Sabtu, Mei 17, 2025
27.2 C
Palangkaraya

Inilah Asal Usul Anggota Dewan Dilarang Ikut Pilkada Ulang di Barito Utara

LARANGAN anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi, DPR RI dan DPD RI untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk Pilkada Ulang di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, bukanlah aturan yang muncul tiba-tiba tanpa dasar. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ketentuan Pasal 426 ayat (1) Undang-Undang Pemilu merupakan hasil dari proses panjang yang berakar pada suara masyarakat sipil,.

Asal usul dari putusan tersebut bermula dari langkah tiga mahasiswa—Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani—yang mengajukan gugatan konstitusional terhadap pasal tersebut. Mereka mendaftarkan perkara bernomor 176/PUU-XXII/2024 ke MK sebagai respons atas fenomena banyaknya calon legislatif (caleg) yang telah memenangkan pemilu, namun justru mengundurkan diri dan digantikan oleh caleg lain yang bukan peraih suara terbanyak.

Ketiga pemohon menilai fenomena caleg terpilih yang memilih mundur merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Terlebih jika alasan pengunduran diri tidak serius, seperti hanya untuk sekadar “mencoba peruntungan” dalam pileg sebelum kemudian beralih mencalonkan diri di Pilkada. Mereka menilai praktik ini mencederai demokrasi dan merendahkan nilai suara rakyat.

Menurut para pemohon, keberadaan pasal yang digugat membuka celah bagi caleg untuk memperlakukan pemilu hanya sebagai uji coba. Jika hasil suara dianggap cukup kuat, maka mereka bisa mundur sewaktu-waktu demi mengejar jabatan lain, khususnya kepala daerah. Padahal, semangat dari Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menegaskan pentingnya penghormatan terhadap suara rakyat sebagai inti dari demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Para pemohon juga mengaitkan gugatan mereka dengan fenomena banyaknya anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengundurkan diri tanpa batasan jelas, yang bisa memicu praktik pertukaran suara rakyat demi kepentingan politik jangka pendek. Praktik semacam ini dinilai bertentangan dengan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 40/PUU-VIII/2010 tentang pentingnya asas free and fair elections.

Atas gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Baca Juga :  Anggota Dewan Minta Warga Utamakan Pendidikan

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Jumat (21/3/2025) sebagaimana dikutip dari laman MKRI.ID

Sementara itu, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa pengunduran diri adalah hak, namun harus mempertimbangkan mandat rakyat yang diperoleh dari pemilu. Ia menekankan bahwa suara rakyat adalah perwujudan kedaulatan dan demokrasi, sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja.

“Jika seorang caleg meraih suara terbanyak, maka kemenangan tersebut adalah amanah dari rakyat. Mandat ini wajib dihormati dan tidak bisa begitu saja ditinggalkan,” ujar Saldi.

MK menilai bahwa pengunduran diri caleg terpilih dalam sistem pemilu proporsional terbuka dapat menihilkan arti suara pemilih. Dalam sistem ini, rakyat memilih berdasarkan figur atau sosok calon, bukan sekadar partai. Oleh karena itu, ketika calon tersebut mundur, hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai kepercayaan publik.

Hal senada disampaikan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Ia menjelaskan bahwa ketidakjelasan aturan dalam Pasal 426 ayat (1) membuka ruang bagi praktik-praktik yang merugikan demokrasi. Pasal tersebut dinilai tidak memberikan batasan konkret atas alasan pengunduran diri, sehingga penyelenggara pemilu cenderung memproses pengunduran diri tanpa melihat dampaknya terhadap pemilih.

Baca Juga :  Petugas Rakyat, Agustiar Sabran Pemimpin yang Merdeka dari Hutang Budi

MK menyatakan bahwa perlu adanya batasan jelas dan konstitusional bagi caleg terpilih yang ingin mengundurkan diri. Terdapat dua kondisi utama yang menjadi fokus MK: pertama, pengunduran diri untuk mencalonkan diri di Pilkada, dan kedua, pengunduran diri karena mendapat tugas dari negara.

Menurut MK, pengunduran diri demi mencalonkan diri di Pilkada bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Sebaliknya, pengunduran diri dapat dibenarkan apabila bertujuan menjalankan tugas negara yang tidak diperoleh melalui pemilu, seperti menjadi menteri, duta besar, atau jabatan struktural lainnya.

Putusan MK ini menjadi refleksi terhadap kondisi Pemilu Legislatif 2024, di mana sejumlah besar caleg terpilih mengundurkan diri demi maju dalam Pilkada. MK memandang fenomena ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi yang cenderung bersifat transaksional dan mengabaikan amanat rakyat.

Dengan demikian, MK menegaskan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya sah apabila dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang tidak diperoleh melalui pemilihan umum.

