Oleh: Nurillah Achmad
Termenung aku memandang bongkahan besi tua itu. Sebagian besi hilang dicuri orang, sedang yang lain tertimbun tanah, lantas ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Dulunya, batang-batang besi ini saling menyambung di atas bukit. Bilamana terdengar derit besi dan lengking kereta yang melintas lambat dari arah Panarukan, lekas-lekas aku mengikuti laju kereta yang berhenti di Stasiun Kalisat.
JARAK stasiun dan rumah tak seberapa jauh. Cukup melewati lubang pagar belakang stasiun, aku bisa berjalan ke arah peron tanpa diperiksa petugas. Pernah beberapa kali ketahuan, tetapi petugas membiarkanku mengelilingi gerbong yang penuh sesak orang-orang. Tiap hari aku begitu. Mengamati para penumpang yang saling berimpit, barangkali ada Rukmini yang sengaja tak berkabar, lalu tiba-tiba pulang sebagai kejutan. Entah iba atau bagaimana, petugas yang memeriksa tiket penumpang kerap menyerahkan tanggung jawabnya pada kawan sebelahnya, sementara ia menemuiku yang menatap lekat ke arah gerbong.
Padaku ia bertanya, gerangan apa yang membuatku tiap hari berdiri di sini. Berdiri memandang lalu-lalang orang yang turun dari kereta, lalu mengalihkan pandang ke arah penumpang di dalam. Padanya aku tunjukkan foto usang. Satu-satunya peninggalan Rukmini sebelum berangkat ke seberang. Petugas itu tersenyum getir, lantas mengajakku masuk gerbong. Tak bisa berlama-lama memang sebab jatah kereta berhenti di stasiun tak sampai sejam.
Begitu tiap hari berulang-ulang. Kadang, saking segannya, sengaja aku membawa ketela goreng untuk petugas tadi. Si petugas berujar, katanya, aku tak perlu repot-repot membawa buah tangan. Ia akan membantuku menunggui Rukmini yang tak kunjung pulang. Bilamana pencarian tak menunjukkan hasil, sementara peluit kereta berbunyi, petugas itu mengajakku duduk di atas peron. Memandangi kereta yang pergi.
”Kalisat ini, Mbah,” kata petugas mengawali cerita. ”Bukan sembarang tempat. Dulunya pusat ekonomi. Simbah lahir tahun berapa?”
”Tiga enam. Itu kata petugas di kecamatan.”
”Oh, masih zaman penjajahan, ya.”
”Iya. Iya. Itu yang kulitnya putih-putih.”
”Pernah bertemu?”
”Pernah sembunyi. Dulu, ada yang koar-koar kalau esok hari bakal ada pettengan. Matahari tidak terbit. Langit gelap gulita. Semua orang takut sebab tidak bisa membedakan siang dan malam. Orang-orang disuruh sembunyi selain di rumah. Eppa’ dan embu’ mengajak pergi ke gumuk di dekat sawah. Di sana ada gua kecil. Di situlah kami sembunyi. Lama sekali sampai eppa’ tak tahan dan mengajak pulang. Sesampainya di rumah, eppa’ tercekat. Gabah hasil panen raib. Gabah para tetangga juga begitu. Hilang tak tersisa. Belakangan kami tahu, itulah muslihat orang kulit putih.”
Petugas kereta mengira aku bersedih saat menceritakannya. Padahal, aku kecewa sebab mendengar jalur Kalisat–Panarukan akan ditutup. Namun, petugas itu tak kunjung jawab. Justru ia bercerita kalau rel kereta yang sedang aku tatap ini adalah jalur sutranya wilayah Tapal Kuda. Dulu, kata petugas itu, orang-orang yang tinggal di wilayah Kalisat, Sukowono, dan Maesan telah menanam tembakau, jauh sebelum George Birnie mendirikan perusahaan pada tahun 1859.
Hanya, ketika George Birnie bersama sepupunya, Gervard David Birnie, datang ke timur Jawa dan mengembangkan perusahaan tembakau dan kopi, mereka mengirim tembakau ke Belanda dan Jerman. Daun tembakau yang dari Jember diangkut memakai kereta menuju Panarukan, Situbondo, sebelum akhirnya dilayarkan ke Eropa. Tak ayal, sampai sekarang, cerutu Jember menduduki peringkat terbaik kedua di dunia setelah Kuba.
”Bahkan, makam istri Gervard David Birnie yang bernama Djemilah Birnie masih ada sampai sekarang. Makamnya ada di sebelah Polsek Maesan.”
”Pribumi?” kataku mendengar nama Djemilah yang tak asing.
”Iya. Istri George Birnie juga pribumi. Namanya Sabrina Birnie. Bukan gundik. Tapi istri sah.”
”Oh…”
”Jadi, Mbah. Jalur ini memiliki nilai sejarah. Tapi sayang, banyak batang besi yang sudah tua dan murnya dicuri orang. Penumpang juga tidak seramai dulu. Karenanya, jalur ini mau ditutup.”
