Jumat, November 22, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Menjenguk Bayi Pengidap Hidrosefalus di RSUD dr Doris Sylvanus

Dokter Yayu: Segera Dirujuk, Jangan Ditunda

Sejak awal tahun 2022, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Doris Sylvanus Palangka Raya menerima delapan rujukan bayi pengidap hidrosefalus. Satu di antaranya meninggal dunia. Sekarang ada tiga bayi yang sedang menjalani perawatan.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

CITRA Dewi terduduk lesu di Ruang Flamboyan, di samping anaknya yang terbaring dengan infus dan selimut yang mengelilingi sekujur tubuh. Anak bungsu berjenis kelamin laki-laki berinisial AR itu didiagnosis mengidap hidrosefalus. Meski demikian, wanita 31 tahun itu tidak putus asa. Ia meyakini pihak rumah sakit telah bekerja maksimal untuk merawat anaknya yang baru enam bulan terlahir ke dunia.

“Empat bulan yang lalu, waktu umurnya dua bulan, sudah mulai terlihat tanda-tanda hidrosefalus,” tuturnya.

Tak berselang lama setelah tampak tanda-tanda hidrosefalus, bersama sanga suami menyerahkan penanganan kepada pihak Rumah Sakit Kapuas.

“Satu malam dibawa pulang ada perubahan, lalu kemudian dirujuk ke RSUD dr Doris Sylvanus karena alat di Rumah Sakit Kapuas tidak ada, jadi ke sini,” ucap ibu tiga anak itu kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang perawatan anak, Senin (7/11).

Citra mengaku sejauh ini biaya perawatan anaknya ditanggung pemerintah lewat Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sejak pertama kali dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus Jumat kemarin, anaknya langsung dimasukkan ke Unit Gawat Darurat (UGD) untuk selanjutnya diproses setelah bisa masuk ke ruang anak. Menyerahkan anaknya untuk bisa dirawat di rumah sakit berfasilitas lengkap seperti RSUD dr Doris Sylvanus membuat Citra bernapas lega. Makin membesarkan harapan agar anak bungsunya itu bisa beraktivitas seperti bayi pada umumnya. “Mudah-mudahan selamat anakku yang sudah berumur enam bulan ini,” harapnya.

Dokter Alfan Syah Putra Nasution SpBS selaku dokter bedah saraf RSUD dr Doris Sylvanus mengatakan, hidrosefalus merupakan penyakit yang muncul karena terjadi penumpukan cairan otak dalam kuantitas yang tidak normal.

“Hidrosefalus ini karena ada ketidakseimbangan pada jumlah cairan otak. Penyebabnya ada tiga. Yakni produksi yang berlebihan, terjadi sumbatan pada salurannya sehingga cairan tidak mengalir ke tempat semestinya untuk diserap, dan yang terakhir karena penyerapan yang terganggu. Intinya ada ketidakseimbangan antara yang dihasilkan dengan yang diserap,” sebut dr Alfan kepada Kalteng Pos, kemarin.

Ia menjelaskan, hidrosefalus merupakan penyakit bawaan sejak dilahirkan atau bisa juga didapat melalui kasus-kasus tertentu seperti tumor dan pendarahan yang menyebabkan gangguan pada cairan otak atau terkait dengan penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan hidrosefalus. Untuk hidrosefalus yang murni dibawa dari kandungan, ada beberapa hal yang menjadi pemicu. Seperti penyempitan pada saluran-saluran tertentu atau kurang terbentuknya bagian-bagian dan struktur yang membentuk bagian otak selama masa kelahiran.

“Atau produksi cairan yang berlebihan. Hidrosefanus ini kompleks. Jadi hidrosefanus itu boleh dikatakan istilah umum, penyebabnya itu banyak, variasi kasusnya,” tuturnya.

Penyakit ini bisa juga dipicu oleh infeksi selama proses kehamilan, defisiensi zat-zat tertentu seperti asupan yang kurang bagus, dan trauma.

