DI balik hiruk-pikuk Kota Bandung yang modern, terdapat sebuah kawasan hijau yang menyimpan keheningan alam sekaligus napas sejarah.
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, atau yang lebih dikenal sebagai Tahura Djuanda. Taman konservasi ini tak hanya berperan sebagai paru-paru kota, tetapi juga menjadi ruang wisata, edukasi, dan pelestarian yang terus hidup hingga kini.
Jejak Sejarah Sejak Era Kolonial
Sejarah Tahura Djuanda dimulai sejak masa kolonial Hindia Belanda. Pada awalnya, kawasan ini dikenal sebagai Hutan Lindung Pulosari, yang mulai dibangun sejak tahun 1912.
Tujuannya sederhana: menjaga kelestarian alam dan air tanah di kawasan Cikapundung.
Sepuluh tahun berselang, tepatnya 1922, dibangunlah terowongan penyadapan air Sungai Cikapundung, yang kini kita kenal sebagai Gua Belanda.
Struktur ini menunjukkan pentingnya kawasan tersebut bagi pengelolaan air bersih di masa lalu.
Pasca kemerdekaan, kawasan ini diambil alih oleh Pemerintah Indonesia dan dikelola oleh Djawatan Kehutanan.
Gagasan untuk menjadikannya taman hutan wisata pertama di Indonesia digagas oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Mashudi, pada tahun 1960.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia ke-10 yang wafat pada 1963, taman ini diresmikan pada 23 Agustus 1965 dan diberi nama Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda.
Lalu pada tahun 1985, kawasan ini secara resmi ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985, menjadikannya taman hutan raya pertama di Indonesia.
Hamparan Hijau dan Warisan Budaya
Dengan luas mencapai 526,98 hektar, Tahura Djuanda membentang dari Curug Dago hingga Maribaya, melewati Sub-DAS Cikapundung yang menjadi bagian dari sistem DAS Citarum.
Hamparan hutannya memanjakan pengunjung dengan udara segar dan panorama asri yang dipenuhi barisan pohon pinus, bambu, dan aneka pepohonan tropis lainnya.
Tak hanya memanjakan mata, kawasan ini juga rumah bagi beragam flora dan fauna, termasuk yang dilindungi.
Di antara satwa yang bisa ditemukan adalah musang, tupai, kera, burung kepondang, kutilang, dan ayam hutan, serta berbagai jenis tumbuhan seperti pinus merkusii dan bambu tekkan.
Wisata Edukasi dan Sejarah
Daya tarik Tahura Djuanda tidak berhenti di kekayaan alamnya. Terdapat pula situs-situs bersejarah yang menjadi saksi bisu masa penjajahan.
Dua di antaranya adalah Gua Jepang dan Gua Belanda, dua lorong gelap yang dulunya digunakan sebagai benteng pertahanan dan tempat perlindungan pada masa kolonial dan pendudukan Jepang.
Kehadiran gua-gua ini menjadikan Tahura tak hanya sebagai tempat rekreasi alam, tetapi juga sarana edukasi sejarah yang sangat bernilai.
Tahura Djuanda bukan sekadar ruang hijau di tengah kota, melainkan ruang hidup yang menyatukan alam, sejarah, dan semangat pelestarian.
Tempat ini adalah simbol keseimbangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan Kota Bandung. (*)