Senin, Juli 14, 2025
25 C
Palangkaraya

Nobar Film Dawai Anak Sungai Karya Anak Kalteng, Penonton Sampai Menangis

Sebuah ruangan sederhana dipenuhi keheningan yang dalam. Bukan karena heningnya suara, melainkan karena emosi yang mengalir pelan setelah layar gelap. Film pendek Dawai Anak Sungai sukses menyentuh hati para penonton dalam pemutarannya.

DHEA UMILATI, Palangka Raya

KOMUNITAS film Sinema 14 berhasil melahirkan karya perdana mereka,sebuah film pendek bertajuk Dawai Anak Sungai. Karya ini bukan sekadar tontonan, tapi sebuah potret batin yang merekam keresahan sosial yang selama ini sunyi diucapkan, hubungan antara ibu dan anak yang tumbuh tanpa sosok ayah.

Di balik film yang kuat secara emosional itu, berdirilah sosok sutradara muda Rai Andika Sadewa, yang tak hanya menyutradarai, tapi juga menghidupkan semangat sinema lokal yang sering kali terpinggirkan.

“Awalnya dari keresahan pribadi. Di Kalimantan Tengah ini, angka perceraian tinggi, dan yang paling terdampak itu anak-anak,” ujarnya tenang, di sela-sela perbincangan usai nonton bareng di Taman Budaya Temanggung Tilung, Jumat (4/7).

Rai menyoroti fenomena anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah, karena dalam perceraian, mereka hampir selalu diasuh ibu. Isu ini yang mendorongnya untuk menciptakan Dawai Anak Sungai, film pendek yang mengalirkan suara mereka yang sering terdiam.

Proses produksi film ini bukan tanpa tantangan. Dengan anggota komunitas yang sebagian besar memiliki pekerjaan tetap, manajemen waktu menjadi batu sandungan pertama.

“Kita semua punya kesibukan masing-masing. Jadi harus pintar-pintar atur waktu. Kadang syuting izin sebentar dari kantor, terus balik kerja lagi,” kisah Rai sambil tertawa kecil.

Baca Juga :  Fans Sabar Ya, “Mungkin Kita Perlu Waktu” Akan Tayang Pertengan Bulan Ini

Lebih sulit lagi, mereka harus menghadapi keterbatasan teknis. Karena syuting dilakukan di ruang publik tanpa izin menutup lokasi, pengambilan suara langsung nyaris mustahil. Alhasil, banyak adegan yang harus didubbing ulang, tanpa referensi suara asli.

“Pas dubbing, kadang kami bingung, ini dialognya apa, ekspresinya gimana. Tapi ya di situlah seninya,” katanya dengan nada bangga.

Namun di balik semua keterbatasan itu, satu hal yang justru membuat mereka solid, semangat dan cinta terhadap film.

Ia mengaku, baik dirinya maupun tim tidak berhenti pada produksi film semata. Mereka punya visi besar, menjadikan komunitas film lokal sebagai bagian dari industri film nasional.

“Kami gak mau komunitas lokal cuma jadi pekerja otot di proyek nasional. Kami mau punya suara. Kami pengen dilibatkan, dihargai,” tegasnya.

Sebagai langkah awal, mereka membuka open casting lewat media sosial. Responsnya mengejutkan. Antusiasme datang dari berbagai daerah tidak hanya dari Palangka Raya saja, tetapi ada pula yang dari Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, bahkan Kalimantan Selatan.

“Itu bukti bahwa gairah perfilman lokal kita itu ada. Tinggal siapa yang mau membuka pintu dan percaya,” ujarnya

Tidak ingin berhenti di layar festival, ia juga akan mulai menyiapkan project baru untuk ditayangkan ke sekolah-sekolah.

“Kita sudah rencanakan roadshow. Tujuannya bukan hanya menayangkan film, tapi juga memperkenalkan komunitas ini, menumbuhkan bibit-bibit baru perfilman di Kalimantan Tengah,” katanya.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

Ia menegaskan Dawai Anak Sungai bukan hanya film. Ia adalah suara anak-anak yang tumbuh di tengah luka. Ia adalah mimpi tentang Kalimantan Tengah yang bukan hanya menjadi latar, tetapi juga pelaku dalam cerita besar perfilman Indonesia.

Dengan semangat gotong royong, keterbatasan dijadikan kekuatan. Dan dari tepian sungai di pedalaman Kalimantan, sebuah suara mulai terdengar. “Kami bukan komunitas besar. Tapi kami percaya, dari sinilah perubahan bisa dimulai,” pungkasnya.

Film ini adalah produksi pertama dari Sinema 14, tetapi bukan yang pertama bagi sebagian kru. Tahun 2021, komunitas Rocket Hero, yang juga melibatkan Rai, sempat memenangkan juara 2 nasional di ajang Anti-Corruption Film Festival dengan film Awas Ada Ujian.

Film yang berdurasi sekitar 30 menit ini berhasil membangkitkan perasaan banyak penonton, terutama mereka yang tumbuh dalam latar belakang keluarga tidak utuh.

“Aku sampai nangis tadi,” ujar Lia, salah satu penonton yang hadir. “Kebetulan filmnya related dengan keadaan aku yang udah ditinggal ayah dari kecil,” ceritanya.

Suasana pemutaran film terasa hangat namun penuh haru. Beberapa penonton bahkan masih terduduk diam setelah film berakhir. Bagi sebagian besar dari mereka, film ini bukan hanya cerita fiksi, melainkan cermin dari realitas yang selama ini mereka alami atau saksikan di lingkungan sekitar. (*/ala)

Sebuah ruangan sederhana dipenuhi keheningan yang dalam. Bukan karena heningnya suara, melainkan karena emosi yang mengalir pelan setelah layar gelap. Film pendek Dawai Anak Sungai sukses menyentuh hati para penonton dalam pemutarannya.

