Minggu, Mei 19, 2024
29.9 C
Palangkaraya

Menafsirkan Kata ”Cawe-Cawe” Presiden Jokowi

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi perbincangan di masyarakat setelah melontarkan kata ”cawe-cawe” dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024. Frasa tersebut dilontarkan saat berjumpa dengan pemimpin redaksi media massa dan kreator konten di Istana Negara pada Senin (29/5). Kalimat lengkapnya, ”Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu dalam arti yang positif. Saya tidak akan melanggar aturan, tidak melanggar undang-undang, dan tidak akan mengotori demokrasi.”

Namun, banyak kalangan menafsirkan pernyataan Presiden Jokowi tersebut cenderung tidak netral dan berpihak kepada kandidat tertentu dalam Pilpres 2024. Maklum, gestur yang disampaikan presiden dalam banyak kesempatan cenderung mengarah ke kandidat tertentu. Tentu publik tak sulit menerjemahkan makna di balik kata cawe-cawe yang bermakna campur tangan itu.

Berkali-kali Jokowi meng-endorse nama Gubernur Jawa Tengah dari PDIP Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Bahkan, anak-anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, ditengarai mendukung Prabowo. Dukungan kepada salah satu kandidat tidak etis dan tidak sesuai dengan mandat konstitusi. Sebab, presiden adalah kepala pemerintahan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan bagi partai politik tertentu.

Ketika presiden aktif dengan segala kekuasaan yang dimiliki, dia adalah pemimpin tertinggi seluruh matra angkatan di TNI, kepolisian, kementerian, dan aparatur sipil negara di seluruh pelosok Indonesia, apakah tidak akan memobilisasi dukungan dan memengaruhi pemilihnya? Lawan politik yang nantinya kalah atau tidak mendapat dukungan bisa menggugat dan mempertanyakan legitimasi pemilu.

Baca Juga :  Kehadiran Investasi Harus Bisa Saling Menguntungkan

Ketidaknetralan presiden juga berpotensi abuse of power mengingat kekuasaan presiden sangat besar. Setidaknya presiden menyalahi etika politik, yakni kepentingan politik dan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Pertama, dari sisi kepentingan sebagai pejabat politik, politik presiden adalah untuk kepentingan politik. Politik institusional presiden adalah untuk politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk seluruh rakyat Indonesia.

Begitu dilantik sebagai presiden, dia menjadi milik seluruh bangsa, bukan segelintir orang. Karena itu, menjadi tidak masuk akal ketika presiden masih mengorganisasi relawan, menemui ketua umum partai pendukungnya, dan mengarahkan dukungan untuk calon tertentu. Relawan itu seharusnya bubar begitu pemilu usai, bukan justru dipelihara.

Sikap presiden yang meng-endorse calon tertentu dapat ditafsirkan sebagai sikap presiden yang ketakutan dengan nasib diri sendiri dan keluarganya setelah tidak menjabat. Selain mungkin saja ada alasan kepentingan yang lebih besar seperti pembangunan tidak dilanjutkan, ada kekhawatiran siapa yang akan menjaga dirinya dan anak-anaknya setelah tidak menjabat.

Yang kedua dari sisi fasilitas, untuk kepentingan politik kebangsaan, presiden berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara. Sebaliknya, untuk urusan politik partisan acara-acara partai, presiden seharusnya menggunakan fasilitas sendiri.

Tidak seharusnya presiden hadir dalam pengumuman calon presiden dari partai tertentu, sedangkan dia datang dan pergi dengan pesawat kepresidenan. Istana Negara adalah istana rakyat, tidak tepat digunakan untuk mendiskusikan strategi pemenangan pemilu guna memenangkan kubu tertentu.

Baca Juga :  Said Husin, Terdakwa Tipikor KPU Sukamara Menjalani Sidang tanpa Pengacara

Sikap dan campur tangan presiden dalam Pilpres 2024 berpotensi mencederai demokrasi dan merusak legasi Jokowi sebagai bapak pembangunan. Kalau pada akhirnya berujung pada konflik dan kericuhan karena ada pihak-pihak yang merasa dipecundangi, jasa besar dua periode kepemimpinannya akan sia-sia belaka.

Wajar seorang presiden yang akan segera mengakhiri masa jabatannya mengalami kecemasan akan masa depannya. Namun kurang tepat kemudian jika mencampuri proses politik demokrasi dengan meng-endorse nama-nama tertentu agar dipilih oleh rakyat. Timbul kesan presiden kurang legawa kalau digantikan pemimpin yang bukan berasal dari kubunya.

Ketika presiden menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk memengaruhi kontestasi pilpres, jelas itu melanggar konstitusi. Presiden akan dipersalahkan kalau kemudian pilpres diwarnai kecurangan. Sebab, salah satu tugas dan mandat setiap presiden adalah melaksanakan amanat pilpres langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil.

Mau dibawa ke mana negeri ini ketika pilihan rakyat sudah dimobilisasi kekuasaan dan terbeli dengan uang? Sikap kenegarawanan dan bapak bangsa presiden dinanti agar negeri ini mempunyai warisan yang bersejarah di masa depan. Tugas presiden adalah mengawal demokrasi dan memastikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja dalam koridor aturan yang berlaku. (*)

*) PAULUS MUJIRAN, Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

 

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi perbincangan di masyarakat setelah melontarkan kata ”cawe-cawe” dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024. Frasa tersebut dilontarkan saat berjumpa dengan pemimpin redaksi media massa dan kreator konten di Istana Negara pada Senin (29/5). Kalimat lengkapnya, ”Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu dalam arti yang positif. Saya tidak akan melanggar aturan, tidak melanggar undang-undang, dan tidak akan mengotori demokrasi.”

