Jumat, September 20, 2024
22.8 C
Palangkaraya

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Palangka Raya

Akar Budaya Berladang Bawi Dayak Mulai Tergerus

Secara historis, berladang atau manugal merupakan cara alami masyarakat Dayak memenuhi kebutuhan pangan. Aktivitas ini tidak lepas dari peran perempuan. Konsep ini sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Namun perlahan tergerus oleh kebijakan pemerintah yang dinilai tak memihak.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

SAYURAN hasil hutan berjejer di atas meja berbentuk segi empat. Ada keladi, rimbang, labu putih, salak hutan, singkah umbut, rebung, dan terung pipit. Semuanya masih segar. Dipetik dari hutan di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

HASIL HUTAN: Warga dari desa di pelosok Kalteng menunjukkan hasil hutan. FOTO: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Dua orang wanita paruh baya, Sri dan Remi, terlihat berdiri santai sembari menjaga sayuran itu. Sesekali menjelaskan kepada pengunjung nama dan asal muasal sayuran yang disajikan pada pameran peringatan Hari Perempuan Sedunia di Palangka Raya, Minggu (13/3). Keduanya diundang sebagai narasumber pameran yang mengangkat tema Mewujudkan Kedaulatan Pangan Perempuan itu.

Tangan Remi begitu lincah menata sayuran itu. Sesekali menggenggam beberapa jenis sayur dan menjelaskan manfaatnya. Begitu lugas menjelaskan asal muasal sayuran.

Remi merupakan satu dari sekian ribu perempuan (bawi) Dayak di daerah pelosok yang kehidupannya tidak bisa jauh dari hutan. Bagi perempuan 46 tahun itu, hutan adalah tempat mengais berbagai penghidupan, utamanya sumber pangan. Namun pandangan itu tidak lantas menjadikannya rakus dan tamak terhadap hasil-hasil hutan. Sebab, eksistensi hutan sebagai sumber penghidupan juga harus dihormati dan dihargai.

Baca Juga :  Resep Bumbu Ikan Basamu Didapat Turun Temurun

Hutan adalah sumber pangan lokal. Hamparan luas untuk mewujudkan kemandirian pangan keluarga. Perempuan seperti Remi adalah penyokongnya. Remi merupakan tulang punggung dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Sayangnya eksistensi pangan lokal itu mulai tergerus. Bukan salah Remi, melainkan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi Remi dan perempuan desa lain mengais kebutuhan pangan.

“Sebagian dari kami masih mengonsumsi pangan lokal, seperti umbut singkah dan lainnya yang menggunakan pangan lokal sebagai bahan utama,” ungkap Remi saat berbincang-bincang dengan wartawan.

Jalan pangan Remi dan bawi Dayak lain dalam memperkuat sumber pangan keluarga tidak hanya dari mencari sayur-mayur hasil hutan, melainkan juga bahan pokok utama, yakni beras yang didapat dari hasil berladang. Namun saat ini mereka tidak bisa memenuhi lumbung beras sebagai pangan utama keluarga.

 

“Untuk sayur-mayur masih bisa dapat dari hutan, tapi kalau untuk pangan lain seperti beras, saat ini sudah enggak bisa lagi berladang, karena ada larangan membakar hutan, sudah tiga tahun terakhir kami enggak membuka ladang,” keluh Remi.

Baca Juga :  Warga OT Danum: Kita Bisa Bekerja Sama Membangun Kalteng

“Bahkan bibit lokal sudah hilang, enggak ada lagi, seperti bibit padi gunung,” bebernya.

Dalam memenuhi kebutuhan beras rumah tangga, Remi harus mengubah pola dengan membeli dari orang lain. Kemandirian pangan keluarga perlahan menghilang. Imbas dari visi modernisasi pemerintah yang latah, Remi harus menyudahi berladang yang sudah dilakukannya sejak berusia 10 tahun, yang diajarkan turun-temurun dalam keluarga.

“Walau sekarang serbamodern, tidak ada bahan makanan yang bisa jadi pengganti beras. Kalau dulu kami bisa mandiri dengan berladang, bisa menghasilkan banyak beras untuk stok yang cukup lama, tapi sekarang kami harus menyisihkan uang untuk beli beras,” tuturnya.

Kini Remi dan perempuan lain yang hidup di Desa Mantangai Hulu tak bisa lagi berladang. Lahan yang mereka miliki turun-temurun sudah berubah menjadi semak belukar. Kemandirian pangan keluarga sedikit goyah. Kondisi ini juga menyebabkan kegamangan masyarakat desa dalam pelestarian pangan lokal. Anak-anak muda kini enggan mengonsumsi makanan lokal.

“Sagu dan singkong juga kerap kami makan di kampung, tapi anak-anak di desa kami sekarang sudah tidak mau makan sagu dan singkong, cuman kami yang tua ini saja yang mau makan makanan lokal,” tuturnya.

