Kebun Kumara berdiri dari keresahan terhadap masyarakat urban yang katanya terdidik, tapi malah tidak tahu cara merawat alam.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
PADA akar, batang, dan daun pohon-pohon itu mereka memuliakan keberagaman. Sebab, keberagaman itu menguatkan.
”Misalnya, ada tanaman kacang-kacangan yang berfungsi mengikat nitrogen, tapi ada juga tanaman yang berfungsi mengalihkan serangga,” kata Sarah Adipayanti, Educational Program and Children Learning Manager Kebun Kumara kepada Jawa Pos (Grup Kalteng Pos).
Itu cuma salah satu nilai yang dipetik dari kebun yang berada di tepian Situ Gintung, Tangerang Selatan. Ratusan meter persegi lahan dengan berbagai jenis tanaman itu juga menjadi medium untuk belajar tentang pemenuhan kebutuhan. Juga tentang bagaimana berbagi ilmu kepada yang membutuhkan.
Adalah Soraya Cassandra, Dhira Narayana, Alia Ramadhani, dan Rendria Arsyan yang mendirikan Kebun Kumara pada 2016. Mereka masih satu keluarga. Dhira dan Soraya suami istri, Alia adik Soraya, dan Rendria suami Alia.
Mereka sebelumnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Namun kemudian dipersatukan keresahan terhadap masyarakat urban yang katanya terdidik, tapi malah tidak tahu cara merawat alam. ”Selama ini kita katanya cinta sama alam, melakukan traveling, tetapi belum ada timbal balik merawat alam,” kata Ara.
Mereka lantas belajar ke Permakultur Yogyakarta. Di antaranya, tentang merawat alam dengan lebih berkelanjutan dan holistik.
Sekembali dari Yogyakarta, mereka mulai bergerak. Beberapa kegiatan awal-awal mereka adalah merawat alam, menanam aneka jenis tanaman, hingga membuat kebun kompos.
Setahun setelah berdiri, Kebun Kumara mulai membuka sejumlah kegiatan workshop. Salah satu ilmu yang didapat di permakultur yang kemudian mereka praktikkan adalah membagi area tanam menjadi beberapa zona.