Namun, banyak kalangan menafsirkan pernyataan Presiden Jokowi tersebut cenderung tidak netral dan berpihak kepada kandidat tertentu dalam Pilpres 2024. Maklum, gestur yang disampaikan presiden dalam banyak kesempatan cenderung mengarah ke kandidat tertentu. Tentu publik tak sulit menerjemahkan makna di balik kata cawe-cawe yang bermakna campur tangan itu.

Berkali-kali Jokowi meng-endorse nama Gubernur Jawa Tengah dari PDIP Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Bahkan, anak-anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, ditengarai mendukung Prabowo. Dukungan kepada salah satu kandidat tidak etis dan tidak sesuai dengan mandat konstitusi. Sebab, presiden adalah kepala pemerintahan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan bagi partai politik tertentu.

Ketika presiden aktif dengan segala kekuasaan yang dimiliki, dia adalah pemimpin tertinggi seluruh matra angkatan di TNI, kepolisian, kementerian, dan aparatur sipil negara di seluruh pelosok Indonesia, apakah tidak akan memobilisasi dukungan dan memengaruhi pemilihnya? Lawan politik yang nantinya kalah atau tidak mendapat dukungan bisa menggugat dan mempertanyakan legitimasi pemilu.

Baca Juga :  Kehadiran Investasi Harus Bisa Saling Menguntungkan

Ketidaknetralan presiden juga berpotensi abuse of power mengingat kekuasaan presiden sangat besar. Setidaknya presiden menyalahi etika politik, yakni kepentingan politik dan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Pertama, dari sisi kepentingan sebagai pejabat politik, politik presiden adalah untuk kepentingan politik. Politik institusional presiden adalah untuk politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk seluruh rakyat Indonesia.

Begitu dilantik sebagai presiden, dia menjadi milik seluruh bangsa, bukan segelintir orang. Karena itu, menjadi tidak masuk akal ketika presiden masih mengorganisasi relawan, menemui ketua umum partai pendukungnya, dan mengarahkan dukungan untuk calon tertentu. Relawan itu seharusnya bubar begitu pemilu usai, bukan justru dipelihara.

Sikap presiden yang meng-endorse calon tertentu dapat ditafsirkan sebagai sikap presiden yang ketakutan dengan nasib diri sendiri dan keluarganya setelah tidak menjabat. Selain mungkin saja ada alasan kepentingan yang lebih besar seperti pembangunan tidak dilanjutkan, ada kekhawatiran siapa yang akan menjaga dirinya dan anak-anaknya setelah tidak menjabat.

Yang kedua dari sisi fasilitas, untuk kepentingan politik kebangsaan, presiden berhak menggunakan protokoler dan fasilitas negara. Sebaliknya, untuk urusan politik partisan acara-acara partai, presiden seharusnya menggunakan fasilitas sendiri.

Tidak seharusnya presiden hadir dalam pengumuman calon presiden dari partai tertentu, sedangkan dia datang dan pergi dengan pesawat kepresidenan. Istana Negara adalah istana rakyat, tidak tepat digunakan untuk mendiskusikan strategi pemenangan pemilu guna memenangkan kubu tertentu.

Baca Juga :  Said Husin, Terdakwa Tipikor KPU Sukamara Menjalani Sidang tanpa Pengacara

Sikap dan campur tangan presiden dalam Pilpres 2024 berpotensi mencederai demokrasi dan merusak legasi Jokowi sebagai bapak pembangunan. Kalau pada akhirnya berujung pada konflik dan kericuhan karena ada pihak-pihak yang merasa dipecundangi, jasa besar dua periode kepemimpinannya akan sia-sia belaka.

Wajar seorang presiden yang akan segera mengakhiri masa jabatannya mengalami kecemasan akan masa depannya. Namun kurang tepat kemudian jika mencampuri proses politik demokrasi dengan meng-endorse nama-nama tertentu agar dipilih oleh rakyat. Timbul kesan presiden kurang legawa kalau digantikan pemimpin yang bukan berasal dari kubunya.

Ketika presiden menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk memengaruhi kontestasi pilpres, jelas itu melanggar konstitusi. Presiden akan dipersalahkan kalau kemudian pilpres diwarnai kecurangan. Sebab, salah satu tugas dan mandat setiap presiden adalah melaksanakan amanat pilpres langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil.

Mau dibawa ke mana negeri ini ketika pilihan rakyat sudah dimobilisasi kekuasaan dan terbeli dengan uang? Sikap kenegarawanan dan bapak bangsa presiden dinanti agar negeri ini mempunyai warisan yang bersejarah di masa depan. Tugas presiden adalah mengawal demokrasi dan memastikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja dalam koridor aturan yang berlaku. (*)

*) PAULUS MUJIRAN, Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang

 

Artikel Terkait

Acil Joeleha

Sabar Fest

Los Dol

Terpopuler

Artikel Terbaru

/