Kamis, Juli 3, 2025
30.9 C
Palangkaraya

Bukan Cuma Aceh-Sumut! Kalteng dan Kalsel Berebut Desa Bersejarah

PALANGKA RAYA — Polemik tapal batas yang selama ini dianggap persoalan regional, kini kembali menyeruak dan mencuat ke panggung nasional. Setelah kasus Pulau Mangkir antara Aceh dan Sumatra Utara menyedot perhatian publik, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan juga masih terlibat tarik-menarik atas satu wilayah strategis: Desa Dambung.

Desa yang dulunya masuk wilayah Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur (Bartim), Kalimantan Tengah (Kalteng), kini resmi “berpindah tangan” ke Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) berdasarkan Permendagri Nomor 40 Tahun 2018. Desa itu kini diklaim sebagai bagian dari Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Kalsel.

Lepasnya Desa Dambung memicu kekecewaan mendalam. Pemerintah dan DPRD Kalteng menyatakan tak akan tinggal diam. Mereka bertekad mengupayakan pengembalian desa tersebut ke pangkuan Kalteng, baik melalui jalur administrasi, hukum, maupun politik. Bila kasus Aceh–Sumut bisa jadi perdebatan nasional, mengapa Kalteng–Kalsel harus dibiarkan tenggelam dalam sunyi?

Baca Juga :  Berantas Mafia Tanah, Satgas Duga Ada Puluhan Surat Verklaring Rekayasa

“Ini bukan sekadar wilayah, ini tentang harga diri dan identitas. Secara de facto dan de jure, Dambung adalah milik Kalimantan Tengah,” tegas anggota Komisi I DPRD Kalteng, Purdiono, belum lama ini.

Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Desa Dambung disebut telah sah masuk wilayah Kalteng berdasarkan berbagai regulasi kuat, mulai dari Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, UU Nomor 5 Tahun 2002, hingga Kepmendagri Nomor 11 Tahun 1973. Bahkan, Naskah Berita Acara Tata Batas tahun 1982 telah ditandatangani pejabat dua provinsi di hadapan Menteri Dalam Negeri.

Namun, semua itu seolah dilangkahi begitu saja ketika Permendagri 2018 muncul. Tak ayal, keputusan tersebut menuai penolakan keras dari masyarakat adat, khususnya suku Dayak Lawangan dan Maanyan, yang selama ini hidup dan menjaga wilayah itu.

Baca Juga :  Woro-Woro! Beras Karau dan Pulen Dijual Murah

“Kami siap melanjutkan perjuangan para pendahulu dari Barito Timur. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Ini soal keadilan dan kebenaran sejarah,” ucap Purdiono.

Komisi I DPRD Kalteng kini mulai menyusun langkah strategis. Mereka akan mengundang Pemerintah Kabupaten Barito Timur, tokoh adat, para demang, dan tokoh pendiri Bartim untuk menyatukan suara dan menggalang dukungan luas. Ini bukan sekadar isu lokal — ini bisa menjadi momen solidaritas Kalimantan.

“Kami ingin perjuangan ini menjadi gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Suara Bartim harus sampai ke pusat. Jangan sampai sejarah dan hak kami dihapuskan begitu saja,” tegasnya. (*afa)

 

PALANGKA RAYA — Polemik tapal batas yang selama ini dianggap persoalan regional, kini kembali menyeruak dan mencuat ke panggung nasional. Setelah kasus Pulau Mangkir antara Aceh dan Sumatra Utara menyedot perhatian publik, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan juga masih terlibat tarik-menarik atas satu wilayah strategis: Desa Dambung.

Desa yang dulunya masuk wilayah Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur (Bartim), Kalimantan Tengah (Kalteng), kini resmi “berpindah tangan” ke Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) berdasarkan Permendagri Nomor 40 Tahun 2018. Desa itu kini diklaim sebagai bagian dari Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Kalsel.

Lepasnya Desa Dambung memicu kekecewaan mendalam. Pemerintah dan DPRD Kalteng menyatakan tak akan tinggal diam. Mereka bertekad mengupayakan pengembalian desa tersebut ke pangkuan Kalteng, baik melalui jalur administrasi, hukum, maupun politik. Bila kasus Aceh–Sumut bisa jadi perdebatan nasional, mengapa Kalteng–Kalsel harus dibiarkan tenggelam dalam sunyi?

Baca Juga :  Berantas Mafia Tanah, Satgas Duga Ada Puluhan Surat Verklaring Rekayasa

“Ini bukan sekadar wilayah, ini tentang harga diri dan identitas. Secara de facto dan de jure, Dambung adalah milik Kalimantan Tengah,” tegas anggota Komisi I DPRD Kalteng, Purdiono, belum lama ini.

Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Desa Dambung disebut telah sah masuk wilayah Kalteng berdasarkan berbagai regulasi kuat, mulai dari Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, UU Nomor 5 Tahun 2002, hingga Kepmendagri Nomor 11 Tahun 1973. Bahkan, Naskah Berita Acara Tata Batas tahun 1982 telah ditandatangani pejabat dua provinsi di hadapan Menteri Dalam Negeri.

Namun, semua itu seolah dilangkahi begitu saja ketika Permendagri 2018 muncul. Tak ayal, keputusan tersebut menuai penolakan keras dari masyarakat adat, khususnya suku Dayak Lawangan dan Maanyan, yang selama ini hidup dan menjaga wilayah itu.

Baca Juga :  Woro-Woro! Beras Karau dan Pulen Dijual Murah

“Kami siap melanjutkan perjuangan para pendahulu dari Barito Timur. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Ini soal keadilan dan kebenaran sejarah,” ucap Purdiono.

Komisi I DPRD Kalteng kini mulai menyusun langkah strategis. Mereka akan mengundang Pemerintah Kabupaten Barito Timur, tokoh adat, para demang, dan tokoh pendiri Bartim untuk menyatukan suara dan menggalang dukungan luas. Ini bukan sekadar isu lokal — ini bisa menjadi momen solidaritas Kalimantan.

“Kami ingin perjuangan ini menjadi gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Suara Bartim harus sampai ke pusat. Jangan sampai sejarah dan hak kami dihapuskan begitu saja,” tegasnya. (*afa)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/