Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Mengenang H Muhammad Qurthubi, Ulama Karismatik yang Wafat di Kota Cantik (1)

Pernah Dituduh Ajarkan Aliran Sesat, Salat Istikharah sebelum Hijrah

Nama H Muhammad Qurthubi bin Khalid sangat familiar di Bumi Tambun Bungai. Ulama karismatik ini lahir di Desa Panyiuran, Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sang guru tak kenal lelah dalam berdakwah menyebarkan tarekat Junaidiyah sampai ke wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng).

IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

MUHAMMAD Qurthubi bin Khalid lahir tahun 1927 di Kabupaten Hulu Sungati Utara. Ayahnya bernama Khalid dan ibunya bernama Naluh. Guru Qurthubi menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Qurthubi kecil dibimbing oleh orang tua dan guru-gurunya. Tak heran pada usia 10 tahun ia sudah bisa membaca Al-Qur’an secara baik dan mengajarkannya kepada teman-teman sebaya.

Memasuki usia 12 tahun, Qurthubi mulai belajar ilmu-ilmu agama seperti fiqih dan nahwu shorof melalui bimbingan tuan guru Abdul Hamid. Oleh gurunya itu, kemudian Qurthubi diserahkan kepada ulama lain di kampungnya, tuan guru Asmaran, untuk melengkapi pengetahuan agamanya seperti balaghah, mantiq, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits.

Perjalanan intelektualnya berpuncak pada saat berguru kepada tuan guru H Kaspul Anwar Firdaus, khalifah Tarekat Junaidiyah. Tahun 1960, Qurthubi pertama kali mengambil baiat Tarekat Junaidiyah. Saat itu usianya 29 tahun. Tidak lama setelah berbaiat, Qurthubi menerima bimbingan ilmu/amaliah thariqah al-üla dan menjalani riyadlah as-sughrá (rabithah, murâqabah, dan musyahadah) selama delapan tahun lamanya (hingga usia 37 tahun).

Pada tahun yang sama, Ayah Qurthubi -panggilan akrab para murid kepada HM Qurthubi- menjalani tahap bimbingan selanjutnya selama tiga tahun, yakni thariqah al-wushthâ dengan maqam riyâdlah al-kubrä (muqabalah dan mukâfahah). Genap berusia 40 tahun, Ayah Qurthubi menapaki tahap terakhir bimbingan dalam Thariqah Junaidiyah, yaitu martabah thariqah al-qushwa dengan maqam riyadlah al-ghâyah.

Rangkaian riyadlah yang dijalaninya selama rentang waktu kurang lebih sebelas tahun itu diselesaikan tepat pada hari Kamis pukul 17.00 WITA, akhir bulan Muharram 1395 Hijriah. Dengan demikian Ayah Qurthubi menerima pelimpahan tugas sebagai khalifah Tarekat Junaidiyah. Sehari berikutnya atau 14 Februari 1975 atau 1 Safar 1395, Guru Kaspul mengembuskan napas terakhir pada usia 62 tahun dan dimakamkan di kampung halamannya, Desa Banua Hanyar.

Setelah kepemimpinan Tarekat Junaidiyah berada di tangan Ayah Qurthubi, pusat kegiatan dialihkan ke kampung halamannya, Desa Cempaka, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kala itu Tarekat Junaidiyah berkembang pesat. Murid-murid berdatangan dari berbagal daerah. Tidak hanya dari wilayah Kecamatan Amuntai, tapi juga dari berbagai pelosok Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kota Banjarmasin, hingga Kalteng.

Seiring kemajuan, rintangan pun selalu menyertai perjuangan dakwah Tarekat Junaidiyah. Baik yang berasal dari luar maupun internal Tarekat Junaidiyah. Baik yang menyangkut aktivitas dakwah maupun rumah tangga terekat. Tahun 1989 misalnya, terbit surat keputusan dari MUI Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara yang menyatakan Tarekat Junaidiyah sebagai ajaran sesat. Ayah Qurthubi sempat menjadi tahanan rumah selama 12 hari atas tuduhan aktivitas-aktivitas yang mencurigakan.

Meski demikian, satu per satu rintangan itu bisa dilewati. Tarekat Junaidiyah menyebar pesat di Kalsel, daerah-daerah lain di Kalimantan, bahkan hingga Pulau Jawa. Keberadaan Tarekat Junaidiyah makin diakui sebagaimana tarekat-tarekat lain yang lebih dahulu eksis di Kalsel, seperti Qadiriyah, Nasyabandiyah, Sadziliyah, dan Sammaniyah.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

Hijrahnya seorang guru Tarekat Junaidiyah ke Kota Palangka Raya bukan tanpa alasan. Hal itu dilakukan atas permintaan para muridnya setelah guru Mukhtar wafat. Murid-murid guru Mukhtar mengaku ingin HM Qurthubi ke Palangka Raya untuk membina keilmuan mereka agar tidak kehilangan arah.

“Permintaan itu diharapkan oleh para murid di Kota Palangka Raya, agar dimintakan bimbingan, awalnya ia lakukan sebulan sekali, terus tiga bulan sekali, hingga ia merasa lelah, lalu bermunajad dan Salat Istikarah, memantapkan hatinya untuk hijrah ke Palangka Raya,” ucap Norjanah, mantan istri Qurthubi saat diwawancarai pertengahan Maret lalu.

Hijrah dilakukan Qurthubi pada tahun 1997. Dalam munajatnya ia mendapat petunjuk dari Allah Swt dengan Qur’an Surah An-Nisa, ayat 97; “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Pada konteks ini, sang Nabi pernah melalui masa-masa sulit dalam dakwahnya, sehingga harus berpindah ke Madinah yang kala itu dikenal sebagai Kota Yatsrib. Karena itulah Qurthubi memantapkan hati untuk hijrah.

