Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Distribusi Migor Belum Optimal

PALANGKA RAYA-Pemerintah sudah resmi melepas harga minyak goreng (migor) kemasan tanpa embel-embel harga eceran tertinggi (HET). Sudah pasti, harga migor kemasan premium dan sederhana melonjak drastis.

Sedikitnya ada 15 minimarket yang tersebar di Kota Palangka Raya didatangi wartawan Kalteng Pos. Seperti di Jalan G Obos, Jalan Tjilik Riwut, Jalan A Yani, dan Jalan RTA Milono. Tertera harga migor bermacam-macam merek mulai dari Rp47 ribu – Rp54 ribu per 2 liter. Namun hanya ada tulisan harga saja. Rak-rak di sejumlah minimarket itu kebanyakan tak terisi. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Salah satu pelayan minimarket yang ditemui saat sibuk menata barang mengatakan jika stok minyak goreng masih kosong lantaran tak ada pengantaran dari pihak distributor. “Ini mah ulah distributor yang suka menahan-nahan (menimbun, red), tidak disalurkan langsung,” katanya singkat.

Pemandangan ini menyiratkan ada yang tak beres dengan pendistribusian minyak goreng di Kota Cantik. Tidak lancar. Publik pun meragukan kinerja kepolisian yang tidak bisa memastikan kelancaran distribusi sesuai instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Menanggapi hal itu, Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Kismanto Eko Saputro dalam keterangan tertulisnya menyampaikan, Polda Kalteng akan terus melakukan pengawasan terhadap stok maupun distribusi minyak goreng di pasaran.

“Polda Kalteng yang tergabung dalam Satgas Pangan telah melakukan pemantauan minyak goreng di pasar tradisional maupun retail modern,” terang Eko, kemarin (17/3).

Polda Kalteng bersama dinas-dinas terkait melakukan monitoring terhadap distributor-distributor minyak goreng yang ada di Palangka Raya.

Pengawasan terhadap sejumlah distributor bertujuan untuk memastikan pendistribusian minyak goreng dari pihak distributor berjalan lancar hingga sampai di pasaran.

“Kami akan mengawasi pihak distributor supaya mereka tidak menahan stok minyak goreng di gudang mereka,” terang Eko lagi.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Fitria Husnatarina menyebut, kebijakan pemerintah menghapus HET minyak goreng dan mengembalikan penentuan ke mekanisme pasar, dianggap sebagai kebijakan coba-coba oleh pemerintah. Fitria meragukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.

“Saya melihat bahwa kebijakan ini kayak trial and error sih, keseriusan upaya untuk memperbaiki kondisi distribusi maupun produksi minyak goreng seperti suam-suam kuku saja,” kata Fitria, kemarin (17/3).

Ia juga menyayangkan perihal tidak adanya langkah atau upaya pemerintah untuk secara cepat menyelesaikan persoalan yang muncul sebagai dampak dikeluarkannya kebijakan HET minyak goreng.

“Adanya kebijakan itu menimbulkan berbagai persoalan baru yang ujung-ujungnya malah menjadikan masyarakat terutama kelas ekonomi bawah sebagai korban. Sangat dirugikan dengan munculnya kebijakan tersebut,” tegasnya.

Baca Juga :  Masyarakat Sehat, Perekonomian Akan Tumbuh Baik

Fitria juga berpendapat bahwa kebijakan pemerintah menghapus HET minyak goreng, bukan tidak mungkin suatu waktu akan berubah, bila kebijakan ini dinilai tidak berjalan seperti yang diharapkan. Fitria mempertanyakan sejauh mana keefektifan kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan menghapus HET minyak goreng dan mengembalikan penentuan harga kepada mekanisme pasar.

Menurutnya, kondisi pasar saat ini saja tidak sempurna dan bersifat oportunis atau sarat dengan kepentingan untuk mengambil keuntungan dengan memanfaatkan situasi. Diterangkannya bahwa pasar yang bersifat oportunis umumnya tercipta karena di-setting oleh pihak korporasi atau karena adanya peristiwa atau momentum tertentu.

“Nyatanya kondisi pasar oportunis seperti yang terjadi saat ini tidak bisa dikendalikan oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” ucapnya.

Dikatakannya, bukti oportunis pasar terlihat saat permintaan minyak goreng sedang tinggi, tapi pihak yang mengusai barang (kelompok distributor) justru mengeluarkan stok barang sedikit demi sedikit, sehingga terjadilah kondisi kelangkaan barang.

“Yang diuntungkan adalah personal-personal tertentu dalam kapasitas tertentu,” sebut Fitria.

Bila pemerintah ingin mengeluarkan suatu kebijakan, lanjutnya, seharusnya dibarengi dengan sebuah aturan yang keras dan jelas untuk melandasi kebijakan tersebut.