Baca Juga :  Agustiar Sampaikan Belasungkawa, Atas Wafatnya dr Rian Tangkudung dan Mantan Kapolda Kalteng

“Pokoknya selama kandungan ada hal-hal yang enggak maksimal dan mengganggu proses kehamilan, bisa menjadi pemicu terjadinya hidrosefalus,” jelasnya.

Begitu kompleksnya penyakit ini, lanjut Alfan, penanganan yang diberikan kepada pasien penderita hidrosefalus berbeda-beda. Apabila penyebab hidrosefalus adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan, maka proses penyembuhannya pun permanen. Penderita hidrosefalus itu memerlukan pemasangan selang yang permanen pada saluran pengantar cairan.

“Harus dipasang selang yang permanen kalau penyebab hidrosefalus itu tidak dapat dihilangkan. Sebaliknya apabila penyebab penyakit itu adalah sesuatu yang dapat dihilangkan, maka tidak perlu pasang selang permanen,” tuturnya.

Alfan menyebut, pada umumnya bayi-bayi yang baru lahir dan mengidap hidrosefanus, kemungkinan besar memerlukan pemasangan selang yang permanen. Selang itu dimasukkan ke dalam ruangan cairan otak, kemudian disimpan di bawah kulit. Tidak kelihatan. Kemudian dimasukkan ke dalam rongga yang dituju. Bisa saja ke dalam rongga perut, atau rongga jantung, atau rongga paru, dan lainnya.

“Jadi modelnya banyak, bukan hanya pasang-pasang selang lalu bisa sembuh, jadi sekompelks itu,” ucapnya. “Selang tersebut aman bagi tubuh karena bahannya terbuat dari silikon yang memang direkomendasikan berdasarkan penelitian dan diterima oleh sebagian besar orang,” tambahnya.

Kendati penggunaan selang tersebut aman, Alfan mengakui masih ada beberapa pasien yang tidak cocok menggunakan selang, yang ditunjukkan dengan adanya reaksi penolakan dari tubuh. “Untuk orang-orang tertentu, ada reaksi penolakan, seperti reaksi alergi, namanya benda asing pasti enggak ada yang 100 persen aman untuk semua orang,” ucapnya.

Bagi pasien-pasien penderita hidrosefanus yang mengalami alergi dengan keberadaan selang di dalam tubuhnya, kata Alfan, selang tersebut harus dilepas. “Kalau memang ada reaksi, ya selang itu memang harus dilepas,” ucapnya.

“Karena memang tubuhnya membutuhkan selang itu, tapi dilepas karena ada reaksi, pelepasan itu bisa kembali lagi seperti proses semula,” imbuhnya.

Terkait dengan ciri-ciri seorang bayi menderita hidrosefanus, Alfan mengatakan, secara klinis (berdasarkan pemeriksaan fisik) seperti tanda-tanda peningkatan tekanan pada otak. Bayi dengan tekanan otak yang tinggi akan disertai dengan ukuran kepala yang membesar, karena tulangnya belum saling mengikat.

“Kalau terjadi peningkatan general atau di lokasi-lokasi tertentu, pasti akan mengakibatkan kelainan bentuk tertentu,” ucapnya.

Selain ciri-ciri klinis, tambah Alfan, pihaknya juga melakukan CT scan kepala. Pengukur acuan untuk seseorang yang menderita hidrosefanus adalah minimal menggunakan CT scan pada kepala. Lebih bagus lagi dengan MRI. Karena tidak semua hidrosefanus atau penumpukan cairan otak ada manfaat untuk pemasangan selang sebagai penanganan kasusnya. Hal itu karena penumpukan cairan otak merupakan sesuatu yang kompleks. Sama-sama penumpukan cairan otak, tapi proses kejadian berbeda.

“Makanya untuk memastikan seorang pasien masih memungkinkan untuk dipasang selang agar membantu kehidupannya atau enggak, minimal harus dilakukan pemeriksaan atau CT scan dahulu,” ucapnya.

