PALANGKA RAYA-Relokasi permukiman merupakan hal urgen sekaligus menjadi solusi tunggal untuk mengatasi ablasi di wilayah permukiman warga tepian atau bantaran Sungai Kahayan. Sejauh ini belum ada cara untuk membuat permukiman di bantaran sungai itu layak huni. Dari aspek lingkungan dan kesehatan, bantaran sungai bukanlah tempat yang layak dijadikan permukiman. Jika terus dibiarkan, masyarakatlah yang akan mendapatkan masalah, baik masalah kesehatan maupun ancaman ablasi yang dapat terjadi kapan saja.
Melihat permasalahan ini, Sri Mujiarti Ulfah SSos MAP selaku pengamat kemasyarakatan memberi saran dan masukan kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan. Dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas Palangka Raya (UPR) itu mengatakan, permasalahan permukiman di bantaran sungai memang perlu dikaji lebih dalam. Tidak hanya aspek lingkungan dan kesehatan, tapi juga aspek sosial dan budaya masyarakat.
“Kita bisa melihat, masalah yang dihadapi masyarakat di sana bukan hanya ancaman ablasi, tapi juga masalah sampah dan pola hidup atau sanitasi, itu juga memengaruhi kualitas sungai,” kata Ulfah kepada Kalteng Pos, Rabu (4/1).
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah sosialisasi kepada masyarakat soal aturan mengenai wilayah bantaran sungai. Bahwa wilayah bantaran sungai sepanjang 100 meter pada kiri dan kanan harus dijaga dan bebas dari permukiman.
“Kalau kebijakan itu sudah ada, tinggal menyosialisasikan kepada masyarakat. Karena bagaimanapun, ketika ada kebijakan yang seharusnya sudah kita anggap bisa memberikan solusi, itu harus segera disosialisasikan kepada masyarakat yang bersentuhan dengan kebijakan itu,” jelasnya.
Upaya sosialisasi itu tidak bisa hanya dilakukan satu arah, seperti dengan pengadaan spanduk atau bentuk komunikasi satu arah lainnya, tetapi harus menyediakan pola komunikasi yang lebih terbuka dan dua arah, melibatkan seluruh unsur masyarakat.
“Pemerintah bisa melibatkan semua unsur seperti ketua RT dan tokoh masyarakat tingkat kelurahan, jadi bisa menerapkan pola komunikasi yang bijak di tengah masyarakat,” tuturnya.
Pemangku kebijakan perlu mempertimbagkan alasan masyarakat menetap di wilayah bantaran sungai. Melihat dari kondisi ekonomi yang rata-rata berada di kelas menengah ke bawah, boleh jadi alasan menetap di bantaran sungai adalah karena keterbatasan ekonomi. Hal itu mesti jadi pertimbangan pemerintah.
“Yang saya tahu masyarakat yang tinggal di sana karena akses ke sungai itu mudah, mereka mudah mendapatkan apa saja di sana, lagi-lagi karena keterbatasan ekonomi, itulah kondisi masyarakat kita yang harus menjadi bahan pertimbangan,” jelasnya.
Karena itu perlu dibangun pola komunikasi yang humanis dengan masyarakat. Dipertimbangkan berdasarkan kondisi kehidupan mereka yang tinggal di wilayah bantaran sungai. Tidak serta-merta menerapkan kebijakan relokasi tanpa mempertimbangkan aspek sosial masyarakat.
“Jadi tidak bisa ujug-ujug relokasi, kalian digusur ya, segini saya kasih duit, tidak akan cukup seperti itu, harus membangun komunikasi yang baik,” tuturnya.
Upaya membangun komunikasi yang baik juga harus diiringi dengan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan dan kesehatan. Masyarakat diberi pemahaman soal bahaya ablasi.
Selain itu, lanjut Ulfah, jika seandainya kebijakan relokasi direalisasikam, pemerintah harus menyiapkan dan memikirkan mata pencaharian masyarakat setelah direlokasi, mengingat mayoritas bergantung pada sungai untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Pemerintah juga harus memikirkan supaya mereka bisa berdiri di kaki mereka sendiri, karena kita harus paham bahwa komposisi masyarakat kita itu ada yang mampu, memiliki keterampilan tingkat tinggi, sedang, sampai ada yang tidak mampu,” jelasnya.
Ulfah menegaskan bahwa relokasi tak sesederhana pindah permukiman dari satu lokasi ke lokasi lain. Harus mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi. Ketika masyarakat “dipaksa” berpindah dan meninggalkan nilai-nilai yang selama ini melekat pada mereka, maka pemerintah harus menyiapkan pengganti nilai-nilai itu sehingga mereka dapat kembali menjalani kehidupan seperti sedia kala, meski sudah berpindah tempat tinggal.
“Seperti kepastian untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan pangan, itu harus diperhatikan, jangan memindahkan orangnya saja, tapi kemiskinannya enggak, atau lokasi kumuhnya enggak, itu bahaya,” ujarnya.
“Harus ada edukasi untuk mengubah mindset masyarakat ke arah yang lebih baik,” tambahnya.
Solusi praktis yang diajukan Ulfah yakni penyediaan lahan yang sudah disubsidi, mengingat sebagian warga tidak memiliki lahan pribadi untuk membangun hunian.
“Pemerintah juga perlu memikirkan subsidi lahan untuk masyarakat, subsidi lahan untuk dibangun rumah,” tuturnya.
Tak hanya sampai di situ, ketika lahan sudah tersedia, pemangku kepentingan pun perlu memikirkan apakah warga bersangkutan mampu atau tidak membangun rumah sendiri. “Kalau tidak mampu bangun rumah sendiri, pemerintah mestinya bantu, bisa dengan cara diberi subsidi,” tambahnya.
Jangan sampai ketika kebijakan relokasi direalisasikan, justru memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Jika ingin mewujudkan relokasi permukiman, mesti ada pendekatan melalui komunikasi yang bijak dan edukatif kepada masyarakat.
“Posisikan masyarakat itu yang harus diayomi, dijaga, sehingga pemerintah bisa mengambil keputusan yang tepat, di samping secara terus-menerus memberi edukasi,” tandasnya. (dan/ce/ala)