“Pemerintah mesti menyertakan juga aturan hukum yang keras dan tegas untuk mengikuti kebijakan yang dikeluarkan itu, pemerintah harusnya mempertimbangkan kemungkinan adanya oknum-oknum atau pihak-pihak tertentu yang bisa saja mengambil kesempatan atau peluang dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut,” ujarnya lagi.

Fitria menilai pemerintah sengaja lepas tangan dengan menyerahkan penentuan harga minyak goreng pada mekanisme pasar, karena itu merupakan pilihan yang dianggap paling murah. Padahal momentum atau waktu yang dipilih pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar pun tidak tepat.

Mengenai fenomena ketidakstabilan stok minyak goreng pada sejumlah swalayan dan ritel modern di Kota Palangka Raya, Fitria menyebut bahwa pada dasarnya tidak pernah terjadi kelangkaan minyak goreng di kota ini.

“Fenomena hilang munculnya stok minyak goreng kemasan di rak-rak ritel modern tersebut merupakan bentuk respons dari pihak ritel, melihat bahwa kondisi untuk menjual minyak goreng sudah cukup baik. Dengan dikeluarkannya kebijakan baru ini, paling tidak pihak ritel atau pasar melihat sudah tidak rugi untuk menjual minyak goreng, paling tidak mereka mengganggap profitabilitas mereka tetap terjaga,” katanya.

Meskipun stok minyak goreng terlihat lagi pada beberapa ritel modern, menurut Fitria, barometer kondisi pasar yang sebenarnya mengacu pada kondisi pasar tradisional, toko kelontong, maupun toko kecil milik masyarakat, karena menguasai sekitar 75 persen pasar.

Baca Juga :  Percepat Vaksinasi, PWNU-Polda Kalteng Siap Bersinergi

Disinggung terkait kebijakan pemerintah daerah menggelar operasi pasar minyak goreng curah untuk membantu masyarakat mengatasi kelangkaan minyak goreng, Fitria mengaku jika kebijakan tersebut sudah sangat tepat. Menurutnya, operasi pasar yang dilakukan Pemrov Kalteng bisa menjadi penyeimbang sekaligus menstabilkan tingkat permintaan dengan tingkat harga. Terlebih lagi kebijakan  pemprov ini dijalankan saat kebutuhan masyarakat akan minyak goreng sedang tinggi.

“Itu bagus, meskipun sifatnya situasional, karena membuat pasar atau harga bisa lebih stabil dalam kondisi tertentu. Menurut saya dalam kondisi sekarang ini, terutama menjelang Ramadan dan Idulfitri, masih diperlukan kebijakan seperti itu,” ujarnya.

Meski demikian, Fitria mengingatkan bahwa kebijakan operasi pasar tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang, karena tidak baik untuk kondisi pasar sendiri. “Kalau pasar minyak goreng sudah stabil, tidak ada keluhan lagi, harga jual pun sudah dalam jangkauan daya beli masyarakat, maka operasi pasar murah tidak diperlukan lagi,” pungkasnya.

Terpisah, Pj Sekda Kalteng Nuryakin juga berkomentar tentang banyaknya warga yang antre hanya untuk mendapatkan minyak goreng. Nuryakin menyebut bahwa ada yang salah dalam tata kelola. Harusnya daerah memiliki domestic market obligation (DMO). Misal saja, berdasarkan hasil pendataan diketahui kebutuhan minyak goreng di Kalteng sebanyak 10 juta liter, maka jumlah ini harus tersedia di Kalteng untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.

“Jangan sampai ada yang keluar dari Kalteng, 10 juta liter itu wajib ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah ini,” katanya kepada awak media, kemarin.

Lebih lanjut diungkapkannya, apabila hal ini dapat dikondisikan, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi kekurangan atau kelangkaan minyak goreng di daerah ini. Yang terjadi selama ini, produksi minyak goreng dikirim ke Jawa, kemudian dikirim kembali ke Kalteng.

“Masak minyak goreng ini dikirim ke Jawa dahulu, barulah dikirim ke sini lagi, saya menyebutnya seperti tikus mati di lumbung padi,” ucapnya.

Untuk itu, sebutnya, sangat diperlukan adanya DMO. Apalagi selama ini tidak pernah dilakukan perhitungan.

Saat ini Pemprov Kalteng dalam hal ini Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran sudah memerintahkan pihak terkait untuk mendata para pedagang besar, pedagang menengah, hingga penyalur.

