Sabtu, November 23, 2024
24.3 C
Palangkaraya

Tanpa Merah Putih di Piala Thomas, Menpora Minta Maaf

JAKARTA – Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menjadi sorotan atas tidak bisa berkibarnya bendera Merah Putih saat Indonesia menjuarai Piala Thomas Minggu (17/10) malam WIB, di Aarhus, Denmark. Absennya Merah Putih itu merupakan dampak dari sanksi World Anti-Doping Agency/WADA (Badan Antidoping Dunia) kepada Indonesia.

Seharusnya pengibaran bendera negara setelah memenangi sebuah kejuaraan olahraga menjadi momen sakral nan membanggakan. Terlebih bagi atlet. Namun, tim bulu tangkis Indonesia yang baru saja mengakhiri penantian 19 tahun untuk kembali mengangkat trofi Piala Thomas tidak bisa merasakannya.

Marleve Mainaky, mantan pebulu tangkis nasional yang pernah meraih Piala Thomas tiga kali (1998, 2000, dan 2002), bisa merasakan kebahagiaan yang kurang lengkap bagi skuad Indonesia tahun ini. ”Kami ke luar negeri bertanding dan membawa nama Indonesia. Kalau bendera Merah Putih tidak bisa dikibarkan, ya buat apa?” cetusnya kepada Jawa Pos, Senin (18/10).

Marleve menyayangkan kejadian tersebut. Karena itu, dia mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus itu dengan serius. Bertanding kemudian menang, menurut Marleve, adalah momen tidak terlupakan. ”Momen hormat sama bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu membanggakan, apalagi setelah menunggu 19 tahun. Lalu momen itu hilang. Itu yang dari kami, para mantan pemain, pertanyakan ke pemerintah,” lanjutnya.

Candra Wijaya, mantan ganda putra nasional, sedih tidak bisa melihat bendera Merah Putih berkibar di Ceres Arena, Aarhus. Padahal, gelar yang diraih mengakhiri dahaga untuk membawa pulang Piala Thomas. ”Siapa harus tanggung jawab?” ucapnya.

Kali terakhir Indonesia juara Thomas Cup pada 2002 di Guangzhou, Tiongkok. Saat itu Candra bermain dan berpasangan dengan Sigit Budiarto. Mereka menjadi andalan sebagai MD1 dan menyumbang poin dengan mengalahkan pasangan Malaysia Chan Chong Ming/Chew Choon Eng. Di final Indonesia menang 3-2 atas Malaysia.

Candra berharap ke depan semua pihak lebih bersinergi dengan baik. Apalagi, kejadian di Piala Thomas memperlihatkan fakta bahwa pemerintah tidak konsisten. ”Dalam hal ini, entah itu kelalaian, entah itu menganggap tidak penting, atau tidak urgen. Mungkin jadi kebiasaan ya,” keluh peraih emas Olimpiade Sydney 2000 tersebut.

Kejadian di Piala Thomas, tutur Candra, harus mendapat sorotan lebih dan sama-sama dipertanggungjawabkan supaya tidak terulang. Apalagi, banyak kejuaraan olahraga menanti. ”Kita ingin memajukan olahraga nasional. Apalagi, ini sudah prestasi, malah bendera Merah Putih tidak bisa dikibarkan. Itu kan rasanya kok kita jadi malu lah,” cetusnya.

Baca Juga :  TNI AL-Lanal Banjarmasin Aksi Cepat Tanggap terhadap Bencana Alam di Barabai

Mantan pebulu tangkis tunggal putra Hariyanto Arbi juga menyayangkan Indonesia harus terkena sanksi dari WADA yang berujung Merah Putih tak bisa berkibar. ”Sanksi tersebut secara jelas memperlihatkan ada yang tidak beres dalam pengelolaan olahraga kita. Kemenangan kita di Piala Thomas tercoreng ketika Merah Putih tidak bisa berkibar,” tegas pemilik julukan Smash 100 Watt itu.

Mantan atlet yang juara Thomas Cup empat kali tersebut melanjutkan, Kemenpora harus mengambil pelajaran dari kasus itu. Segera lakukan pembenahan. ”Para pemain jatuh bangun berlatih dan bertanding, pengurus olahraga tidak maksimal mengelola hal-hal administratif seperti standar doping. Ke depan, selayaknya hal-hal seperti itu tak terjadi lagi,” tandas pria yang kini menjabat juru bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia tersebut.

Sementara itu, Menpora Zainudin Amali menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia karena tidak adanya bendera Merah Putih dalam final Piala Thomas 2020 di Aarhus. ”Saya mohon maaf terhadap kejadian di mana kita jadi tidak enak dan tidak nyaman. Harusnya kita menikmati kegembiraan menjuarai Piala Thomas setelah hampir dua dekade. Kebahagiaan kita jadi berkurang,” katanya.

Sebagaimana diwartakan, WADA menilai Indonesia tidak patuh menjalankan kode antidoping. Sanksi dijatuhkan sejak 7 Oktober lalu dengan durasi satu tahun. Selama itu pula, Indonesia kehilangan hak-haknya dalam kancah internasional. Misalnya tidak boleh mengibarkan bendera dan menjadi tuan rumah turnamen internasional.

Kemarin Kemenpora, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) melakukan pertemuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemenpora membentuk Tim Kerja Percepatan Penyelesaian Sanksi WADA. Tim dipimpin Ketua Umum KOI Raja Sapta Oktohari.

Tim tersebut bertugas menyelesaikan tuntutan WADA dan berupaya agar sanksi segera dicabut. Juga menginvestigasi masalah internal LADI yang mengakibatkan jatuhnya sanksi dari WADA. ”Ini salah satu langkah yang kami ambil. Segera menuntaskan dan menyelesaikan masalah ini. Kami ingin tuntaskan dalam waktu secepatnya agar publik tahu bahwa yang kami lakukan ini serius,” lanjut Amali.

Tim tersebut beranggota Sekjen KOI, dua perwakilan LADI, satu perwakilan Kemenpora, dan bidang hubungan luar negeri cabor-cabor yang akan melakukan agenda internasional dalam waktu dekat. ”Mungkin kami butuh waktu satu bulan hanya untuk merapikan data-data dari LADI. Setelah itu kami akan maksimalkan lobi-lobi eksternal agar upaya pencabutan banned WADA ke LADI ini bisa maksimal,” ujar Okto, sapaan Raja Sapta Oktohari.

Baca Juga :  Vaksinasi Pelajar demi Mempercepat PTM

Sekretaris LADI Dessy Rosmelita juga menyampaikan permohonan maaf terkait sanksi dari WADA yang membuat bendera Indonesia tidak bisa berkibar. ”Kami meminta maaf kepada Presiden RI Joko Widodo, masyarakat Indonesia, dan stakeholder olahraga Indonesia,” kata dia. ”Kami akan berkoordinasi dengan Pak Okto agar hal-hal spesifik yang sempat dibahas dalam rapat tadi bisa ditindaklanjuti. Sehingga mempercepat langkah-langkah pembebasan sanksi dan menjadi patuh terhadap aturan WADA,” sambungnya.

WADA selama ini memang sangat aktif untuk memastikan sistem antidoping olahraga di seluruh belahan dunia berjalan sesuai prosedur. Beberapa negara lain pernah mendapat status tidak patuh oleh WADA seperti yang dialami Indonesia saat ini. Bagi Indonesia, ini kali kedua mendapat status tidak patuh dari organisasi yang berkantor pusat di Montreal, Kanada, tersebut.

Kali pertama LADI mendapat status tidak patuh oleh WADA pada Oktober 2016. Saat itu Indonesia bersama empat negara lain, yakni Azerbaijan, Brasil, Yunani, dan Guatemala, dianggap gagal menerapkan standar sistem antidoping yang telah ditetapkan WADA.

Indonesia berhasil keluar dari masalah tersebut tiga bulan kemudian bersama Azerbaijan. ”Badan antidoping Indonesia dikeluarkan dari daftar tidak patuh. Itu setelah mereka berhasil menyelesaikan masalah terkait penggunaan laboratorium yang tidak terakreditasi,” tulis WADA dalam rilis resmi saat itu.

Di bagian lain, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengapresiasi capaian tim bulu tangkis Indonesia di ajang Thomas Cup 2020. Sayangnya, janji Kemenpora dalam merespons ancaman sanksi WADA ternyata tak terbukti di lapangan. ”Akibatnya, Merah Putih tak berkibar dalam peristiwa bersejarah itu,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Menurut Huda, dalam pernyataan Menpora Zainudin Amali pada Jumat (8/10), Indonesia akan bergerak cepat memberikan klarifikasi kepada WADA agar terhindar dari sanksi. Kemenpora bersama LADI akan memberikan keterangan bahwa tidak terpenuhinya TDP atlet Indonesia di 2020 disebabkan adanya pandemi Covid-19.

Saat itu Menpora mengatakan bahwa WADA bersedia menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. ”Ternyata Indonesia resmi disanksi sehingga Merah Putih tidak berkibar meskipun Hendra Setiawan dkk berhasil mengembalikan Piala Thomas ke tanah air,” ucapnya.

Komisi X bakal memanggil Kemenpora dan LADI. Mereka akan meminta penjelasan terkait masalah doping yang akibatnya sangat fatal. ”Nanti masuk masa sidang II, kami akan undang Kemenpora dan LADI,” tegasnya. (jpc)

JAKARTA – Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menjadi sorotan atas tidak bisa berkibarnya bendera Merah Putih saat Indonesia menjuarai Piala Thomas Minggu (17/10) malam WIB, di Aarhus, Denmark. Absennya Merah Putih itu merupakan dampak dari sanksi World Anti-Doping Agency/WADA (Badan Antidoping Dunia) kepada Indonesia.

Seharusnya pengibaran bendera negara setelah memenangi sebuah kejuaraan olahraga menjadi momen sakral nan membanggakan. Terlebih bagi atlet. Namun, tim bulu tangkis Indonesia yang baru saja mengakhiri penantian 19 tahun untuk kembali mengangkat trofi Piala Thomas tidak bisa merasakannya.

Marleve Mainaky, mantan pebulu tangkis nasional yang pernah meraih Piala Thomas tiga kali (1998, 2000, dan 2002), bisa merasakan kebahagiaan yang kurang lengkap bagi skuad Indonesia tahun ini. ”Kami ke luar negeri bertanding dan membawa nama Indonesia. Kalau bendera Merah Putih tidak bisa dikibarkan, ya buat apa?” cetusnya kepada Jawa Pos, Senin (18/10).

Marleve menyayangkan kejadian tersebut. Karena itu, dia mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus itu dengan serius. Bertanding kemudian menang, menurut Marleve, adalah momen tidak terlupakan. ”Momen hormat sama bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu membanggakan, apalagi setelah menunggu 19 tahun. Lalu momen itu hilang. Itu yang dari kami, para mantan pemain, pertanyakan ke pemerintah,” lanjutnya.

Candra Wijaya, mantan ganda putra nasional, sedih tidak bisa melihat bendera Merah Putih berkibar di Ceres Arena, Aarhus. Padahal, gelar yang diraih mengakhiri dahaga untuk membawa pulang Piala Thomas. ”Siapa harus tanggung jawab?” ucapnya.

Kali terakhir Indonesia juara Thomas Cup pada 2002 di Guangzhou, Tiongkok. Saat itu Candra bermain dan berpasangan dengan Sigit Budiarto. Mereka menjadi andalan sebagai MD1 dan menyumbang poin dengan mengalahkan pasangan Malaysia Chan Chong Ming/Chew Choon Eng. Di final Indonesia menang 3-2 atas Malaysia.

Candra berharap ke depan semua pihak lebih bersinergi dengan baik. Apalagi, kejadian di Piala Thomas memperlihatkan fakta bahwa pemerintah tidak konsisten. ”Dalam hal ini, entah itu kelalaian, entah itu menganggap tidak penting, atau tidak urgen. Mungkin jadi kebiasaan ya,” keluh peraih emas Olimpiade Sydney 2000 tersebut.

Kejadian di Piala Thomas, tutur Candra, harus mendapat sorotan lebih dan sama-sama dipertanggungjawabkan supaya tidak terulang. Apalagi, banyak kejuaraan olahraga menanti. ”Kita ingin memajukan olahraga nasional. Apalagi, ini sudah prestasi, malah bendera Merah Putih tidak bisa dikibarkan. Itu kan rasanya kok kita jadi malu lah,” cetusnya.

Baca Juga :  TNI AL-Lanal Banjarmasin Aksi Cepat Tanggap terhadap Bencana Alam di Barabai

Mantan pebulu tangkis tunggal putra Hariyanto Arbi juga menyayangkan Indonesia harus terkena sanksi dari WADA yang berujung Merah Putih tak bisa berkibar. ”Sanksi tersebut secara jelas memperlihatkan ada yang tidak beres dalam pengelolaan olahraga kita. Kemenangan kita di Piala Thomas tercoreng ketika Merah Putih tidak bisa berkibar,” tegas pemilik julukan Smash 100 Watt itu.

Mantan atlet yang juara Thomas Cup empat kali tersebut melanjutkan, Kemenpora harus mengambil pelajaran dari kasus itu. Segera lakukan pembenahan. ”Para pemain jatuh bangun berlatih dan bertanding, pengurus olahraga tidak maksimal mengelola hal-hal administratif seperti standar doping. Ke depan, selayaknya hal-hal seperti itu tak terjadi lagi,” tandas pria yang kini menjabat juru bicara DPP Partai Solidaritas Indonesia tersebut.

Sementara itu, Menpora Zainudin Amali menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia karena tidak adanya bendera Merah Putih dalam final Piala Thomas 2020 di Aarhus. ”Saya mohon maaf terhadap kejadian di mana kita jadi tidak enak dan tidak nyaman. Harusnya kita menikmati kegembiraan menjuarai Piala Thomas setelah hampir dua dekade. Kebahagiaan kita jadi berkurang,” katanya.

Sebagaimana diwartakan, WADA menilai Indonesia tidak patuh menjalankan kode antidoping. Sanksi dijatuhkan sejak 7 Oktober lalu dengan durasi satu tahun. Selama itu pula, Indonesia kehilangan hak-haknya dalam kancah internasional. Misalnya tidak boleh mengibarkan bendera dan menjadi tuan rumah turnamen internasional.

Kemarin Kemenpora, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) melakukan pertemuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemenpora membentuk Tim Kerja Percepatan Penyelesaian Sanksi WADA. Tim dipimpin Ketua Umum KOI Raja Sapta Oktohari.

Tim tersebut bertugas menyelesaikan tuntutan WADA dan berupaya agar sanksi segera dicabut. Juga menginvestigasi masalah internal LADI yang mengakibatkan jatuhnya sanksi dari WADA. ”Ini salah satu langkah yang kami ambil. Segera menuntaskan dan menyelesaikan masalah ini. Kami ingin tuntaskan dalam waktu secepatnya agar publik tahu bahwa yang kami lakukan ini serius,” lanjut Amali.

Tim tersebut beranggota Sekjen KOI, dua perwakilan LADI, satu perwakilan Kemenpora, dan bidang hubungan luar negeri cabor-cabor yang akan melakukan agenda internasional dalam waktu dekat. ”Mungkin kami butuh waktu satu bulan hanya untuk merapikan data-data dari LADI. Setelah itu kami akan maksimalkan lobi-lobi eksternal agar upaya pencabutan banned WADA ke LADI ini bisa maksimal,” ujar Okto, sapaan Raja Sapta Oktohari.

Baca Juga :  Vaksinasi Pelajar demi Mempercepat PTM

Sekretaris LADI Dessy Rosmelita juga menyampaikan permohonan maaf terkait sanksi dari WADA yang membuat bendera Indonesia tidak bisa berkibar. ”Kami meminta maaf kepada Presiden RI Joko Widodo, masyarakat Indonesia, dan stakeholder olahraga Indonesia,” kata dia. ”Kami akan berkoordinasi dengan Pak Okto agar hal-hal spesifik yang sempat dibahas dalam rapat tadi bisa ditindaklanjuti. Sehingga mempercepat langkah-langkah pembebasan sanksi dan menjadi patuh terhadap aturan WADA,” sambungnya.

WADA selama ini memang sangat aktif untuk memastikan sistem antidoping olahraga di seluruh belahan dunia berjalan sesuai prosedur. Beberapa negara lain pernah mendapat status tidak patuh oleh WADA seperti yang dialami Indonesia saat ini. Bagi Indonesia, ini kali kedua mendapat status tidak patuh dari organisasi yang berkantor pusat di Montreal, Kanada, tersebut.

Kali pertama LADI mendapat status tidak patuh oleh WADA pada Oktober 2016. Saat itu Indonesia bersama empat negara lain, yakni Azerbaijan, Brasil, Yunani, dan Guatemala, dianggap gagal menerapkan standar sistem antidoping yang telah ditetapkan WADA.

Indonesia berhasil keluar dari masalah tersebut tiga bulan kemudian bersama Azerbaijan. ”Badan antidoping Indonesia dikeluarkan dari daftar tidak patuh. Itu setelah mereka berhasil menyelesaikan masalah terkait penggunaan laboratorium yang tidak terakreditasi,” tulis WADA dalam rilis resmi saat itu.

Di bagian lain, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengapresiasi capaian tim bulu tangkis Indonesia di ajang Thomas Cup 2020. Sayangnya, janji Kemenpora dalam merespons ancaman sanksi WADA ternyata tak terbukti di lapangan. ”Akibatnya, Merah Putih tak berkibar dalam peristiwa bersejarah itu,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Menurut Huda, dalam pernyataan Menpora Zainudin Amali pada Jumat (8/10), Indonesia akan bergerak cepat memberikan klarifikasi kepada WADA agar terhindar dari sanksi. Kemenpora bersama LADI akan memberikan keterangan bahwa tidak terpenuhinya TDP atlet Indonesia di 2020 disebabkan adanya pandemi Covid-19.

Saat itu Menpora mengatakan bahwa WADA bersedia menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. ”Ternyata Indonesia resmi disanksi sehingga Merah Putih tidak berkibar meskipun Hendra Setiawan dkk berhasil mengembalikan Piala Thomas ke tanah air,” ucapnya.

Komisi X bakal memanggil Kemenpora dan LADI. Mereka akan meminta penjelasan terkait masalah doping yang akibatnya sangat fatal. ”Nanti masuk masa sidang II, kami akan undang Kemenpora dan LADI,” tegasnya. (jpc)

Artikel Terkait

Serap Aspirasi, PT BGA Gelar Forsimas

Pilkada Kapuas Diikuti Lima Paslon

MAKAN BERGIZI GRATIS

Terpopuler

Artikel Terbaru

/