Bayi yang berpotensi mengalami hidrosefanus bisa ditebak sejak masih berada dalam kandungan. Karena itu penting bagi ibu hamil untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan selama masa kehamilan dan melakukan USG untuk mengecek kondisi kesehatan bayi yang dikandung.

Baca Juga :  Jalan Poros Basarang-Tahai Jaya Telan Korban Jiwa

“Walaupun memang dengan USG itu tidak bisa memperlihatkan informasi yang terlalu detail tentang kelainannya, tapi setidaknya bisa memperlihatkan bahwa ukuran kepala tidak normal, ruangan cairan otaknya mengalami pelebaran, artinya enggak normal, itu bisa terdeteksi,” jelasnya.

Selanjutnya saat kelahiran, orang tua dapat melihat sendiri ukuran kepala bayi normal atau tidak.

“Ukuran kepala bayi normal itu ada ketentuannya, misalnya 35±1,5, jadi range normalnya itu 33,5 sampai 36,5 cm, range normalnya ukuran kepala bayi lahir gitu,” bebernya.

Jika ukuran kepala bayi tampak besar, maka harus dievaluasi lebih lanjut. Mengingat tidak semua kepala yang besar merupakan hidrosefalus. Apabila kepala besar disertai peningkatan pada tekanan otak, maka bisa saja hidrosefalus. Namun pembuktiannya lewat CT scan. Selanjutnya bisa dievaluasi lagi apakah pembesaran kepala bayi memang normal sesuai usianya atau tidak.

Bagi orang tua yang sudah mengetahui bahwa anaknya menderita hidrosefalus atau kemungkinan besar menderita hidrosefalus, Alfan mengimbau agar secepatnya dibawa ke rumah sakit yang memiliki peralatan CT scan kepala dan dokter bedah syaraf.

“Harus secepatnya. Di Kalteng sementara ini ada dua rumah sakit pemerintah yang memiliki CT scan beserta dokter spesialis, yakni RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya dan RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, sementara untuk rumah sakit swasta hanya RS Siloam,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur RSUD dr Doris Sylvanus drg Yayu Indriaty mengatakan, pihaknya terbuka untuk menerima rujukan pasien hidrosefalus. “Sesuai prinsip RSUD dr Doris Sylvanus yang akan selalu siap menerima rujukan kasus seperti ini,” ucapnya kepada Kalteng Pos lewat WhatsApp, Senin (7/10).

“Tentu saja akan tangani dahulu kegawatannya, perbaikan kondisi umum, dilakukan pemeriksaan lengkap oleh dokter spesialis anak dan dokter bedah saraf, untuk kemudian jika operable akan dijalankan program treatment berikutnya dengan tata kelola terbaik yang bisa diberikan,” jelasnya.

Disinggung terkait penjaminan biaya perawatan pasien selama di RSUD dr Doris Sylvanus, Yayu mengatakan bahwa pihak keluarga pasien tidak perlu mengkhawatirkan pembiayaan, karena pemda melalui program kesehatan memberikan pelayanan khusus bagi masyarakat tidak mampu.

“Dalam setahun ini kami menerima delapan rujukan bayi hidrosefalus, tapi satu orang meninggal dunia,” bebernya.

“Bila menemukan kasus seperti ini, janganlah ditunda, segera rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat, agar sedari dini bisa ditangani dengan baik,” harapnya.

Sejak awal tahun 2022, RSUD dr Doris Sylvanus telah menerima delapan pasien rujukan dengan diagnosis hidrosefalus. Saat ini terdapat tiga pasien penderita hidrosefalus yang tengah dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus. Hal itu dibenarkan Wakil Direktur I RSUD dr Doris Sylvanus, dr Devi Novianti Santoso.