Tercekat aku mendengar penuturan si petugas. Aku kira hanya isapan belaka. Ternyata dugaanku salah. Jalur Kalisat–Panarukan benar-benar ditutup. Kian pupuslah harapanku untuk menunggui Rukmini di stasiun, sebagaimana kepergiannya dulu yang lewati Stasiun Kalisat menuju Panarukan.
Kendati begitu, aku masih pergi ke sana. Barangkali Rukmini menyeberang dari Kalimantan menuju Surabaya, lalu menaiki kereta dari Surabaya menuju Kalisat. Hanya, petugas itu membuatku tercengang. Ia yang selalu menemaniku meneliti penumpang melontarkan tanya yang membuatku bertanya-tanya hingga ke sekarang.
”Benarkah Rukmini ke Kalimantan, Mbah? Dia tidak kerja di Malaysia, kan?”
Aku tak menyahut. Memikirkan pertanyaan itu seakan roh dalam tubuh siap dicabut. Kini, tujuh belas tahun dari penutupan jalur Kalisat–Panarukan, dan itu artinya, dua puluh lima tahun Rukmini tak kunjung pulang. Kadang aku masih tergagap saat mendengar peluit kereta yang melintas lambat dari arah Banyuwangi. Bagiku, derit rel dan lengking kereta yang hendak berhenti di Stasiun Kalisat seakan-akan membawa Rukmini datang dari seberang. Hanya, ilalang setinggi orang dewasa yang tumbuh di jalur Panarukan kerap menghadirkan tanya berulang-ulang.
Tidakkah kau ingin pulang ke rumah, Ruk?
Berulang-ulang aku memagut wajah ke arah jendela, yang tampak adalah sayap pesawat meliuk-liuk di udara. Sesekali gemuruh tajam memekikkan telinga. Kian kencang aku menarik sabuk pengaman. Membaca beragam doa memohon keselamatan. Aku lempar pandang ke arah penumpang di sebelah. Wajah orang itu seakan tersirat kerinduan akan kampung halaman. Aku yakin, sebagian besar penghuni pesawat yang berprofesi sama denganku juga merasakan hal serupa.
Mendapati keadaan begini sunyi, kecuali turbulensi yang mengakibatkan guncangan hebat, aku teringat embu’ di kampung. Pada perempuan itu aku berharap maaf sebab aku tak kunjung pulang bertahun-tahun. Aku ingat, pada siang kala menunggui kereta yang akan membawaku ke Panarukan, embu’ masih membujukku agar mengurungkan niat.
”Tadek aing aghili ka oloh, Ruk. Tak ada air yang mengalir ke hulu. Tak ada seorang ibu yang mau menumpang hidupnya pada anak cucu. Carilah kerja di sini. Buat apa jauh-jauh ke seberang kalau jarak memisahkan ibu dan anak?”
”Embu’ tak usah khawatir. Bila dirasa cukup bayar utang dan sedikit ada bekal, aku bakal pulang.”
Nyatanya aku tak pulang. Pada hari di mana aku pamit pergi, rupanya itu hari terakhir aku berbicara dengan embu’. Sebab, sesampainya kapal bersandar di Kalimantan, Lek Dullah menyerahkan aku dan perempuan-perempuan lainnya ke lelaki berkulit gelap. Lelaki itu membawa kami ke Entikong. Letaknya di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Entah kapan buat, lelaki itu membagikan paspor dan mengajak kami menerobos hutan Entikong. Aku sempat protes sebab Lek Dullah berjanji menyediakan kerja di Kalimantan, bukan di seberang. Lelaki berkulit gelap itu gelagapan. Ia berujar kalau di Kalimantan tak menyediakan kerja. Justru surga rupiah berada di Malaysia. Lagi pula, kata lelaki itu, Lek Dullah pulang bawa uang berjuta-juta hasil menjualku tadi.
Seketika tubuhku lunglai. Perempuan yang lain juga tak kalah kusut. Kami sama-sama tertipu. Sialnya, uang yang diberikan pada cukong semacam Lek Dullah diatasnamakan utang para pencari kerja. Kami hanya bisa mengutuk keadaan tanpa bisa berbuat apa-apa, sebab lelaki berkulit gelap itu tak sendiri. Ia bersama dua lelaki lainnya menjaga kami agar tak lari. Para lelaki yang acap kali memperlihatkan senjata ini menyuruh kami menerobos hutan Entikong. Sejam lebih aku terseok-seok di tengah hutan. Hingga akhirnya sampai di bibir Sungai Tebedu. Di sana, tiga perahu karet telah tersedia. Kami yang berjumlah dua puluh orang saling berebut tempat.