Secara historis, berladang atau manugal merupakan cara alami masyarakat Dayak memenuhi kebutuhan pangan. Aktivitas ini tidak lepas dari peran perempuan. Konsep ini sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Namun perlahan tergerus oleh kebijakan pemerintah yang dinilai tak memihak.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

SAYURAN hasil hutan berjejer di atas meja berbentuk segi empat. Ada keladi, rimbang, labu putih, salak hutan, singkah umbut, rebung, dan terung pipit. Semuanya masih segar. Dipetik dari hutan di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas.

HASIL HUTAN: Warga dari desa di pelosok Kalteng menunjukkan hasil hutan. FOTO: ARIEF PRATHAMA/KALTENG POS

Dua orang wanita paruh baya, Sri dan Remi, terlihat berdiri santai sembari menjaga sayuran itu. Sesekali menjelaskan kepada pengunjung nama dan asal muasal sayuran yang disajikan pada pameran peringatan Hari Perempuan Sedunia di Palangka Raya, Minggu (13/3). Keduanya diundang sebagai narasumber pameran yang mengangkat tema Mewujudkan Kedaulatan Pangan Perempuan itu.

Tangan Remi begitu lincah menata sayuran itu. Sesekali menggenggam beberapa jenis sayur dan menjelaskan manfaatnya. Begitu lugas menjelaskan asal muasal sayuran.

Remi merupakan satu dari sekian ribu perempuan (bawi) Dayak di daerah pelosok yang kehidupannya tidak bisa jauh dari hutan. Bagi perempuan 46 tahun itu, hutan adalah tempat mengais berbagai penghidupan, utamanya sumber pangan. Namun pandangan itu tidak lantas menjadikannya rakus dan tamak terhadap hasil-hasil hutan. Sebab, eksistensi hutan sebagai sumber penghidupan juga harus dihormati dan dihargai.

Baca Juga :  Resep Bumbu Ikan Basamu Didapat Turun Temurun

Hutan adalah sumber pangan lokal. Hamparan luas untuk mewujudkan kemandirian pangan keluarga. Perempuan seperti Remi adalah penyokongnya. Remi merupakan tulang punggung dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Sayangnya eksistensi pangan lokal itu mulai tergerus. Bukan salah Remi, melainkan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi Remi dan perempuan desa lain mengais kebutuhan pangan.

“Sebagian dari kami masih mengonsumsi pangan lokal, seperti umbut singkah dan lainnya yang menggunakan pangan lokal sebagai bahan utama,” ungkap Remi saat berbincang-bincang dengan wartawan.

Jalan pangan Remi dan bawi Dayak lain dalam memperkuat sumber pangan keluarga tidak hanya dari mencari sayur-mayur hasil hutan, melainkan juga bahan pokok utama, yakni beras yang didapat dari hasil berladang. Namun saat ini mereka tidak bisa memenuhi lumbung beras sebagai pangan utama keluarga.

 

“Untuk sayur-mayur masih bisa dapat dari hutan, tapi kalau untuk pangan lain seperti beras, saat ini sudah enggak bisa lagi berladang, karena ada larangan membakar hutan, sudah tiga tahun terakhir kami enggak membuka ladang,” keluh Remi.

Baca Juga :  Warga OT Danum: Kita Bisa Bekerja Sama Membangun Kalteng

“Bahkan bibit lokal sudah hilang, enggak ada lagi, seperti bibit padi gunung,” bebernya.

Dalam memenuhi kebutuhan beras rumah tangga, Remi harus mengubah pola dengan membeli dari orang lain. Kemandirian pangan keluarga perlahan menghilang. Imbas dari visi modernisasi pemerintah yang latah, Remi harus menyudahi berladang yang sudah dilakukannya sejak berusia 10 tahun, yang diajarkan turun-temurun dalam keluarga.

“Walau sekarang serbamodern, tidak ada bahan makanan yang bisa jadi pengganti beras. Kalau dulu kami bisa mandiri dengan berladang, bisa menghasilkan banyak beras untuk stok yang cukup lama, tapi sekarang kami harus menyisihkan uang untuk beli beras,” tuturnya.

Kini Remi dan perempuan lain yang hidup di Desa Mantangai Hulu tak bisa lagi berladang. Lahan yang mereka miliki turun-temurun sudah berubah menjadi semak belukar. Kemandirian pangan keluarga sedikit goyah. Kondisi ini juga menyebabkan kegamangan masyarakat desa dalam pelestarian pangan lokal. Anak-anak muda kini enggan mengonsumsi makanan lokal.

“Sagu dan singkong juga kerap kami makan di kampung, tapi anak-anak di desa kami sekarang sudah tidak mau makan sagu dan singkong, cuman kami yang tua ini saja yang mau makan makanan lokal,” tuturnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/