PALANGKA RAYA-Masyarakat Dayak punya banyak alat tradisional untuk menangkap ikan. Salah satunya mihing. Penangkap ikan ramah lingkungan ini, dahulu sering digunakan masyarakat Dayak Ngaju yang bermukim di tepian Sungai Kahayan. Sayangnya, kini alat menangkap ikan khas suku Dayak tersebut tinggal kenangan.
Untuk mengenang keunikan alat menangkap ikan khas suku Dayak ini, ada satu miniatur yang dipajang di lantai II Museum Balanga, Jalan Tjilik Riwut Km 2, Kota Palangka Raya. Tujuannya untuk mengingatkan generasi muda bahwa suku Dayak pernah memiliki alat tradisional menangkap ikan yang unik dan ramah lingkungan.
Selain dalam bentuk miniatur, keunikan alat tradisional tangkap ikan ini juga dibukukan dengan judul Mengenal Koleksi Mihing. Buku ini ditulis oleh tim dari Museum Balanga.
Pada bagian belakang mihing terdapat satu bagian yang disebut suling riwut. Ketika suling riwut ini tertiup angin, akan mengeluarkan suara merdu mengalun untuk memanggil ikan dari berbagai tempat.
Menurut seorang tokoh Dayak Ngaju, Damelsun, bagi orang suku Dayak Ngaju, mihing bukan sekadar alat penangkap ikan. “Bagi sebagian orang, mihing itu hanyalah alat tangkap ikan, padahal bukan seperti itu, mihing itu alat memanggil ikan,” ucap pria berusia 61 tahun itu kepada Kalteng Pos, belum lama ini.
Pensiunan aparatur sipil negara (ASN) yang pernah bekerja di Museum Balanga ini mengungkapkan, meski bentuk fisik mihing masih bisa dilihat, tapi penggunaannya sudah jarang. Belum pernah ada warga Dayak yang menggunakan alat ini untuk menangkap ikan. Pasalnya, selain pembuat alat itu yang jarang ditemui lagi, proses pembuatannya pun cukup sulit. Hanya orang yang memiliki keahlian dasar yang bisa membuatnya. Harus paham jenis-jenis kayu, rotan, dan bambu yang bisa dijadikan bahan pembuatan. Seperti kayu kaja, kayu pejunjung, dan kayu tawe.
“Selain itu, pada proses pembuatan, si pembuat harus menghindari beberapa pertentangan dengan kepercayaan masyarakat Dayak. Makanya pembuatan alat ini tinggal sejarah saja, karena orang bisa membuat itu sudah lama tidak ada, kita hanya bisa melihat peninggalannya saja,” ucap Damelsun yang saat masih aktif bekerja di Museum Balanga memiliki tugas khusus mempelajari perihal mihing.
Sebagai orang Dayak Ngaju, Damelsun mengaku bangga dengan adanya alat tradisional tersebut. Alat ini menjadi bukti bagaimana kearifan leluhur masyarakat Dayak dalam menangkap ikan yang sangat ramah lingkungan.
Sementara itu, salah satu pegawai Bidang Penyajian Tata Pameran dan Pelayanan Museum Balanga, Jimmy mengatakan, mihing hanya bisa digunakan di sepanjang aliran Sungai Kahayan.
“Sekarang sudah tidak ada lagi yang gunakan alat itu. Di samping karena zaman sudah berubah, orang yang mampu membuatnya pun sudah lama meninggal, sekitar tahun 1960-an lalu,” ucap Jimmy.
Dikatakannya, pembuatan mihing ini dilakukan di tempat tersembunyi. Tidak boleh ada yang melihat prosesnya. Pasalnya, ada ritual khusus dalam proses itu. Bahkan jika dalam pembuatan melibatkan perempuan, maka harus dalam kondisi bersih alias tidak sedang datang bulan (menstruasi, red).
“Karena itulah mihing tidak diproduksi secara massal, karena pembuatannya tidak sembarangan orang bisa, saya pun sedang mencari info soal itu (proses pembuatan),” tutur Jimmy.
Sejarah Mihing Diabadikan dalam Buku
Selain diabadikan di Museum Balanga, sejarah serta seluk-beluk mihing juga termaktub dalam buku berjudul Mengenal Koleksi Mihing (Alat Tradisional Penangkap Ikan). Buku ini disusun tahun 1999/2000 oleh enam orang, yakni Muhammad Yadi, Yemina Yulita, Erni Lambung, Rustinah, Yutati, dan Helisini Hallis. Buku itu merupakan buku langka yang berisi sejarah mihing, alat tradisional menangkap ikan yang hampir terlupakan.
Kalteng Pos berkesempatan mewawancarai Yemina Yulita, salah satu penyusun buku itu. Wanita yang saat ini bekerja sebagai pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Kalteng membenarkan keterlibatannya dalam penyusunan buku langka tersebut. Kala itu ia masih bekerja sebagai pegawai di Museum Balanga.
Yemina mengingat masa-masa ketika menyusun buku tersebut bersama tim. Waktu ia dan tim ingin membuat replika koleksi mihing sebagai bagian dari proses penyusunan buku, ada ritual-ritual khusus yang harus dilakukan. Melalui serangkaian ritual bersama dengan masyarakat setempat di daerah Gunung Mas (lokasi asal mihing), ia dan tim mencari tahu bagaimana mihing bisa ada di Kalteng, serta seluk-beluk dan cara penggunaannya. Wanita bersuara serak itu mengaku, proses pengumpulan data-data melalui wawancara dengan warga setempat, baik para tokoh adat maupun tokoh agama.