“Ada bayi A yang tanggal masuknya tanggal 4 Oktober, kemudian bayi SH dengan tanggal masuknya tanggal 20 Oktober, lalu yang terbaru adalah bayi AR dengan tanggal masuk tanggal 4 November. “Sejauh ini ketiganya masih dirawat,” ucapnya. (*/ce/ala)

Sejak awal tahun 2022, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Doris Sylvanus Palangka Raya menerima delapan rujukan bayi pengidap hidrosefalus. Satu di antaranya meninggal dunia. Sekarang ada tiga bayi yang sedang menjalani perawatan.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

CITRA Dewi terduduk lesu di Ruang Flamboyan, di samping anaknya yang terbaring dengan infus dan selimut yang mengelilingi sekujur tubuh. Anak bungsu berjenis kelamin laki-laki berinisial AR itu didiagnosis mengidap hidrosefalus. Meski demikian, wanita 31 tahun itu tidak putus asa. Ia meyakini pihak rumah sakit telah bekerja maksimal untuk merawat anaknya yang baru enam bulan terlahir ke dunia.

“Empat bulan yang lalu, waktu umurnya dua bulan, sudah mulai terlihat tanda-tanda hidrosefalus,” tuturnya.

Tak berselang lama setelah tampak tanda-tanda hidrosefalus, bersama sanga suami menyerahkan penanganan kepada pihak Rumah Sakit Kapuas.

“Satu malam dibawa pulang ada perubahan, lalu kemudian dirujuk ke RSUD dr Doris Sylvanus karena alat di Rumah Sakit Kapuas tidak ada, jadi ke sini,” ucap ibu tiga anak itu kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang perawatan anak, Senin (7/11).

Citra mengaku sejauh ini biaya perawatan anaknya ditanggung pemerintah lewat Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sejak pertama kali dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus Jumat kemarin, anaknya langsung dimasukkan ke Unit Gawat Darurat (UGD) untuk selanjutnya diproses setelah bisa masuk ke ruang anak. Menyerahkan anaknya untuk bisa dirawat di rumah sakit berfasilitas lengkap seperti RSUD dr Doris Sylvanus membuat Citra bernapas lega. Makin membesarkan harapan agar anak bungsunya itu bisa beraktivitas seperti bayi pada umumnya. “Mudah-mudahan selamat anakku yang sudah berumur enam bulan ini,” harapnya.

Dokter Alfan Syah Putra Nasution SpBS selaku dokter bedah saraf RSUD dr Doris Sylvanus mengatakan, hidrosefalus merupakan penyakit yang muncul karena terjadi penumpukan cairan otak dalam kuantitas yang tidak normal.

“Hidrosefalus ini karena ada ketidakseimbangan pada jumlah cairan otak. Penyebabnya ada tiga. Yakni produksi yang berlebihan, terjadi sumbatan pada salurannya sehingga cairan tidak mengalir ke tempat semestinya untuk diserap, dan yang terakhir karena penyerapan yang terganggu. Intinya ada ketidakseimbangan antara yang dihasilkan dengan yang diserap,” sebut dr Alfan kepada Kalteng Pos, kemarin.

Ia menjelaskan, hidrosefalus merupakan penyakit bawaan sejak dilahirkan atau bisa juga didapat melalui kasus-kasus tertentu seperti tumor dan pendarahan yang menyebabkan gangguan pada cairan otak atau terkait dengan penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan hidrosefalus. Untuk hidrosefalus yang murni dibawa dari kandungan, ada beberapa hal yang menjadi pemicu. Seperti penyempitan pada saluran-saluran tertentu atau kurang terbentuknya bagian-bagian dan struktur yang membentuk bagian otak selama masa kelahiran.

“Atau produksi cairan yang berlebihan. Hidrosefanus ini kompleks. Jadi hidrosefanus itu boleh dikatakan istilah umum, penyebabnya itu banyak, variasi kasusnya,” tuturnya.

Penyakit ini bisa juga dipicu oleh infeksi selama proses kehamilan, defisiensi zat-zat tertentu seperti asupan yang kurang bagus, dan trauma.