“DMO ini harusnya dilakukan saat memberikan izin pabrik minyak kelapa sawit, kemudian daerah selipkan aturan DMO. Namun karena selama ini tidak diatur, maka terserah perusahaan,” pungkasnya. (abw/sja/ce/ram/ko)

PALANGKA RAYA-Pemerintah sudah resmi melepas harga minyak goreng (migor) kemasan tanpa embel-embel harga eceran tertinggi (HET). Sudah pasti, harga migor kemasan premium dan sederhana melonjak drastis.

Sedikitnya ada 15 minimarket yang tersebar di Kota Palangka Raya didatangi wartawan Kalteng Pos. Seperti di Jalan G Obos, Jalan Tjilik Riwut, Jalan A Yani, dan Jalan RTA Milono. Tertera harga migor bermacam-macam merek mulai dari Rp47 ribu – Rp54 ribu per 2 liter. Namun hanya ada tulisan harga saja. Rak-rak di sejumlah minimarket itu kebanyakan tak terisi. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Salah satu pelayan minimarket yang ditemui saat sibuk menata barang mengatakan jika stok minyak goreng masih kosong lantaran tak ada pengantaran dari pihak distributor. “Ini mah ulah distributor yang suka menahan-nahan (menimbun, red), tidak disalurkan langsung,” katanya singkat.

Pemandangan ini menyiratkan ada yang tak beres dengan pendistribusian minyak goreng di Kota Cantik. Tidak lancar. Publik pun meragukan kinerja kepolisian yang tidak bisa memastikan kelancaran distribusi sesuai instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Menanggapi hal itu, Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Kismanto Eko Saputro dalam keterangan tertulisnya menyampaikan, Polda Kalteng akan terus melakukan pengawasan terhadap stok maupun distribusi minyak goreng di pasaran.

“Polda Kalteng yang tergabung dalam Satgas Pangan telah melakukan pemantauan minyak goreng di pasar tradisional maupun retail modern,” terang Eko, kemarin (17/3).

Polda Kalteng bersama dinas-dinas terkait melakukan monitoring terhadap distributor-distributor minyak goreng yang ada di Palangka Raya.

Pengawasan terhadap sejumlah distributor bertujuan untuk memastikan pendistribusian minyak goreng dari pihak distributor berjalan lancar hingga sampai di pasaran.

“Kami akan mengawasi pihak distributor supaya mereka tidak menahan stok minyak goreng di gudang mereka,” terang Eko lagi.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Fitria Husnatarina menyebut, kebijakan pemerintah menghapus HET minyak goreng dan mengembalikan penentuan ke mekanisme pasar, dianggap sebagai kebijakan coba-coba oleh pemerintah. Fitria meragukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.

“Saya melihat bahwa kebijakan ini kayak trial and error sih, keseriusan upaya untuk memperbaiki kondisi distribusi maupun produksi minyak goreng seperti suam-suam kuku saja,” kata Fitria, kemarin (17/3).

Ia juga menyayangkan perihal tidak adanya langkah atau upaya pemerintah untuk secara cepat menyelesaikan persoalan yang muncul sebagai dampak dikeluarkannya kebijakan HET minyak goreng.

“Adanya kebijakan itu menimbulkan berbagai persoalan baru yang ujung-ujungnya malah menjadikan masyarakat terutama kelas ekonomi bawah sebagai korban. Sangat dirugikan dengan munculnya kebijakan tersebut,” tegasnya.

Baca Juga :  Masyarakat Sehat, Perekonomian Akan Tumbuh Baik

Fitria juga berpendapat bahwa kebijakan pemerintah menghapus HET minyak goreng, bukan tidak mungkin suatu waktu akan berubah, bila kebijakan ini dinilai tidak berjalan seperti yang diharapkan. Fitria mempertanyakan sejauh mana keefektifan kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan menghapus HET minyak goreng dan mengembalikan penentuan harga kepada mekanisme pasar.

Menurutnya, kondisi pasar saat ini saja tidak sempurna dan bersifat oportunis atau sarat dengan kepentingan untuk mengambil keuntungan dengan memanfaatkan situasi. Diterangkannya bahwa pasar yang bersifat oportunis umumnya tercipta karena di-setting oleh pihak korporasi atau karena adanya peristiwa atau momentum tertentu.

“Nyatanya kondisi pasar oportunis seperti yang terjadi saat ini tidak bisa dikendalikan oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” ucapnya.

Dikatakannya, bukti oportunis pasar terlihat saat permintaan minyak goreng sedang tinggi, tapi pihak yang mengusai barang (kelompok distributor) justru mengeluarkan stok barang sedikit demi sedikit, sehingga terjadilah kondisi kelangkaan barang.

“Yang diuntungkan adalah personal-personal tertentu dalam kapasitas tertentu,” sebut Fitria.

Bila pemerintah ingin mengeluarkan suatu kebijakan, lanjutnya, seharusnya dibarengi dengan sebuah aturan yang keras dan jelas untuk melandasi kebijakan tersebut.

