tahun,” ungkap Dadang.

Mulai 25 Januari 2025, Pemerintah Indonesia telah mewajibkan perusahaan untuk membayar kompensasi karbon.

“Saya baru saja menerima kunjungan dari enam perusahaan yang mencari kelompok masyarakat yang telah mengelola hutan dan memiliki sertifikat. Mereka siap membeli kredit karbon, tetapi hingga saat ini, belum ada kelompok masyarakat yang memenuhi persyaratan tersebut,” tutup Dadang. (sma)

PALANGKA RAYA – Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan provinsi dengan kawasan hutan yang luas serta memiliki ekosistem gambut yang besar. Kedua hal ini menjadi potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui skema perdagangan karbon (carbon trading).

Dengan menjaga kelestarian hutan dan gambut, perusahaan penghasil emisi karbon bersedia membayar kompensasi kepada pengelola hutan dan gambut karena ekosistem ini mampu menyerap emisi karbon.

Peluang serta skema bisnis perdagangan karbon menjadi topik utama dalam Diskusi Interaktif yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Kalteng, Jumat (21/2/2025) malam.

Diskusi terbatas yang berlangsung di halaman MES Kalteng, Jalan MH Thamrin, Palangka Raya ini menghadirkan Direktur Yayasan Perkumpulan Kalimantan Bumi Lestari (KBLi), Dadang Riansyah SHut. Kegiatan tersebut dihadiri oleh pengurus MES Kalteng dan mahasiswa, serta dibuka oleh Ketua Umum MES Kalteng, Hj. Norhani, S.Sos., M.A.P., didampingi Sekretaris Umum, H. Heru Hidayat, S.T., M.Pd.

Menurut Norhani, dengan luasnya hutan dan lahan gambut yang dimiliki, Kalteng memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon. Diskusi ini bertujuan untuk mengupas lebih dalam mengenai peluang dan skema perdagangan karbon di daerah tersebut.

Baca Juga :  Tim Call Center 112 Evakuasi Beruk Liar

“Bagi Kalteng, ini bisa menjadi model ekonomi masa depan yang ramah lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Norhani, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kalteng.

Dadang menjelaskan bahwa luas kawasan hutan Kalteng mencapai 12,7 juta hektare atau sekitar 82 persen dari total luas wilayah 15 juta hektare. Hal ini menjadikan Kalteng sebagai salah satu wilayah dengan potensi besar dalam perdagangan karbon.

Kekhawatiran terhadap perubahan iklim global menjadi latar belakang perdagangan karbon. Peningkatan suhu bumi akibat emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan es di kutub mencair, permukaan air laut naik, serta mengancam sektor pertanian yang berpotensi menyebabkan krisis pangan.

“Saat ini, suhu bumi telah meningkat 1 derajat Celsius. Jika naik hingga 2 derajat Celsius, es di kutub bisa mencair seluruhnya dan menyebabkan daratan tenggelam,” ujar Dadang.

Gas CO2 dihasilkan dari aktivitas industri, pembakaran batubara, serta kendaraan bermotor. Sementara itu, pohon, gambut, dan hutan mangrove memiliki kemampuan menyerap gas CO2. Oleh karena itu, negara-negara di dunia sepakat untuk mewajibkan perusahaan penghasil emisi karbon membayar kompensasi kepada kelompok masyarakat atau perusahaan yang mampu menjaga kelestarian hutan dan gambut.

Baca Juga :  Pemkab Gandeng KPU untuk Pembentukan TPS di PBS

“Masyarakat yang menjaga hutan akan mendapatkan kompensasi dari negara dan perusahaan industri. Hutan dan gambut yang terjaga akan dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan oksigen (O2) serta menyerap karbon dioksida (CO2). Saat ini, harga satu ton CO2 dipatok sebesar 5 dolar AS,” jelas Dadang.

Tugas masyarakat atau kelompok yang mengelola hutan adalah memastikan hutan tidak terbakar serta menjaga lahan gambut tetap basah agar tetap mampu menyerap CO2.

“Pada 2018, di Kalteng sudah ada tiga perusahaan yang berhasil melakukan perdagangan karbon. Di Kalimantan Timur, program ini telah berjalan dan dikelola oleh pemerintah provinsi setempat. Satu desa di sana bahkan mendapat kompensasi sebesar Rp1,75 miliar per tahun,” ungkap Dadang.

Mulai 25 Januari 2025, Pemerintah Indonesia telah mewajibkan perusahaan untuk membayar kompensasi karbon.

“Saya baru saja menerima kunjungan dari enam perusahaan yang mencari kelompok masyarakat yang telah mengelola hutan dan memiliki sertifikat. Mereka siap membeli kredit karbon, tetapi hingga saat ini, belum ada kelompok masyarakat yang memenuhi persyaratan tersebut,” tutup Dadang. (sma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/