PERNIKAHAN anak oleh perempuan berinisial SMY (15), asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur dengan pria berinisial SR (17), asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah memantik perhatian Wamen PPPA Veronica Tan.
Ia menyampaikan keprihatinannya terhadap terus berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya merarik, sebuah tradisi kawin lari yang masih kuat dipegang masyarakat NTB.
“Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya merarik, khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia,” kata Veronica, Minggu, dikutip dari detiknews.
Menurutnya, tekanan budaya dan sosial menjadi faktor utama yang mendorong praktik ini yang sering dianggap sebagai solusi atas kemiskinan atau demi menjaga kehormatan keluarga.
Padahal nyatanya, anak-anak justru menjadi korban. Ia juga mengingatkan bahwa hak anak atas pendidikan dan tumbuh kembang telah dirampas dalam praktik ini.
“Realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan bagi anak-anak kita. Mereka belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini,” ujarnya.
Veronica menegaskan bahwa secara hukum, Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun.
Ketentuan ini juga diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi, serta selaras dengan UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Kementerian PPPA meminta seluruh pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak, apapun bentuk atau bungkus budayanya. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menghentikan praktik ini demi perlindungan dan masa depan anak-anak Indonesia,” tegasnya. (*)