Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Iklim Sejuk Diplomasi Lingkungan Indonesia pada Penghujung Tahun

DIPLOMASI lingkungan Indonesia pada penghujung tahun 2021 semakin konsisten dan diperhitungkan dalam konstelasi politik internasional. Terlebih ketika melalui sekuensi dua agenda multilateral yang diikuti oleh Indonesia yaitu G20 dan COP26 dengan hanya bersisian hari. Meskipun keduanya berbeda, namun tidak menegasikan urgensi perhelatan tersebut sebagai momentum bagi Indonesia dalam mengemas kapabilitas lingkungnnya dalam kebijakan luar negeri melalui istrumen diplomasi.

Pun, konsistensi Indonesia tidak terlepas dari dinamika dalam satu dekade hingga penghujung tahun 2021. Lalu, capaian performa diplomasi lingkungan hingga penghujung tahun ini juga layak diapresiasi. Terlepas dari berbagai tantangan baru hingga tugas-tugas di ‘rumah’ sangat menunggu aksi yang progresif dan nyata dalam memberikan dampak perubahan iklim ke arah penurunan emisi.

Titik Terendah dan Komitmen

Performa lingkungan Indonesia di mata global sendiri bertemali erat dengan situasi domestiknya. Kondisi dan situasi lingkungan hidup di domestik pernah membawa performa lingkungan Indonesia di titik terendah. Alih-alih semata menjadi citra di luar. Menilik dengan seksama domestik Indonesia di mana deforestasi, alih guna hutan, degaradasi hutan lahan gambut dan karhutla sedekade lalu justru mencapai lebih dari 2.500 milyar ton (Reuters 2007).

Indonesia kemudian mengemuka sebagai ‘the world’s top three emitter’ atau negara penghasil emisi karbon terbesar ketiga di dunia. Maka jelas, bahwa memperbaiki performa lingkungan Indonesia secara fundamental adalah dengan membenahi dari dalam diri Indonesia itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, titik ini refleksikan kepentingan bersama masyarakat global terhadap rendah emisi. Jawabannya adalah hutan mampu menyeimbangkan hingga hingga mereduksi emisi dari kegiatan manusia.

Berangkat dari hiruk-pikuk deforestasi dan degradasi hutan di domestik ini, komitmen Indonesia menurunkan 26% emisi dinisbatkan tepat sedekade lalu. Bahkan Indonesia membidik reduksi emisi ini menjadi 41% ketika aktor global membantu. Mewujudkan komitmen penurunan emisi ini Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan jalur-jalur pemerintah (first track diplomacy) semata. Maka multi-track diplomasi atau diplomasi dengan multi saluran menjadi sangat tepat. Bagaimanapun, multi track ini merangkul seluruh lapisan aktor dalam sebuah negara bangsa dalam meluaskan diplomasi lingkungan.

Mulai dari lapisan terdepan terluar dibingkai dalam saluran pertama (first-track) dengan aksi aktor pemerintah. Hingga ke lapisan terdalam dan inti (inner circle) yang merupakan saluran ke sembilan (nine track diplomacy). Misalnya, sebut saja dua di antara sekian banyak yang Kerjasama strategis adalah regime lingkungan internasional bernama REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus). Bangunan diplomasi first-track ini setidaknya diejawantahkan ke dalam beberapa skema kerja sama strategis yang ditempuh secara multilateral dalam berbagai organisasi-organisasi internasional hingga bilateral. Sehingga aktor publik beserta opini dan gerak komunikasinya melalui nine track ini tidak dapat begitu saja diabaikan dalam memberi kekuatan nyata bagi suara bangsa yang sebenarnya.

Baca Juga :  Mencermati Dampak Kebijakan Baru Tiongkok terhadap Ekspor Batu Bara Kalteng

Boleh saja klaim global pada Indonesia sebagai ‘the top three greenhouses gas emitter in the world’ ini berhasil memicu berbagai kerja sama dan diplomasi tanpa henti Indonesia di kancah global. Namun, gencarnya diplomasi lingkungan ini tidak sekadar menerjemahkan kapabilitas Indonesia dalam sektor kehutanan dan lahan gambut ke dalam kebijakan luar negeri. Lebih dari itu, kapabilitas ini menjadi sebuah poin Indonesia menyematkan terdesaknya kondisi nyata kehutanan dan lahan gambut di domestiknya yang sangat terdegradasi dengan masive.

