Selasa, Oktober 1, 2024
26.1 C
Palangkaraya

Seni Rupa di Pinggiran

Oleh: Oei Hong Djien

Sebelum pandemi Covid-19, sejak 2018 saya suka menjelajahi daerah pinggiran seni rupa di Indonesia. Yang saya maksud dengan daerah pinggiran adalah daerah di luar Jogjakarta, Jakarta, Bandung, dan Bali di mana seni rupa Indonesia modern dan kontemporer berpusat.

DUNIA internasional hanya mengenal seni rupa dan aktivitas seni rupa Indonesia modern dan kontemporer di empat sentra tersebut. Bahkan di pusat pun tidak terdengar aktivitas seni rupa yang terjadi di pinggiran karena tidak diliput di media mainstream, baik cetak maupun elektronik. Padahal, sinergi pusat-pinggiran kita perlukan.

Dalam observasi saya di tempat, sejak 2018 hingga datang pandemi Covid-19, ternyata aktivitas dan antusiasme untuk seni kontemporer di pinggiran jauh melampaui bayangan saya. Tahun 2018 saya diundang seniman-seniman Sumatera Barat untuk berkunjung dan menghadiri event pameran tahunan penting oleh seniman-seniman yang tergabung dalam ”Tambo Art Center”.

Saya mengunjungi ISI Padangpanjang, studio seniman dan proyek-proyek mereka serta ruang pameran. Bertemu dengan seniman-seniman alumni ISI Jogjakarta yang sudah saya kenal jauh sebelumnya dan karyanya telah saya koleksi. Mereka pulang ke tempat asalnya untuk membangun daerahnya, suatu hal yang patut dipuji dan membawa hasil. Geliat seni rupa terasa. Ada seniman yang waktu di Jogja hanya melukis, setelah kembali ke kampung halamannya mengolah lingkungannya menjadi karya seni yang sekaligus memberikan manfaat ekonomi. Memelihara lebah tak bersengat di ladang kebun dan merekayasa rumah lebah menjadi karya seni; madunya bisa dijual. Sebuah ”environmental art”, yang tak dapat dikerjakan di dalam kota.

Tahun itu juga saya diundang membuka pameran di Malang, di mana seniman dari Malang dan kota-kota lain di Jawa Timur memamerkan karya mereka. Ruang pamer tak bisa menampung pengunjungnya yang demikian banyak, tidak beda dengan pameran di Jogja. Pameran seperti itu sudah diadakan setahun sebelumnya. Lebih mengagumkan lagi adalah kota kecil Batu di mana banyak seniman bermukim, bahkan ada yang mempunyai artspace yang tak kalah keren dengan di pusat. Karya mereka bagus-bagus, dapat mengimbangi yang ada di sentra seni rupa.

Baca Juga :  Lolos dari Aturan BMTP, Mendag Pacu Produsen Panel Surya Ekspor ke AS

Perkembangan di daerah Borobudur, Kabupaten Magelang, sudah diketahui umum, namun ada daerah pinggiran lain di Jawa Tengah yang ingin saya sebut. Di Desa Grabag, 20 km dari Kota Magelang, komunitas seniman mudanya sangat aktif mengadakan pameran dan diskusi. Pengunjung pameran adalah masyarakat setempat. Sebagian besar senimannya adalah otodidak. RSU Subbanul Wathon di Desa Tegalrejo, dinding dan kamar-kamarnya dihiasi lukisan-lukisan kontemporer yang sebagian besar karya seniman-seniman Grabag.

Di akhir 2019 saya diundang untuk membuka pameran di Gorontalo Art Festival di Desa Huntu. Suatu pameran seni rupa yang unik yang diadakan dalam gudang penggilingan padi dan penyimpanan beras di tengah sawah untuk merayakan penyambutan panen raya padi; suatu event tahunan penting untuk daerah tersebut. Untuk kali pertama disertai pameran seni rupa oleh seniman lokal yang pada umunnya otodidak, ditambah beberapa seniman dari Makassar, Jawa, dan pulau lain.

Perhelatan ini adalah inisiatif para seniman lokal yang tergabung dalam kelompok ”Tupalo” yang dibiayai sendiri oleh para aktivis seni, seniman, dan masyarakat setempat. Kegotongroyongan dan antusiasme masyarakat adalah kunci keberhasilan proyek seni tersebut. Ada satu karya menonjol yang dibuat di tengah sawah oleh seniman terkenal Iwan Yusuf dari Batu, Jawa Timur, tapi berasal dari Desa Huntu yang ”sawah spesifik” dan tak mungkin dibuat di dalam kota.