“Dalil para pemohon tentang ketiadaan batasan pengunduran diri caleg terpilih dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 terbukti berdasar. Oleh karenanya, Mahkamah memutuskan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat,” pungkas Arsul Sani.(*)

 

LARANGAN anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi, DPR RI dan DPD RI untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk Pilkada Ulang di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, bukanlah aturan yang muncul tiba-tiba tanpa dasar. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ketentuan Pasal 426 ayat (1) Undang-Undang Pemilu merupakan hasil dari proses panjang yang berakar pada suara masyarakat sipil,.

Asal usul dari putusan tersebut bermula dari langkah tiga mahasiswa—Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani—yang mengajukan gugatan konstitusional terhadap pasal tersebut. Mereka mendaftarkan perkara bernomor 176/PUU-XXII/2024 ke MK sebagai respons atas fenomena banyaknya calon legislatif (caleg) yang telah memenangkan pemilu, namun justru mengundurkan diri dan digantikan oleh caleg lain yang bukan peraih suara terbanyak.

Ketiga pemohon menilai fenomena caleg terpilih yang memilih mundur merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Terlebih jika alasan pengunduran diri tidak serius, seperti hanya untuk sekadar “mencoba peruntungan” dalam pileg sebelum kemudian beralih mencalonkan diri di Pilkada. Mereka menilai praktik ini mencederai demokrasi dan merendahkan nilai suara rakyat.

Menurut para pemohon, keberadaan pasal yang digugat membuka celah bagi caleg untuk memperlakukan pemilu hanya sebagai uji coba. Jika hasil suara dianggap cukup kuat, maka mereka bisa mundur sewaktu-waktu demi mengejar jabatan lain, khususnya kepala daerah. Padahal, semangat dari Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menegaskan pentingnya penghormatan terhadap suara rakyat sebagai inti dari demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Para pemohon juga mengaitkan gugatan mereka dengan fenomena banyaknya anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengundurkan diri tanpa batasan jelas, yang bisa memicu praktik pertukaran suara rakyat demi kepentingan politik jangka pendek. Praktik semacam ini dinilai bertentangan dengan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilu, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 40/PUU-VIII/2010 tentang pentingnya asas free and fair elections.

Atas gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Baca Juga :  Anggota Dewan Minta Warga Utamakan Pendidikan

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Jumat (21/3/2025) sebagaimana dikutip dari laman MKRI.ID

Sementara itu, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa pengunduran diri adalah hak, namun harus mempertimbangkan mandat rakyat yang diperoleh dari pemilu. Ia menekankan bahwa suara rakyat adalah perwujudan kedaulatan dan demokrasi, sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja.

“Jika seorang caleg meraih suara terbanyak, maka kemenangan tersebut adalah amanah dari rakyat. Mandat ini wajib dihormati dan tidak bisa begitu saja ditinggalkan,” ujar Saldi.

MK menilai bahwa pengunduran diri caleg terpilih dalam sistem pemilu proporsional terbuka dapat menihilkan arti suara pemilih. Dalam sistem ini, rakyat memilih berdasarkan figur atau sosok calon, bukan sekadar partai. Oleh karena itu, ketika calon tersebut mundur, hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai kepercayaan publik.

Hal senada disampaikan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Ia menjelaskan bahwa ketidakjelasan aturan dalam Pasal 426 ayat (1) membuka ruang bagi praktik-praktik yang merugikan demokrasi. Pasal tersebut dinilai tidak memberikan batasan konkret atas alasan pengunduran diri, sehingga penyelenggara pemilu cenderung memproses pengunduran diri tanpa melihat dampaknya terhadap pemilih.

Baca Juga :  Petugas Rakyat, Agustiar Sabran Pemimpin yang Merdeka dari Hutang Budi

MK menyatakan bahwa perlu adanya batasan jelas dan konstitusional bagi caleg terpilih yang ingin mengundurkan diri. Terdapat dua kondisi utama yang menjadi fokus MK: pertama, pengunduran diri untuk mencalonkan diri di Pilkada, dan kedua, pengunduran diri karena mendapat tugas dari negara.

Menurut MK, pengunduran diri demi mencalonkan diri di Pilkada bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Sebaliknya, pengunduran diri dapat dibenarkan apabila bertujuan menjalankan tugas negara yang tidak diperoleh melalui pemilu, seperti menjadi menteri, duta besar, atau jabatan struktural lainnya.

Putusan MK ini menjadi refleksi terhadap kondisi Pemilu Legislatif 2024, di mana sejumlah besar caleg terpilih mengundurkan diri demi maju dalam Pilkada. MK memandang fenomena ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi yang cenderung bersifat transaksional dan mengabaikan amanat rakyat.

Dengan demikian, MK menegaskan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya sah apabila dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang tidak diperoleh melalui pemilihan umum.

“Dalil para pemohon tentang ketiadaan batasan pengunduran diri caleg terpilih dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 terbukti berdasar. Oleh karenanya, Mahkamah memutuskan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat,” pungkas Arsul Sani.(*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/