DHEA UMILATI, Palangka Raya

KOMUNITAS film Sinema 14 berhasil melahirkan karya perdana mereka,sebuah film pendek bertajuk Dawai Anak Sungai. Karya ini bukan sekadar tontonan, tapi sebuah potret batin yang merekam keresahan sosial yang selama ini sunyi diucapkan, hubungan antara ibu dan anak yang tumbuh tanpa sosok ayah.

Di balik film yang kuat secara emosional itu, berdirilah sosok sutradara muda Rai Andika Sadewa, yang tak hanya menyutradarai, tapi juga menghidupkan semangat sinema lokal yang sering kali terpinggirkan.

“Awalnya dari keresahan pribadi. Di Kalimantan Tengah ini, angka perceraian tinggi, dan yang paling terdampak itu anak-anak,” ujarnya tenang, di sela-sela perbincangan usai nonton bareng di Taman Budaya Temanggung Tilung, Jumat (4/7).

Rai menyoroti fenomena anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah, karena dalam perceraian, mereka hampir selalu diasuh ibu. Isu ini yang mendorongnya untuk menciptakan Dawai Anak Sungai, film pendek yang mengalirkan suara mereka yang sering terdiam.

Proses produksi film ini bukan tanpa tantangan. Dengan anggota komunitas yang sebagian besar memiliki pekerjaan tetap, manajemen waktu menjadi batu sandungan pertama.

“Kita semua punya kesibukan masing-masing. Jadi harus pintar-pintar atur waktu. Kadang syuting izin sebentar dari kantor, terus balik kerja lagi,” kisah Rai sambil tertawa kecil.

Baca Juga :  Fans Sabar Ya, “Mungkin Kita Perlu Waktu” Akan Tayang Pertengan Bulan Ini

Lebih sulit lagi, mereka harus menghadapi keterbatasan teknis. Karena syuting dilakukan di ruang publik tanpa izin menutup lokasi, pengambilan suara langsung nyaris mustahil. Alhasil, banyak adegan yang harus didubbing ulang, tanpa referensi suara asli.

“Pas dubbing, kadang kami bingung, ini dialognya apa, ekspresinya gimana. Tapi ya di situlah seninya,” katanya dengan nada bangga.

Namun di balik semua keterbatasan itu, satu hal yang justru membuat mereka solid, semangat dan cinta terhadap film.

Ia mengaku, baik dirinya maupun tim tidak berhenti pada produksi film semata. Mereka punya visi besar, menjadikan komunitas film lokal sebagai bagian dari industri film nasional.

“Kami gak mau komunitas lokal cuma jadi pekerja otot di proyek nasional. Kami mau punya suara. Kami pengen dilibatkan, dihargai,” tegasnya.

Sebagai langkah awal, mereka membuka open casting lewat media sosial. Responsnya mengejutkan. Antusiasme datang dari berbagai daerah tidak hanya dari Palangka Raya saja, tetapi ada pula yang dari Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, bahkan Kalimantan Selatan.

“Itu bukti bahwa gairah perfilman lokal kita itu ada. Tinggal siapa yang mau membuka pintu dan percaya,” ujarnya

Tidak ingin berhenti di layar festival, ia juga akan mulai menyiapkan project baru untuk ditayangkan ke sekolah-sekolah.

“Kita sudah rencanakan roadshow. Tujuannya bukan hanya menayangkan film, tapi juga memperkenalkan komunitas ini, menumbuhkan bibit-bibit baru perfilman di Kalimantan Tengah,” katanya.

Baca Juga :  Ada Keluarga Memilih Bertahan, Sebagian Mengungsi karena Kehabisan Susu

Ia menegaskan Dawai Anak Sungai bukan hanya film. Ia adalah suara anak-anak yang tumbuh di tengah luka. Ia adalah mimpi tentang Kalimantan Tengah yang bukan hanya menjadi latar, tetapi juga pelaku dalam cerita besar perfilman Indonesia.

Dengan semangat gotong royong, keterbatasan dijadikan kekuatan. Dan dari tepian sungai di pedalaman Kalimantan, sebuah suara mulai terdengar. “Kami bukan komunitas besar. Tapi kami percaya, dari sinilah perubahan bisa dimulai,” pungkasnya.

Film ini adalah produksi pertama dari Sinema 14, tetapi bukan yang pertama bagi sebagian kru. Tahun 2021, komunitas Rocket Hero, yang juga melibatkan Rai, sempat memenangkan juara 2 nasional di ajang Anti-Corruption Film Festival dengan film Awas Ada Ujian.

Film yang berdurasi sekitar 30 menit ini berhasil membangkitkan perasaan banyak penonton, terutama mereka yang tumbuh dalam latar belakang keluarga tidak utuh.

“Aku sampai nangis tadi,” ujar Lia, salah satu penonton yang hadir. “Kebetulan filmnya related dengan keadaan aku yang udah ditinggal ayah dari kecil,” ceritanya.

Suasana pemutaran film terasa hangat namun penuh haru. Beberapa penonton bahkan masih terduduk diam setelah film berakhir. Bagi sebagian besar dari mereka, film ini bukan hanya cerita fiksi, melainkan cermin dari realitas yang selama ini mereka alami atau saksikan di lingkungan sekitar. (*/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/