Terdapat paling tidak 91 definisi tentang strategi yang diformulasikan dari tahun 1982 hingga 2008 dimana strategi didefinisikan sebagai upaya yang dinamis dan berkesinambungan, selalu merupakan titik awal dan bukan titik akhir, untuk mengerahkan seluruh potensi dan kekuatan ril yang dimiliki oleh suatu subyek guna mencapai kepentingan (seperti kemenangan, keberhasilan, keunggulan) dari subyek tersebut di masa mendatang. Dan karena subyek tersebut tidak hidup di dalam ruang hampa, maka setiap upaya strategi berkaitan langsung dengan upaya untuk menganalisa, menajamkan dan merekayasa lingkungan strategis internal dan eksternal yang mempengaruhi upaya subyek tersebut untuk dapat mencapai tujuan di masa mendatang. Dengan kata lain, strategi bukanlah tentang masa depan yang menjanjikan, tetapi lebih kepada bagaimana melakukan yang benar saat ini untuk mencapai target yang diharapkan di masa mendatang.
Formulasi dan eksekusi strategi dilakukan dengan cara menggabungkan pendekatan rasional (system 2 strategic thinking) dan yang non-rasional (system 1 strategic thinking). System 1 ini termasuk di dalamnya hal-hal yang tidak selalu dapat terukur karena aktor utama strategi adalah manusia yang mempunyai self-reflection dan passion yang tidak sepenuhnya rasional seperti imajinasi, ambisi, dan cinta akan bangsa. Menurut filosof Inggris di abad ke-18, David Hume, kondisi ini diistilahkan dengan “the reason shall be the slave of the passions and can never pretend to any other office than to serve and obey them.” Oleh karenanya rasionalitas manusia disebut juga sebagai rasionalitas terbatas, rasionalitas relatif, atau bounded rationality.
Karena strategi berhubungan langsung dengan masa depan, maka kita harus memformulasikan dan mengimplementasikan strategi nasional yang tepat untuk membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa pemenang di tingkat global dalam waktu 24 tahun ke depan (2021 – 2045). Penjabaran strategi nasional yang dimaksudkan di sini adalah strategi bela negara yang pada esensinya adalah tentang bagaimana seluruh komponen bangsa dapat terlibat langsung di dalam upaya mempertahankan dan memajukan kepentingan nasional Indonesia. Strategi ini harus diformulasikan dan diimplementasikan dengan kerangka pikir strategis yang kritis, historis, sintesis, sistemis, kreatif dan futuristik. Terdapat tiga faktor yang saling berkaitan di dalam strategi ini: kekuatan siber bangsa; lapisan akhir generasi X (kelahiran 1965 – 1980), generasi Y (kelahiran 1981 – 1995) dan generasi Z (kelahiran 1996 – 2010) yang merupakan generasi pemimpin bangsa dalam periode 2021 – 2045; dan implementasi adaptif dari Pancasila sebagai working ideology bangsa (pusat kekuatan, kultur strategis, dan cara hidup bangsa) yang termaknai dan terimplementasikan secara membumi dalam kehidupan sehari-hari dari seluruh komponen masyarakat Indonesia.
- Kekuatan Siber Bangsa.
Era society 5.0 adalah sebuah era digital dimana manusia akan hidup berdampingan dengan teknologi di hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari dan dimana teknologi siber (termasuk Artificial Intelligence) menjadi tulang punggung dari seluruh sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak di suatu negara. Oleh karena itu, secara geopolitik salah satu upaya strategis yang harus dilakukan pada era digital adalah dengan membangun, menggunakan, dan mengamankan domain siber sebagai domain strategis kelima setelah domain darat, laut, udara, dan luar angkasa dalam upaya kita sebagai suatu bangsa untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan nasional di tingkat regional dan global. Untuk saat ini dan juga di masa mendatang, bangsa yang akan unggul dan berdaya saing di tingkat dunia adalah bangsa yang dapat membangun, menggunakan, dan mengamankan domain siber dari seluruh spektrum ancaman siber yang bersifat teknis dan sosial demi mewujudkan keamanan nasional, memajukan kesejahteraan umum, serta menjaga stabilitas dan perdamaian dunia sebagaimana juga diamanatkan di dalam UUD 1945.
Domain atau ruang siber terdiri dari tiga lapisan dimana esensi bela negara harus hadir di dalam keseluruhan lapisan tersebut.
Lapisan pertama adalah lapisan fisik yang terdiri dari dua komponen utama: komponen geografis dan komponen jaringan fisik. Komponen geografis terkait dengan lokasi fisik/letak geografis dari komponen jaringan fisik yang terdiri dari dua sub komponen: perangkat keras (hardware) dan infrastruktur (infrastruktur kabel, nirkabel, dan optikal).
Lapisan kedua adalah lapisan jaringan logika yang bersifat teknis dan merupakan bagian abstrak dari lapisan fisik. Lapisan ini terdiri dari serangkaian hubungan logika yang saling berkaitan (antara satu jaringan dengan jaringan lainnya) dalam sebuah kode pemrograman komputer untuk mengoperasikan, menukar, dan memproses data. Jaringan logika di ruang siber sering disebut sebagai perangkat lunak (software) yang terkoneksi dengan perangkat keras (hardware) pada lapisan pertama.
Lapisan ketiga adalah lapisan sosial yang pada hakikatnya adalah lapisan tentang manusia dan aspek-aspek kognitifnya (heart and mind). Lapisan ini terdiri dari dua komponen utama: komponen persona dan komponen siber-persona. Adapun komponen persona merupakan subyek manusia/aktor sesungguhnya yang berada di dalam sistem jaringan di ruang siber, sementara komponen siber-persona merupakan perpanjangan dari lapisan logika yang menjadi perwakilan digital atau identitas pengguna dari subyek manusia/aktor yang berada di dalam sistem jaringan ruang siber tersebut. Selanjutnya, dari tiga lapisan ruang siber ini muncul apa yang disebut sebagai ancaman dan serangan siber bersifat teknis yang fokus menyasar lapisan pertama dan kedua dari ruang siber, serta serangan siber bersifat sosial yang fokus menyasar lapisan ketiga dari ruang siber.