OLEH: Fransisco*
DALAM wacana hukum nasional Indonesia, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak lagi sekadar etnografi, melainkan bagian konstitusional dari struktur negara hukum. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, dalam praksisnya, hubungan antara hukum adat dan sistem hukum nasional tidak selalu berlangsung dalam semangat sinergi. Di berbagai wilayah di Indonesia, muncul ketegangan antara putusan lembaga adat dan keputusan pengadilan formal. Hal ini bukan hanya menyangkut perbedaan yurisdiksi, tetapi menyentuh persoalan yang lebih dalam: pengakuan, legitimasi, dan keadilan yang hidup dalam realitas sosial masyarakat adat.
Adat sebagai Pilar Sosial
Hukum adat bukanlah fosil budaya, melainkan sistem nilai yang hidup dan berkembang seiring masyarakatnya. Ia tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga menyelesaikan konflik secara restoratif, memulihkan hubungan sosial ketimbang menghukum semata. Dalam masyarakat yang masih memegang kuat nilai komunalitas, lembaga adat memiliki posisi terhormat sebagai penjaga tatanan sosial dan moral kolektif.
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, pakar sosiologi hukum Indonesia, pernah menegaskan bahwa “hukum nasional tidak bisa sepenuhnya mengklaim universalitas tanpa memberi tempat bagi hukum yang lahir dari rahim masyarakatnya sendiri.” Hukum adat, dengan segala keunikan lokalitasnya, tidak bertentangan dengan hukum nasional, tetapi justru memperkaya daya jangkau keadilan negara.
Ketika suatu sengketa diselesaikan melalui jalur adat, penyelesaiannya kerap kali tidak hanya diterima, tetapi dipandang adil oleh komunitasnya. Ini adalah bentuk keadilan substantif keadilan yang sesuai dengan nilai, bahasa, dan logika sosial masyarakat setempat. Maka ketika lembaga peradilan formal mengesampingkan keputusan adat tanpa pertimbangan sosiologis dan antropologis yang memadai, muncul luka kepercayaan yang tak selalu tampak dalam amar putusan.
Jalan Tengah dalam Regulasi
Berbagai regulasi nasional telah membuka ruang bagi eksistensi hukum adat. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2024, mengakui keberadaan desa adat dan kelembagaan adat. Dalam struktur ini, penyelesaian sengketa secara adat bukan hanya diperbolehkan, tetapi merupakan bagian dari otonomi lokal yang dijamin oleh negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diperbarui melalui sejumlah regulasi, juga menempatkan pemberdayaan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari urusan kebudayaan daerah. Sayangnya, regulasi ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik peradilan. Tidak tersedia mekanisme baku untuk menilai keabsahan putusan adat atau mengintegrasikannya dalam sistem pembuktian perdata. Ketika celah ini tidak ditutup dengan pedoman yang jelas, maka interpretasi tunggal bisa menimbulkan disparitas keadilan, terutama bagi komunitas yang hidup dengan norma adat sebagai pedoman utama.
Dalam konteks ini, Prof. Maria Farida Indrati, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, mengingatkan bahwa “pengakuan terhadap hukum adat bukanlah pengesahan seremonial, melainkan keharusan normatif yang menuntut konsistensi operasional dalam semua cabang kekuasaan negara.” Ia menyerukan agar pengadilan tidak bersikap formalistik ketika berhadapan dengan sistem hukum lokal yang hidup dalam masyarakat.
Refleksi dari Dunia Internasional
Kritik terhadap hegemoni hukum formal atas hukum lokal bukan hanya terjadi di Indonesia. Dalam ranah global, Prof. Sally Engle Merry dari New York University menjelaskan bahwa “law is not only what is written in statutes or ruled by courts, but also what communities practice and perceive as binding.” Ia menekankan pentingnya legal pluralism sebagai strategi untuk menyerap berbagai sumber keadilan yang hidup di masyarakat.
Pandangan ini memperkuat argumen bahwa negara hukum yang ideal bukanlah yang seragam, tetapi yang mampu menampung keberagaman normatif tanpa kehilangan pijakan pada keadilan universal.
Merawat Keadilan Plural
Negara hukum yang pluralistik menuntut kerendahan hati dalam menerapkan keadilan. Hukum negara tidak semestinya berdiri sebagai otoritas tunggal, tetapi harus membuka ruang dialogis dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dalam konteks ini, hukum adat bukan pesaing hukum negara, melainkan mitra dalam merawat keadilan di tengah keanekaragaman Indonesia. Pedoman Mahkamah Agung tentang penilaian terhadap putusan adat, misalnya, akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan konteks lokal tanpa meninggalkan asas hukum positif.
Pemerintah daerah, organisasi adat, dan lembaga pendidikan hukum perlu mengambil peran aktif dalam mengedukasi masyarakat dan penegak hukum. Pendidikan hukum di perguruan tinggi perlu menyatu dengan studi antropologi hukum agar calon penegak hukum peka terhadap keberagaman sumber hukum di masyarakat.
Penutup
Keadilan yang hanya berdasar prosedur, namun kurang melihat kepada realitas sosial, berisiko menjadi hukum yang kering dan kurang bermakna. Di negeri yang lahir dari keberagaman, hukum semestinya tidak memonopoli suara keadilan, melainkan menjadi panggung bagi semua sistem nilai yang hidup dan dihormati.
Menyatukan hukum adat dan hukum nasional bukan perkara subordinasi, tetapi soal menyusun relasi yang setara, dialogis, dan saling menguatkan. Dalam upaya itulah, keadilan di Indonesia tidak hanya menjadi teks dalam pasal-pasal, tetapi hidup dalam praktik, dirasakan oleh rakyat, dan dihormati oleh semua.(*)
*) Penulis Merupakan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Warga Kota Palangka Raya, Kelahiran Kecamatan Katingan Hulu.