“Pemerintah mesti menyertakan juga aturan hukum yang keras dan tegas untuk mengikuti kebijakan yang dikeluarkan itu, pemerintah harusnya mempertimbangkan kemungkinan adanya oknum-oknum atau pihak-pihak tertentu yang bisa saja mengambil kesempatan atau peluang dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut,” ujarnya lagi.

Fitria menilai pemerintah sengaja lepas tangan dengan menyerahkan penentuan harga minyak goreng pada mekanisme pasar, karena itu merupakan pilihan yang dianggap paling murah. Padahal momentum atau waktu yang dipilih pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar pun tidak tepat.

Mengenai fenomena ketidakstabilan stok minyak goreng pada sejumlah swalayan dan ritel modern di Kota Palangka Raya, Fitria menyebut bahwa pada dasarnya tidak pernah terjadi kelangkaan minyak goreng di kota ini.

“Fenomena hilang munculnya stok minyak goreng kemasan di rak-rak ritel modern tersebut merupakan bentuk respons dari pihak ritel, melihat bahwa kondisi untuk menjual minyak goreng sudah cukup baik. Dengan dikeluarkannya kebijakan baru ini, paling tidak pihak ritel atau pasar melihat sudah tidak rugi untuk menjual minyak goreng, paling tidak mereka mengganggap profitabilitas mereka tetap terjaga,” katanya.

Meskipun stok minyak goreng terlihat lagi pada beberapa ritel modern, menurut Fitria, barometer kondisi pasar yang sebenarnya mengacu pada kondisi pasar tradisional, toko kelontong, maupun toko kecil milik masyarakat, karena menguasai sekitar 75 persen pasar.

Baca Juga :  Percepat Vaksinasi, PWNU-Polda Kalteng Siap Bersinergi

Disinggung terkait kebijakan pemerintah daerah menggelar operasi pasar minyak goreng curah untuk membantu masyarakat mengatasi kelangkaan minyak goreng, Fitria mengaku jika kebijakan tersebut sudah sangat tepat. Menurutnya, operasi pasar yang dilakukan Pemrov Kalteng bisa menjadi penyeimbang sekaligus menstabilkan tingkat permintaan dengan tingkat harga. Terlebih lagi kebijakan  pemprov ini dijalankan saat kebutuhan masyarakat akan minyak goreng sedang tinggi.

“Itu bagus, meskipun sifatnya situasional, karena membuat pasar atau harga bisa lebih stabil dalam kondisi tertentu. Menurut saya dalam kondisi sekarang ini, terutama menjelang Ramadan dan Idulfitri, masih diperlukan kebijakan seperti itu,” ujarnya.

Meski demikian, Fitria mengingatkan bahwa kebijakan operasi pasar tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang, karena tidak baik untuk kondisi pasar sendiri. “Kalau pasar minyak goreng sudah stabil, tidak ada keluhan lagi, harga jual pun sudah dalam jangkauan daya beli masyarakat, maka operasi pasar murah tidak diperlukan lagi,” pungkasnya.

Terpisah, Pj Sekda Kalteng Nuryakin juga berkomentar tentang banyaknya warga yang antre hanya untuk mendapatkan minyak goreng. Nuryakin menyebut bahwa ada yang salah dalam tata kelola. Harusnya daerah memiliki domestic market obligation (DMO). Misal saja, berdasarkan hasil pendataan diketahui kebutuhan minyak goreng di Kalteng sebanyak 10 juta liter, maka jumlah ini harus tersedia di Kalteng untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.

“Jangan sampai ada yang keluar dari Kalteng, 10 juta liter itu wajib ada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah ini,” katanya kepada awak media, kemarin.

Lebih lanjut diungkapkannya, apabila hal ini dapat dikondisikan, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi kekurangan atau kelangkaan minyak goreng di daerah ini. Yang terjadi selama ini, produksi minyak goreng dikirim ke Jawa, kemudian dikirim kembali ke Kalteng.

“Masak minyak goreng ini dikirim ke Jawa dahulu, barulah dikirim ke sini lagi, saya menyebutnya seperti tikus mati di lumbung padi,” ucapnya.

Untuk itu, sebutnya, sangat diperlukan adanya DMO. Apalagi selama ini tidak pernah dilakukan perhitungan.

Saat ini Pemprov Kalteng dalam hal ini Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran sudah memerintahkan pihak terkait untuk mendata para pedagang besar, pedagang menengah, hingga penyalur.

“DMO ini harusnya dilakukan saat memberikan izin pabrik minyak kelapa sawit, kemudian daerah selipkan aturan DMO. Namun karena selama ini tidak diatur, maka terserah perusahaan,” pungkasnya. (abw/sja/ce/ram/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/