Baca Juga :  Airlangga: Maksimalkan Potensi Daerah dan Percepatan Anggaran Penanganan Covid-19

Polri Selidiki Dugaan Penista Islam Muhammad Kece

Di Temanggung ”Catek” (Cah Temanggung Creative) yang mayoritas otodidak setiap tahun membuat pameran. Selain seniman Temanggung, ada juga seniman kawasan sekitarnya.

Kota Jepara yang dahulu sering saya kunjungi, tapi belum pernah melihat galeri seni rupa kontemporer, sekarang seniman dan galeri seni rupa banyak dan aktif mengadakan pameran. Semangat seniman setempat saya rasakan di malam diskusi yang dihadiri banyak seniman dan terpaksa dihentikan tengah malam sebab kalau dibiarkan bisa sampai pagi.

Menggeliatnya aktivitas seni rupa kontemporer di ”daerah pinggiran” tidak serta-merta. Perguruan tinggi seni rupa mempunyai kontribusi. Seniman yang berasal dari berbagai daerah setelah menimba ilmu di pusat dan kembali ke daerahnya serta yang sukses membangun kariernya dan menetap di pusat dan masih suka pulang kampung merupakan unsur penting dalam mendongkrak perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di daerah pinggiran, yang tak harus meniru yang di pusat. Pinggiran mempunyai karakter dan pesonanya sendiri yang bisa menjadikan seni rupa kontemporer Indonesia lebih kaya. Namun, para seniman pinggiran belum bisa hidup dari karyanya. Idealnya, masyarakat lokal bisa menghidupi mereka. Mencapai hal ini tidak mudah, tetapi perlu diikhtiarkan dengan memupuk apresiasi masyarakat setempat untuk seni rupa. Dukungan pemda dan perhatian pemerintah pusat untuk perkembangan seni rupa di pinggiran sangat diperlukan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Singapura. Pada 1990-an apresiasi masyarakatnya untuk seni rupa masih ketinggalan dengan Indonesia, namun sekarang menyusul karena insentif yang diberikan negara untuk perkembangan seni rupa sangat besar. (*)

OEI HONG DJIEN, Kolektor seni rupa

Oleh: Oei Hong Djien

Sebelum pandemi Covid-19, sejak 2018 saya suka menjelajahi daerah pinggiran seni rupa di Indonesia. Yang saya maksud dengan daerah pinggiran adalah daerah di luar Jogjakarta, Jakarta, Bandung, dan Bali di mana seni rupa Indonesia modern dan kontemporer berpusat.

DUNIA internasional hanya mengenal seni rupa dan aktivitas seni rupa Indonesia modern dan kontemporer di empat sentra tersebut. Bahkan di pusat pun tidak terdengar aktivitas seni rupa yang terjadi di pinggiran karena tidak diliput di media mainstream, baik cetak maupun elektronik. Padahal, sinergi pusat-pinggiran kita perlukan.

Dalam observasi saya di tempat, sejak 2018 hingga datang pandemi Covid-19, ternyata aktivitas dan antusiasme untuk seni kontemporer di pinggiran jauh melampaui bayangan saya. Tahun 2018 saya diundang seniman-seniman Sumatera Barat untuk berkunjung dan menghadiri event pameran tahunan penting oleh seniman-seniman yang tergabung dalam ”Tambo Art Center”.

Saya mengunjungi ISI Padangpanjang, studio seniman dan proyek-proyek mereka serta ruang pameran. Bertemu dengan seniman-seniman alumni ISI Jogjakarta yang sudah saya kenal jauh sebelumnya dan karyanya telah saya koleksi. Mereka pulang ke tempat asalnya untuk membangun daerahnya, suatu hal yang patut dipuji dan membawa hasil. Geliat seni rupa terasa. Ada seniman yang waktu di Jogja hanya melukis, setelah kembali ke kampung halamannya mengolah lingkungannya menjadi karya seni yang sekaligus memberikan manfaat ekonomi. Memelihara lebah tak bersengat di ladang kebun dan merekayasa rumah lebah menjadi karya seni; madunya bisa dijual. Sebuah ”environmental art”, yang tak dapat dikerjakan di dalam kota.