Sesampainya di seberang, bus kecil membawa kami ke tempat penampungan. Masing-masing dari kami diberi dua botol air dan sekotak nasi. Berhari-hari aku begitu. Tidur dan makan tak nyaman. Nasib seakan tak menentu. Tiap kali merindukan embu’, aku pandangi foto kami berdua. Sepekan sebelum berangkat, aku memanggil Hosen, tukang foto jalanan, untuk memotret kami berdua. Bilamana embu’ rindu, kataku pada embu’ pada hari itu, foto ini bisa menjadi obat mujarab. Nyatanya, kerinduanku kian pekat.
Hingga tiba pada hari kesembilan belas di tempat penampungan, agen pekerja memanggil kami semua. Katanya, kami akan diberangkatkan ke Kuala Lumpur sebab di sana peluang kerja lebih besar. Aku yang tak memiliki pilihan lain selain menurut hanya membereskan barang-barang bawaan yang tak seberapa. Kami berangkat pada malam buta.
Hanya, setibanya di Kuala Lumpur, lagi-lagi kami tak langsung kerja. Justru kami diterbangkan ke Taiwan, yang untuk membayangkan saja aku tak bisa. Sialnya, agen penyalur yang menyodorkan tiket lagi-lagi membukukan itu semua sebagai utang. Yang apabila aku jumlahkan dengan cukong Lek Dullah mencapai empat puluh juta dengan bunga. Aku dan perempuan lainnya kelimpungan. Belum kerja justru utang meninggi. Padahal, niat kami ingin memperbaiki ekonomi.
Kami pun terbang ke Taiwan berbekal kepasrahan. Hidup dan mati rasanya tiada perbedaan. Setibanya di tempat penampungan di Taiwan, kami langsung digiring ke tempat kerja masing-masing. Aku terdampar di sebuah keluarga kaya. Tugasku adalah merawat perempuan tua yang kerap mementungkan tongkatnya ke kepalaku. Aku bekerja dari pukul enam pagi. Memasak, membersihkan rumah, mencuci, begitu seterusnya sampai pukul sebelas malam tanpa upah yang sepadan. Hingga suatu hari, anak lelaki pemilik rumah itu menyekapku dari belakang. Dia menyeretku ke atas ranjang, lantas bergerilya ke sekujur badan. Tak sekali. Berkali-kali ia mengulang hal serupa. Bila tak mau, aku ditendang keras-keras seakan-akan aku ini binatang peliharaan. Bahkan, ia mengendap-endap ke dalam kamar dan mencuri KTP dan dokumen penting lainnya, lantas membakarnya.
Sampai suatu ketika, aku yang tak tahan memutuskan melarikan diri. Entah nasib sial yang menjadi garis hidupku, aku yang tersesat di jalan dan meminta tolong pada lelaki untuk diantarkan pada KBRI terdekat justru membawaku ke rumah majikan. Ia menyangka kalau aku pekerja ilegal yang akan menemui masalah bila tak bawa dokumen resmi.
Begitulah jalan hidupku selama dua puluh lima tahun ini, sebelum akhirnya majikan itu mati dan aku bisa meloloskan diri. Kini, berada di pesawat terbang yang membawaku pulang, aku tak tahu harus bersikap apa saat bertemu embu’ nanti. Hanya, aku kira, tanpa sepatah kata pun, sorot mata kami saling bicara.
Dari jadwal tiket penerbangan, sebentar lagi pesawat akan tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Turbulensi terus-menerus mengguncang. Sedari tadi gemuruh benar-benar memekikkan telinga. Semua penumpang terdiam. Masing-masing dari kami merapal doa. Dari tepi jendela ini, aku lihat kilat petir saling menyambar. Sayap pesawat kian kencang bergerak serampangan.
Ah, embu’. Baik-baik sajakah kau di sana?
Bahrus masih termangu di teras depan. Ia memikirkan rangkaian kalimat apa yang akan disampaikan pada Simbah yang tak ubahnya ibu sendiri. Lima belas tahun bekerja di Stasiun Kalisat dan kerap menemani Simbah menunggui Rukmini yang tak kunjung pulang, Bahrus tak tega pamit pada Simbah.
Siaran televisi yang terdengar hingga ke teras depan tak ia hiraukan. Ia benar-benar kelimpungan membayangkan saat nanti menemui Simbah dan bercerita jika dirinya pindah kerja ke Jawa Barat. Ia baru tersadar dari lamunan saat ponselnya berdering. Terganggu akan suara TV, ia beranjak hendak mematikan. Namun, sesampainya di depan TV, Bahrus tercekat. Seorang presenter menyiarkan berita tentang pesawat yang terjatuh di dekat Bandara Soekarno-Hatta. Siaran itu menampilkan identitas korban. Bahkan beberapa foto dipajang. Kali ini, Bahrus menatap lekat layar televisi. Salah satu foto yang terpampang mirip betul dengan Rukmini yang tak kunjung pulang. (*)
===========================
NURILLAH ACHMAD
Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep, sekaligus alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember. Menerbitkan novel Lahbako (Elex Media Komputindo, 2021) dan kumpulan cerpen Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur.