Jumat, September 20, 2024
38.1 C
Palangkaraya

Tantangan dan Peluang MHA

PALANGKA RAYA – Masyarakat hukum ada (MHA) masih menghadapi sejumlah tantangan dan peluang, meski keberadaannya telah mendapat perlindungan secara yuridis konstitusional dalam UUD 1945 dan dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM.

Di Kalteng telah ada Perda yang mengatur tentang kelembagaan adat. Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Palangka Raya Dr Andrie Elia saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi Tata Cara Pengakuan dan penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Lamandau, Selasa (23/11/2021).

Kegiatan yang dilaksanakan secara online dan offline ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Jangkar Solidaritas Hukum (JSH) Kairos dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Palangka Raya mengelar Sosialisasi.

Andrie meyampaikan materi dengan judul Peluang dan Tantangan Masyarakat Hukum Adat dalam Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalteng. “Meskipun Perda 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan telah ada, namun belum cukup untuk perlindungan masyarakat hukum adat dalam pengakuan Negara,” ujar Andrie yang menyampaikan materi secara online dari ruang kerjanya di UPR.

Baca Juga :  Universitas Palangka Raya MoU dengan Kejati Kalteng

Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 belum dapat diimplementasikan, dan karena itu MHA belum memperoleh manfaat nyata. Kedudukan MHA yang bukan subyek hukum (legal standing) bukan saja tidak memiliki kewenangan untuk menguasai sesuatu hak milik, tetapi juga mereka tidak dapat berperkara di pengadilan. Padahal, UU No. 24 Tahun 2003 memberikan peluang pada MHA untuk dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi RI.


Kedua, ketidakjelasan kedudukan hukum MHA tersebut berakibat antara lain; ketidak pastian hokum dan keadilan hukum tidak dapat diperoleh MHA. Hilangnya Hakhak konstitusional MHA yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat Adat.

Baca Juga :  Mahasiswa KKN Kebangsaan Ajarkan Buat Stik Kalakai ke TP PKK Desa Sei Asam

“Hilangnya hak-hak konstitusional MHA akibat kebijakan ekonomi nasional seperti tanah-tanah adat nya dikuasai oleh pemilik modal domestik dan asing yang tidak dapat dicegah,” ujarnya.


Kebijakan pembangunan nasional yang diselenggarakan di berbagai daerah, seperti perkebunan, tambang berkibat tumpang tindih pengaturan antara tanah-tanah adat dengan pihak kehutanan, maka MHA yang terkalahkan. Padahal pengakuan dan penghormatan terhadap MHA secara tekstual telah jelas diatur dalam UU sektoral.


Dalam kasus konflik pertanahan, terdapat 540 kasus sengketa agraria di Pengadilan se-Kalimantan Tengah tak satu pun pihak masyarakat adat dimenangkan. Sama halnya dengan tanah Hak Adat sekitar 1000an ha telah berpindah menjadi tanah perkebunana sawit di Kalimantan Tengah. (sma)

PALANGKA RAYA – Masyarakat hukum ada (MHA) masih menghadapi sejumlah tantangan dan peluang, meski keberadaannya telah mendapat perlindungan secara yuridis konstitusional dalam UUD 1945 dan dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM.

Di Kalteng telah ada Perda yang mengatur tentang kelembagaan adat. Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Palangka Raya Dr Andrie Elia saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi Tata Cara Pengakuan dan penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Lamandau, Selasa (23/11/2021).

Kegiatan yang dilaksanakan secara online dan offline ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Jangkar Solidaritas Hukum (JSH) Kairos dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Palangka Raya mengelar Sosialisasi.

Andrie meyampaikan materi dengan judul Peluang dan Tantangan Masyarakat Hukum Adat dalam Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalteng. “Meskipun Perda 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan telah ada, namun belum cukup untuk perlindungan masyarakat hukum adat dalam pengakuan Negara,” ujar Andrie yang menyampaikan materi secara online dari ruang kerjanya di UPR.

Baca Juga :  Universitas Palangka Raya MoU dengan Kejati Kalteng

Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 belum dapat diimplementasikan, dan karena itu MHA belum memperoleh manfaat nyata. Kedudukan MHA yang bukan subyek hukum (legal standing) bukan saja tidak memiliki kewenangan untuk menguasai sesuatu hak milik, tetapi juga mereka tidak dapat berperkara di pengadilan. Padahal, UU No. 24 Tahun 2003 memberikan peluang pada MHA untuk dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi RI.


Kedua, ketidakjelasan kedudukan hukum MHA tersebut berakibat antara lain; ketidak pastian hokum dan keadilan hukum tidak dapat diperoleh MHA. Hilangnya Hakhak konstitusional MHA yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat Adat.

Baca Juga :  Mahasiswa KKN Kebangsaan Ajarkan Buat Stik Kalakai ke TP PKK Desa Sei Asam

“Hilangnya hak-hak konstitusional MHA akibat kebijakan ekonomi nasional seperti tanah-tanah adat nya dikuasai oleh pemilik modal domestik dan asing yang tidak dapat dicegah,” ujarnya.


Kebijakan pembangunan nasional yang diselenggarakan di berbagai daerah, seperti perkebunan, tambang berkibat tumpang tindih pengaturan antara tanah-tanah adat dengan pihak kehutanan, maka MHA yang terkalahkan. Padahal pengakuan dan penghormatan terhadap MHA secara tekstual telah jelas diatur dalam UU sektoral.


Dalam kasus konflik pertanahan, terdapat 540 kasus sengketa agraria di Pengadilan se-Kalimantan Tengah tak satu pun pihak masyarakat adat dimenangkan. Sama halnya dengan tanah Hak Adat sekitar 1000an ha telah berpindah menjadi tanah perkebunana sawit di Kalimantan Tengah. (sma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/