DI balik senyum pengantin remaja yang terpampang di media sosial, tersimpan cerita luka dan tekanan mental yang jarang terungkap.
Psikolog menyebut pernikahan dini sebagai “bom waktu” yang menggerogoti kesehatan mental anak-anak.
“Mereka terpaksa dewasa sebelum waktunya. Tanggung jawab rumah tangga, tekanan ekonomi, dan relasi yang belum matang membuat mereka rentan mengalami depresi, kecemasan, dan trauma,” ungkap Nita Ayu, M.Psi., psikolog anak dan remaja dari Yayasan Pulih.
Anak-anak yang menikah di usia dini tidak hanya kehilangan masa bermain, tetapi juga harus menghadapi tuntutan sebagai istri, suami, atau bahkan orang tua.
Tak sedikit yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan komunikasi yang sehat.
Data dari Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan bahwa 60% kasus KDRT terhadap perempuan muda terjadi dalam pernikahan yang berlangsung sebelum usia 18 tahun.
“Mereka merasa terjebak. Tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja, dan tidak punya suara dalam rumah tangga. Itu membuat mereka menarik diri dan merasa tidak berharga,” tambah Nita.
Sayangnya, layanan konseling untuk korban pernikahan dini masih sangat terbatas, terutama di desa-desa. Para ahli mendesak agar program pemulihan mental dan edukasi pra-nikah diberikan sejak remaja, sebagai bagian dari pencegahan jangka panjang.(*afa)