Tahun itu juga saya diundang membuka pameran di Malang, di mana seniman dari Malang dan kota-kota lain di Jawa Timur memamerkan karya mereka. Ruang pamer tak bisa menampung pengunjungnya yang demikian banyak, tidak beda dengan pameran di Jogja. Pameran seperti itu sudah diadakan setahun sebelumnya. Lebih mengagumkan lagi adalah kota kecil Batu di mana banyak seniman bermukim, bahkan ada yang mempunyai artspace yang tak kalah keren dengan di pusat. Karya mereka bagus-bagus, dapat mengimbangi yang ada di sentra seni rupa.

Baca Juga :  Lolos dari Aturan BMTP, Mendag Pacu Produsen Panel Surya Ekspor ke AS

Perkembangan di daerah Borobudur, Kabupaten Magelang, sudah diketahui umum, namun ada daerah pinggiran lain di Jawa Tengah yang ingin saya sebut. Di Desa Grabag, 20 km dari Kota Magelang, komunitas seniman mudanya sangat aktif mengadakan pameran dan diskusi. Pengunjung pameran adalah masyarakat setempat. Sebagian besar senimannya adalah otodidak. RSU Subbanul Wathon di Desa Tegalrejo, dinding dan kamar-kamarnya dihiasi lukisan-lukisan kontemporer yang sebagian besar karya seniman-seniman Grabag.

Di akhir 2019 saya diundang untuk membuka pameran di Gorontalo Art Festival di Desa Huntu. Suatu pameran seni rupa yang unik yang diadakan dalam gudang penggilingan padi dan penyimpanan beras di tengah sawah untuk merayakan penyambutan panen raya padi; suatu event tahunan penting untuk daerah tersebut. Untuk kali pertama disertai pameran seni rupa oleh seniman lokal yang pada umunnya otodidak, ditambah beberapa seniman dari Makassar, Jawa, dan pulau lain.

Perhelatan ini adalah inisiatif para seniman lokal yang tergabung dalam kelompok ”Tupalo” yang dibiayai sendiri oleh para aktivis seni, seniman, dan masyarakat setempat. Kegotongroyongan dan antusiasme masyarakat adalah kunci keberhasilan proyek seni tersebut. Ada satu karya menonjol yang dibuat di tengah sawah oleh seniman terkenal Iwan Yusuf dari Batu, Jawa Timur, tapi berasal dari Desa Huntu yang ”sawah spesifik” dan tak mungkin dibuat di dalam kota.

Baca Juga :  Airlangga: Maksimalkan Potensi Daerah dan Percepatan Anggaran Penanganan Covid-19

Polri Selidiki Dugaan Penista Islam Muhammad Kece

Di Temanggung ”Catek” (Cah Temanggung Creative) yang mayoritas otodidak setiap tahun membuat pameran. Selain seniman Temanggung, ada juga seniman kawasan sekitarnya.

Kota Jepara yang dahulu sering saya kunjungi, tapi belum pernah melihat galeri seni rupa kontemporer, sekarang seniman dan galeri seni rupa banyak dan aktif mengadakan pameran. Semangat seniman setempat saya rasakan di malam diskusi yang dihadiri banyak seniman dan terpaksa dihentikan tengah malam sebab kalau dibiarkan bisa sampai pagi.

Menggeliatnya aktivitas seni rupa kontemporer di ”daerah pinggiran” tidak serta-merta. Perguruan tinggi seni rupa mempunyai kontribusi. Seniman yang berasal dari berbagai daerah setelah menimba ilmu di pusat dan kembali ke daerahnya serta yang sukses membangun kariernya dan menetap di pusat dan masih suka pulang kampung merupakan unsur penting dalam mendongkrak perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di daerah pinggiran, yang tak harus meniru yang di pusat. Pinggiran mempunyai karakter dan pesonanya sendiri yang bisa menjadikan seni rupa kontemporer Indonesia lebih kaya. Namun, para seniman pinggiran belum bisa hidup dari karyanya. Idealnya, masyarakat lokal bisa menghidupi mereka. Mencapai hal ini tidak mudah, tetapi perlu diikhtiarkan dengan memupuk apresiasi masyarakat setempat untuk seni rupa. Dukungan pemda dan perhatian pemerintah pusat untuk perkembangan seni rupa di pinggiran sangat diperlukan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Singapura. Pada 1990-an apresiasi masyarakatnya untuk seni rupa masih ketinggalan dengan Indonesia, namun sekarang menyusul karena insentif yang diberikan negara untuk perkembangan seni rupa sangat besar. (*)

OEI HONG DJIEN, Kolektor seni rupa

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/