“Kan tiap benda yang kami pamerkan itu harus ada informasinya, nah makanya tergerak hati saya waktu itu untuk menyusun buku tentang mihing, karena tidak banyak orang yang tahu tentang sejarah mihing,” bebernya kepada Kalteng Pos, belum lama ini.
Alasan penyusunan buku tersebut, lanjut Yemina, bukan hanya untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait mihing, tapi juga memberikan gambaran kepada masyarakat seperti apa benda tersebut. Diharapkan masyarakat benar-benar melihat secara nyata, sehingga tidak beranggapan benda tersebut hanyalah mitos belaka.
“Mihing ini adalah salah satu yang menunjukkan keunikan yang memang pernah ada di Kalteng, ini bukan mitos, tapi ini betul-betul legenda, legenda yang pernah ada,” ujarnya.
Fakta menarik juga terdapat di luar buku. Yemina mengatakan, mihing memiliki daya tarik magis yang dipercaya oleh masyarakat zaman dahulu dapat memberi kesejahteraan melalui komunikasi dengan orang dari alam gaib. Jika seseorang ingin membuat mihing sendiri, dikatakan Yemina, banyak aturan magis yang harus dipenuhi. Kesucian diri menjadi syarat mutlak jika ingin memiliki benda bersejarah dengan nilai sakral tinggi itu.
Menurut Yemina, mihing merupakan alat tangkap ikan skala besar. Sekali pasang, mampu menampung ikan dalam jumlah banyak. Lantas, mungkinkah mihing masih bisa digunakan kembali pada masa kini?
“Mungkin saja. Dengan konstruksi demikian, mihing dapat menangkap ikan dalam jumlah besar, tapi tetap ramah lingkungan,” ucapnya.
Akan tetapi, Yemina menyarankan agar alat tersebut tidak digunakan lagi karena hanya akan menciptakan keserakahan bagi manusia yang menggunakan. Selain itu, apabila desain yang diterapkan tidak tepat, alih-alih mendapat ikan, bisa saja justru buaya atau binatang besar lain yang didapatkan.
“Nanti bisa habis-habisan orang mengambil ikan di sungai. Pas habis nanti ikannya, bagaimana? Karena yang kami dengar itu, sekali dapat saja, sudah bisa mencukupi kebutuhan beberapa orang di kampung,” jelasnya.
Apabila ada yang punya keinginan membuat mihing, lanjutnya, harus memiliki hati nurani yang bersih agar tidak jatuh dalam jurang keserakahan. Karena itulah sebaiknya mihing dimuseumkan dan dijadikan simbol kebudayaan. Mihing merupakan keunikan yang tiada duanya. Sama seperti burung antang.
Yemina menegaskan, keberadaan mihing tetap harus dilestarikan dengan memproduksinya dalam jumlah banyak. Bukan dijadikan sebagai alat menangkap ikan, melainkan digunakan pada pertunjukan-pertunjukan berkonteks seni daerah.
“Di dunia ini enggak ada, selain di Kalimantan Tengah. Sebenarnya bisa jadi salah satu daya tarik untuk mendatangkan wisatawan,” ucapnya.
Mengenai buku tentang Mihing yang telah disusun bersama rekan-rekannya, Yemina mengatakan, sudah sepatutnya buku itu diperbanyak, agar makin luas jangkauan pembaca, sehingga masyarakat tidak lagi mengira mihing hanyalah mitos. Masyarakat akan mengerti bahwa mihing benar-benar ada dan punya nilai sejarah.
Sementara itu, Kepala Museum Balanga Hartini mengungkapkan, miniatur benda bersejarah tersebut memang terpajang di Museum Balanga, lantai 2, bagian koleksi kebudayaan benda khas Dayak. Saat Kalteng Pos melihat langsung miniatur itu, ternyata sebesar perahu berukuran sedang. Berdasarkan buku Mengenal Koleksi Mihing (Alat Tradisional Penangkap Ikan), ukuran aslinya adalah 7 depa lebar dan 70 depa panjang. Satu depa setara 1,8288 meter.
“Ukuran asli lebih besar dari miniatur yang ada di museum ini. Menurut sejarah, mihing merupakan alat penangkap ikan dalam jumlah besar yang diletakkan melintang selebar sungai, seperti selebar Sungai Kahayan,” ucap Hartini.
Mihing menjadi salah satu simpanan museum yang banyak menarik minat pengunjung. Saban hari, lanjut Hartini, jika ada pengunjung yang bertandang ke Museum Balanga dan melihat mihing, selalu ada pertanyaan-pertanyaan menarik yang diajukan seputar benda bersejarah itu. Tak heran, para pemandu harus mengkhatamkan buku Mengenal Koleksi Mihing (Alat Tradisional Penangkap Ikan) untuk memberikan penjelasan detail mengenai mihing kepada pengunjung.
Hartini sangat mendukung tamu museum dapat melihat lebih saksama dan lebih mendalam tentang mihing. Alat menangkap ikan bersejarah itu sudah sepatutnya dikenal secara luas, bukan hanya sebagai alat pencari ikan tradisional, tapi juga sebagai benda bersejarah yang di dalamnya tersimpan nilai kearifan lokal. (dan/irj/uni/ce/ala)