Anomali Imaji Indonesia di Mata Global

Layaknya sebuah anomali atas klaim global terhadap Indonesia sebagai emitter ketiga terbesar dunia. Bulan-bulan menjelang COP 26 dan G20 dilangsungkan tahun ini, gadang-gadang imaji climate super power Indonesia dalam persolan Lingkungan mengemuka dari Inggris sebagai Presidensi COP 26. Tentu imaji ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tahun 2021 yang masih berwarna dengan pandemic covid-19 di berbagai belahan dunia, menyuguhkan performa yang berbeda. Bukan semata karena pandemic telah pula mengehntikan sementara kuantitas kebakaran hutan dan lahan. Namun, akumulasi upaya strategis juga terus berproses. Akumulasi dalam menangani rendah karbon ini pun menjadi jalan menuju climate super power.

Sehingga posisi diplomasi lingkungan Indonesia pada tahun ini sangat jauh berbeda dengan situasi yang ada sedekade lalu saat komitmen atas 26-41% ditetapkan. Bahkan lima tahun lalu, ketika Paris Agreement disepakati dan diterapkannya dengan memuat NDCs (Nattionally Determined Contributions). Kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional atau NDCs ini dalam kesepakatan Paris pertama kali dijalankan dan menuju pada pembaharuan setiap lima tahunnya yang jatuh pada tahun ini. Maka, baik lima tahun bahkan sepuluh tahun lalu, kondisi domestic Indonesia tidak dengan mudahnya memberikan iklim yang sejuk bagi performa Indonesia di mata global.

Dari Roma menuju Glasgow

Bukan materi, bekal dari rumah atas keberangkatan Indonesia ke-G20 dan COP26 meliputi kompleksitas aspek perkembangan penanganan penurunan emisi karbon. Meskipun tidak serta merta menyatakan bahwa proses penurunan emisi Indonesi berhasil tanpa menyisakan pekerjan rumah. Beberapa justru memunculkan ‘pekerjaan rumah’ yang baru. Namun beberapa aspek krusial setidaknya mampu menyejukkan nuansa Indonesia dalam mengedepankan isu lingkungan dalam kebijakan luar negerinya.

Baca Juga :  Menafsirkan Kata ”Cawe-Cawe” Presiden Jokowi
Iklim diplomasi Indonesia pada penghujung tahun

Diplomasi lingkungan dalam G20 maupun COP26, Indonesia menggaungkan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim dengan kepercayaan diri yang tinggi. Warna interaksi di bawah payung ‘antar-pemerintah’ pada jalur first track sangat berperan. Tepatnya hari ke-2 dalam G20 yang bertemakan perubahan iklim, energi, dan lingkungan hidup.

Terlepas apakah diplomasi lingkungan tersebut berada di tengah perhelatan multilateral ataupun disisipkan di sela waktu multilateral demi terjadinya dialog secara bilateral dalam rangkaian G20 dan COP26. Alih-alih dialog bilateral ini menjadi sebuah tatap muka yang sederhana. Upaya bilateral justru mampu meningkatkan ketegasan atas upaya multilateral Indonesia terhadap komitmen perubahan iklim global secara langsung kepada negara tertentu. Demikian juga komitmen negara lain terhadap perubahan iklim global sesuai dengan kewajiban masing-masing negara. Diplomasi bilateral ini juga berkesempatan dalam membangun komparasi posisi masing-masing negara dalam mempersepsikan hutan dan perubahan iklim. Pun diplomasi bilateralini memungkinkan kedua belah pihak dalam menemukan inisiatif bagi puzzle-puzzle kosong di ranah domestik yang dapat saja tidak terkemuka di tataran multilateral.

Kesimpulan

Catatan akhir adalah bagaimana kebijakan publik yang sudah terinternasinoalisasi menjadi kebijakan global ini mampu diimplementasikan Kembali ke domestic. Diadaptasikan Kembali di domestic. Karena 1001 pekerjaan rumah menanti. Bersama dengan kapabilitas terbesar kepemilikan hutan dan mangrove dunia, menjadi sangat strategis. Utamanya peran Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam keberlanjutan penanganan hutan secara terstruktur di konstelasi politik internasional. Peran strategis ini diikuti dengan kemampuan mengadaptasikan kepentingan global dengan kewajiban yang berbeda sebagaimana prinsip dalam Paris Agreement. Sekaligus peran strategis ini jmenjadikannya power bagi Indonesia yang legal dipergunakan dalam mengukur kepentingan nasional melalui sumber-sumber ‘di luar rumah’. Maka akhirnya pencapaian ini menjadi iklim sejuk diplomasi lingkungan Indonesia. Semuanya berada di rentang dekade ini, pada penghujung tahun ini.(*)

Oleh: Dr. Yunita Asmawati, S.IP., M.Si

*) Penulis adalah Akademisi Ilmu Hubungan Internasional dengan spesifikasi keahlian di Bidang Diplomasi Lingkungan dan Politik Luar Negeri serta Organisasi Internasional dan Mengajar di Fisip Universitas Palangka Raya.