Baca Juga :  Agustiar Sampaikan Belasungkawa, Atas Wafatnya dr Rian Tangkudung dan Mantan Kapolda Kalteng

“Pokoknya selama kandungan ada hal-hal yang enggak maksimal dan mengganggu proses kehamilan, bisa menjadi pemicu terjadinya hidrosefalus,” jelasnya.

Begitu kompleksnya penyakit ini, lanjut Alfan, penanganan yang diberikan kepada pasien penderita hidrosefalus berbeda-beda. Apabila penyebab hidrosefalus adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan, maka proses penyembuhannya pun permanen. Penderita hidrosefalus itu memerlukan pemasangan selang yang permanen pada saluran pengantar cairan.

“Harus dipasang selang yang permanen kalau penyebab hidrosefalus itu tidak dapat dihilangkan. Sebaliknya apabila penyebab penyakit itu adalah sesuatu yang dapat dihilangkan, maka tidak perlu pasang selang permanen,” tuturnya.

Alfan menyebut, pada umumnya bayi-bayi yang baru lahir dan mengidap hidrosefanus, kemungkinan besar memerlukan pemasangan selang yang permanen. Selang itu dimasukkan ke dalam ruangan cairan otak, kemudian disimpan di bawah kulit. Tidak kelihatan. Kemudian dimasukkan ke dalam rongga yang dituju. Bisa saja ke dalam rongga perut, atau rongga jantung, atau rongga paru, dan lainnya.

“Jadi modelnya banyak, bukan hanya pasang-pasang selang lalu bisa sembuh, jadi sekompelks itu,” ucapnya. “Selang tersebut aman bagi tubuh karena bahannya terbuat dari silikon yang memang direkomendasikan berdasarkan penelitian dan diterima oleh sebagian besar orang,” tambahnya.

Kendati penggunaan selang tersebut aman, Alfan mengakui masih ada beberapa pasien yang tidak cocok menggunakan selang, yang ditunjukkan dengan adanya reaksi penolakan dari tubuh. “Untuk orang-orang tertentu, ada reaksi penolakan, seperti reaksi alergi, namanya benda asing pasti enggak ada yang 100 persen aman untuk semua orang,” ucapnya.

Bagi pasien-pasien penderita hidrosefanus yang mengalami alergi dengan keberadaan selang di dalam tubuhnya, kata Alfan, selang tersebut harus dilepas. “Kalau memang ada reaksi, ya selang itu memang harus dilepas,” ucapnya.

“Karena memang tubuhnya membutuhkan selang itu, tapi dilepas karena ada reaksi, pelepasan itu bisa kembali lagi seperti proses semula,” imbuhnya.

Terkait dengan ciri-ciri seorang bayi menderita hidrosefanus, Alfan mengatakan, secara klinis (berdasarkan pemeriksaan fisik) seperti tanda-tanda peningkatan tekanan pada otak. Bayi dengan tekanan otak yang tinggi akan disertai dengan ukuran kepala yang membesar, karena tulangnya belum saling mengikat.

“Kalau terjadi peningkatan general atau di lokasi-lokasi tertentu, pasti akan mengakibatkan kelainan bentuk tertentu,” ucapnya.

Selain ciri-ciri klinis, tambah Alfan, pihaknya juga melakukan CT scan kepala. Pengukur acuan untuk seseorang yang menderita hidrosefanus adalah minimal menggunakan CT scan pada kepala. Lebih bagus lagi dengan MRI. Karena tidak semua hidrosefanus atau penumpukan cairan otak ada manfaat untuk pemasangan selang sebagai penanganan kasusnya. Hal itu karena penumpukan cairan otak merupakan sesuatu yang kompleks. Sama-sama penumpukan cairan otak, tapi proses kejadian berbeda.

“Makanya untuk memastikan seorang pasien masih memungkinkan untuk dipasang selang agar membantu kehidupannya atau enggak, minimal harus dilakukan pemeriksaan atau CT scan dahulu,” ucapnya.

Bayi yang berpotensi mengalami hidrosefanus bisa ditebak sejak masih berada dalam kandungan. Karena itu penting bagi ibu hamil untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan selama masa kehamilan dan melakukan USG untuk mengecek kondisi kesehatan bayi yang dikandung.