DIPLOMASI lingkungan Indonesia pada penghujung tahun 2021 semakin konsisten dan diperhitungkan dalam konstelasi politik internasional. Terlebih ketika melalui sekuensi dua agenda multilateral yang diikuti oleh Indonesia yaitu G20 dan COP26 dengan hanya bersisian hari. Meskipun keduanya berbeda, namun tidak menegasikan urgensi perhelatan tersebut sebagai momentum bagi Indonesia dalam mengemas kapabilitas lingkungnnya dalam kebijakan luar negeri melalui istrumen diplomasi.

Pun, konsistensi Indonesia tidak terlepas dari dinamika dalam satu dekade hingga penghujung tahun 2021. Lalu, capaian performa diplomasi lingkungan hingga penghujung tahun ini juga layak diapresiasi. Terlepas dari berbagai tantangan baru hingga tugas-tugas di ‘rumah’ sangat menunggu aksi yang progresif dan nyata dalam memberikan dampak perubahan iklim ke arah penurunan emisi.

Titik Terendah dan Komitmen

Performa lingkungan Indonesia di mata global sendiri bertemali erat dengan situasi domestiknya. Kondisi dan situasi lingkungan hidup di domestik pernah membawa performa lingkungan Indonesia di titik terendah. Alih-alih semata menjadi citra di luar. Menilik dengan seksama domestik Indonesia di mana deforestasi, alih guna hutan, degaradasi hutan lahan gambut dan karhutla sedekade lalu justru mencapai lebih dari 2.500 milyar ton (Reuters 2007).

Indonesia kemudian mengemuka sebagai ‘the world’s top three emitter’ atau negara penghasil emisi karbon terbesar ketiga di dunia. Maka jelas, bahwa memperbaiki performa lingkungan Indonesia secara fundamental adalah dengan membenahi dari dalam diri Indonesia itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, titik ini refleksikan kepentingan bersama masyarakat global terhadap rendah emisi. Jawabannya adalah hutan mampu menyeimbangkan hingga hingga mereduksi emisi dari kegiatan manusia.

Berangkat dari hiruk-pikuk deforestasi dan degradasi hutan di domestik ini, komitmen Indonesia menurunkan 26% emisi dinisbatkan tepat sedekade lalu. Bahkan Indonesia membidik reduksi emisi ini menjadi 41% ketika aktor global membantu. Mewujudkan komitmen penurunan emisi ini Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan jalur-jalur pemerintah (first track diplomacy) semata. Maka multi-track diplomasi atau diplomasi dengan multi saluran menjadi sangat tepat. Bagaimanapun, multi track ini merangkul seluruh lapisan aktor dalam sebuah negara bangsa dalam meluaskan diplomasi lingkungan.

Mulai dari lapisan terdepan terluar dibingkai dalam saluran pertama (first-track) dengan aksi aktor pemerintah. Hingga ke lapisan terdalam dan inti (inner circle) yang merupakan saluran ke sembilan (nine track diplomacy). Misalnya, sebut saja dua di antara sekian banyak yang Kerjasama strategis adalah regime lingkungan internasional bernama REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus). Bangunan diplomasi first-track ini setidaknya diejawantahkan ke dalam beberapa skema kerja sama strategis yang ditempuh secara multilateral dalam berbagai organisasi-organisasi internasional hingga bilateral. Sehingga aktor publik beserta opini dan gerak komunikasinya melalui nine track ini tidak dapat begitu saja diabaikan dalam memberi kekuatan nyata bagi suara bangsa yang sebenarnya.

Baca Juga :  Mencermati Dampak Kebijakan Baru Tiongkok terhadap Ekspor Batu Bara Kalteng

Boleh saja klaim global pada Indonesia sebagai ‘the top three greenhouses gas emitter in the world’ ini berhasil memicu berbagai kerja sama dan diplomasi tanpa henti Indonesia di kancah global. Namun, gencarnya diplomasi lingkungan ini tidak sekadar menerjemahkan kapabilitas Indonesia dalam sektor kehutanan dan lahan gambut ke dalam kebijakan luar negeri. Lebih dari itu, kapabilitas ini menjadi sebuah poin Indonesia menyematkan terdesaknya kondisi nyata kehutanan dan lahan gambut di domestiknya yang sangat terdegradasi dengan masive.

Anomali Imaji Indonesia di Mata Global

Layaknya sebuah anomali atas klaim global terhadap Indonesia sebagai emitter ketiga terbesar dunia. Bulan-bulan menjelang COP 26 dan G20 dilangsungkan tahun ini, gadang-gadang imaji climate super power Indonesia dalam persolan Lingkungan mengemuka dari Inggris sebagai Presidensi COP 26. Tentu imaji ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tahun 2021 yang masih berwarna dengan pandemic covid-19 di berbagai belahan dunia, menyuguhkan performa yang berbeda. Bukan semata karena pandemic telah pula mengehntikan sementara kuantitas kebakaran hutan dan lahan. Namun, akumulasi upaya strategis juga terus berproses. Akumulasi dalam menangani rendah karbon ini pun menjadi jalan menuju climate super power.

Sehingga posisi diplomasi lingkungan Indonesia pada tahun ini sangat jauh berbeda dengan situasi yang ada sedekade lalu saat komitmen atas 26-41% ditetapkan. Bahkan lima tahun lalu, ketika Paris Agreement disepakati dan diterapkannya dengan memuat NDCs (Nattionally Determined Contributions). Kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional atau NDCs ini dalam kesepakatan Paris pertama kali dijalankan dan menuju pada pembaharuan setiap lima tahunnya yang jatuh pada tahun ini. Maka, baik lima tahun bahkan sepuluh tahun lalu, kondisi domestic Indonesia tidak dengan mudahnya memberikan iklim yang sejuk bagi performa Indonesia di mata global.

Dari Roma menuju Glasgow

Bukan materi, bekal dari rumah atas keberangkatan Indonesia ke-G20 dan COP26 meliputi kompleksitas aspek perkembangan penanganan penurunan emisi karbon. Meskipun tidak serta merta menyatakan bahwa proses penurunan emisi Indonesi berhasil tanpa menyisakan pekerjan rumah. Beberapa justru memunculkan ‘pekerjaan rumah’ yang baru. Namun beberapa aspek krusial setidaknya mampu menyejukkan nuansa Indonesia dalam mengedepankan isu lingkungan dalam kebijakan luar negerinya.

Baca Juga :  Menafsirkan Kata ”Cawe-Cawe” Presiden Jokowi
Iklim diplomasi Indonesia pada penghujung tahun

Diplomasi lingkungan dalam G20 maupun COP26, Indonesia menggaungkan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim dengan kepercayaan diri yang tinggi. Warna interaksi di bawah payung ‘antar-pemerintah’ pada jalur first track sangat berperan. Tepatnya hari ke-2 dalam G20 yang bertemakan perubahan iklim, energi, dan lingkungan hidup.

Terlepas apakah diplomasi lingkungan tersebut berada di tengah perhelatan multilateral ataupun disisipkan di sela waktu multilateral demi terjadinya dialog secara bilateral dalam rangkaian G20 dan COP26. Alih-alih dialog bilateral ini menjadi sebuah tatap muka yang sederhana. Upaya bilateral justru mampu meningkatkan ketegasan atas upaya multilateral Indonesia terhadap komitmen perubahan iklim global secara langsung kepada negara tertentu. Demikian juga komitmen negara lain terhadap perubahan iklim global sesuai dengan kewajiban masing-masing negara. Diplomasi bilateral ini juga berkesempatan dalam membangun komparasi posisi masing-masing negara dalam mempersepsikan hutan dan perubahan iklim. Pun diplomasi bilateralini memungkinkan kedua belah pihak dalam menemukan inisiatif bagi puzzle-puzzle kosong di ranah domestik yang dapat saja tidak terkemuka di tataran multilateral.

Kesimpulan

Catatan akhir adalah bagaimana kebijakan publik yang sudah terinternasinoalisasi menjadi kebijakan global ini mampu diimplementasikan Kembali ke domestic. Diadaptasikan Kembali di domestic. Karena 1001 pekerjaan rumah menanti. Bersama dengan kapabilitas terbesar kepemilikan hutan dan mangrove dunia, menjadi sangat strategis. Utamanya peran Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam keberlanjutan penanganan hutan secara terstruktur di konstelasi politik internasional. Peran strategis ini diikuti dengan kemampuan mengadaptasikan kepentingan global dengan kewajiban yang berbeda sebagaimana prinsip dalam Paris Agreement. Sekaligus peran strategis ini jmenjadikannya power bagi Indonesia yang legal dipergunakan dalam mengukur kepentingan nasional melalui sumber-sumber ‘di luar rumah’. Maka akhirnya pencapaian ini menjadi iklim sejuk diplomasi lingkungan Indonesia. Semuanya berada di rentang dekade ini, pada penghujung tahun ini.(*)

Oleh: Dr. Yunita Asmawati, S.IP., M.Si

*) Penulis adalah Akademisi Ilmu Hubungan Internasional dengan spesifikasi keahlian di Bidang Diplomasi Lingkungan dan Politik Luar Negeri serta Organisasi Internasional dan Mengajar di Fisip Universitas Palangka Raya.

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/