Baca Juga :  Jalan Poros Basarang-Tahai Jaya Telan Korban Jiwa

“Walaupun memang dengan USG itu tidak bisa memperlihatkan informasi yang terlalu detail tentang kelainannya, tapi setidaknya bisa memperlihatkan bahwa ukuran kepala tidak normal, ruangan cairan otaknya mengalami pelebaran, artinya enggak normal, itu bisa terdeteksi,” jelasnya.

Selanjutnya saat kelahiran, orang tua dapat melihat sendiri ukuran kepala bayi normal atau tidak.

“Ukuran kepala bayi normal itu ada ketentuannya, misalnya 35±1,5, jadi range normalnya itu 33,5 sampai 36,5 cm, range normalnya ukuran kepala bayi lahir gitu,” bebernya.

Jika ukuran kepala bayi tampak besar, maka harus dievaluasi lebih lanjut. Mengingat tidak semua kepala yang besar merupakan hidrosefalus. Apabila kepala besar disertai peningkatan pada tekanan otak, maka bisa saja hidrosefalus. Namun pembuktiannya lewat CT scan. Selanjutnya bisa dievaluasi lagi apakah pembesaran kepala bayi memang normal sesuai usianya atau tidak.

Bagi orang tua yang sudah mengetahui bahwa anaknya menderita hidrosefalus atau kemungkinan besar menderita hidrosefalus, Alfan mengimbau agar secepatnya dibawa ke rumah sakit yang memiliki peralatan CT scan kepala dan dokter bedah syaraf.

“Harus secepatnya. Di Kalteng sementara ini ada dua rumah sakit pemerintah yang memiliki CT scan beserta dokter spesialis, yakni RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya dan RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, sementara untuk rumah sakit swasta hanya RS Siloam,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur RSUD dr Doris Sylvanus drg Yayu Indriaty mengatakan, pihaknya terbuka untuk menerima rujukan pasien hidrosefalus. “Sesuai prinsip RSUD dr Doris Sylvanus yang akan selalu siap menerima rujukan kasus seperti ini,” ucapnya kepada Kalteng Pos lewat WhatsApp, Senin (7/10).

“Tentu saja akan tangani dahulu kegawatannya, perbaikan kondisi umum, dilakukan pemeriksaan lengkap oleh dokter spesialis anak dan dokter bedah saraf, untuk kemudian jika operable akan dijalankan program treatment berikutnya dengan tata kelola terbaik yang bisa diberikan,” jelasnya.

Disinggung terkait penjaminan biaya perawatan pasien selama di RSUD dr Doris Sylvanus, Yayu mengatakan bahwa pihak keluarga pasien tidak perlu mengkhawatirkan pembiayaan, karena pemda melalui program kesehatan memberikan pelayanan khusus bagi masyarakat tidak mampu.

“Dalam setahun ini kami menerima delapan rujukan bayi hidrosefalus, tapi satu orang meninggal dunia,” bebernya.

“Bila menemukan kasus seperti ini, janganlah ditunda, segera rujuk ke fasilitas kesehatan terdekat, agar sedari dini bisa ditangani dengan baik,” harapnya.

Sejak awal tahun 2022, RSUD dr Doris Sylvanus telah menerima delapan pasien rujukan dengan diagnosis hidrosefalus. Saat ini terdapat tiga pasien penderita hidrosefalus yang tengah dirawat di RSUD dr Doris Sylvanus. Hal itu dibenarkan Wakil Direktur I RSUD dr Doris Sylvanus, dr Devi Novianti Santoso.

“Ada bayi A yang tanggal masuknya tanggal 4 Oktober, kemudian bayi SH dengan tanggal masuknya tanggal 20 Oktober, lalu yang terbaru adalah bayi AR dengan tanggal masuk tanggal 4 November. “Sejauh ini ketiganya masih dirawat,” ucapnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/