Dikutip dari Buku Tarekat Junaidiyah karangan cecep Zakarias El Bilad, menceritakan sebelum hijrah ke Kota Palangka Raya, di Kampung halamannya sendiri Qurthubi mendapat berbagai rintangan dalam dakwah. Makin hari makin besar rintangannya dan tak dapat dibendung lagi, meski di sisi lain jumlah murid tarekat terus berkembang. Puncak rintangan dakwah adalah saat usianya 70 tahun (tahun 1997). Bahtera rumah tangganya (dengan istri pertama) hancur akibat dihantam badai fitnah dari keluarga besar maupun dari pihak luar.

Saat kegentingan itu memuncak, Qurthubi memutuskan untuk berhijrah demi menjaga keharmonisan keluarganya dan juga demi perkembangan Tarekat Junaidiyah. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, ia memilih Palangka Raya sebagai kota tujuan hijrah. Apalagi jumlah murid di kota ini sudah cukup banyak.

Pada saat perjalanan inilah, Ayah mengutus muridnya agar mengirimkan surat kepada Norjanah. Surat tersebut berisikan permintaannya kepada perempuan yang berusia 40 tahun kala itu, untuk menemaninya berdakwah di Palangka Raya. Akhirnya keduanya menikah saat singgah di rumah muridnya di Banjarmasin. Perempuan yang ia nikahi itu berstatus janda.

Karena mengetahui sang guru sudah di Palangka Raya, murid-muridnya berdatangan tiada henti. Ayah Qurthubi tinggal Jalan Rajawali, tempat cucu dari keponakannya.

Setelah sempat berpindah-pindah tempat tinggal, akhirnya ia membeli rumah di Jalan Mendawai IV. Di tempat itulah ia bersama sang istri membina murid-murid. Hingga saat ini rumah tersebut menjadi pusat kegiatan dan penyebaran Tarekat Junaidiyah.

Beliau mengangkat sejumlah badal (penerus) di Palangka Raya dan sekitarnya. Hingga akhir hayatnya, Ayah Qurthubi memiliki 9 orang badal, yakni Guru Tamidzi (Wafat), M Syibli Sabari (wafat), Ust Suryani (Wafat), Madian Asih (Wafat), Kursani (wafat), Muhammad Ridwan, Suhardi, Abdul Fatah, dan Shalih.

Baca Juga :  Di Balik Terungku, Kumerindu Ibu

Tahun 2000, Ayah bersama rombongan menghadiri Musyawarah IX Jatman di Pekalongan. Jatman merupakan kepanjangan dari Jam‘iyyah Ahl al-Ṭarīqah al-Mu‘tabarah al-Nahḍiyyah, atau disingkat JATMAN, sebuah organisasi keagamaan Indonesia yang para anggotanya berfokus pada penerapan ajaran-ajaran tarekat. Organisasi tersebut didirikan di Tegalrejo, Kabupaten Magelang pada 10 Oktober 1957, oleh sejumlah kiai tarekat senior yang semuanya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, dengan tujuan untuk menyatukan seluruh al-Ṭarīqah al-Mu‘tabarah dalam rangka mengutamakan kepentingan umum.

“Muktamar tersebut menjadi momen bersejarah bagi Tarekat Junaidiyah, karena salah satu hasilnya adalah Tarekat Junaidiyah ditetapkan sebagai tarekat mu’tabarah (thariqah yang mempunyai sanad (mata rantai) yang tidak terputus atau bersambung kepada Rasulullah saw., dan karena itu absah untuk diamalkan). Muktamar juga mengangkat Ayah Qurthubi sebagai Mustafad Idarah ‘Aliyah periode 2000-2005,” ungkap Norjanah.

Mustafad Idarah ‘Aliyah merupakan seseorang yang dipilih untuk mengawasi berbagai tarekat yang ada agar tidak salah jalan. Hanya ada sembilan mustafad terpilih dari seluruh Indonesia, dengan dipimpin Habib Lutfi.

Sejak ditetapkan sebagai mu’tabarah tahun 2000, dan Ayah diangkat sebagai Mustafad Idarah Aliyah periode 2000- 2005, Tarekat Junaidiyah mulai aktif dalam perhelatan-perhelatan Jatman.

Pada tahun 2002, Ayah direncanakan akan berangkat ke Musyawarah Kubra Jatman di Bandung, tepatnya tanggal 17 Juli.

Sehari sebelumnya, sejumlah murid dan pengurus berkumpul di rumahnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk keberangkatan esok hari. Ketika berbincang-bincang, Ayah berkata; “Hari ini saya tidak akan lagi bicara tentang topik-topik seputar ilmu syariat, hari ini saya ingin membahas khusus seputar ma’rifat, karena ma’rifat yang akan menyelamatkan diri kita masing-masing, baik di dunia maupun akhirat,” ujarnya.

Setelah beberapa saat berbicara, suara Ayah tiba-tiba berubah. Makin pelan dan kabur. Perlahan kepalanya menunduk, tapi terus saja berbicara.

“Suaranya makin mengecil dan tersendat-sendat. Saya dan murid-murid pun bingung. Mereka berbegas menangkap tubuh beliau dan merebahkannya. Dipanggillah dokter untuk memeriksa,” cerita Norjanah.

Kejanggalan terjadi pada saat dokter datang. Melihat kondisi tubuh Ayah yang lemah, dokter bermaksud untuk memberinya infus. Beberapa kali dokter mencoba menyuntikkan jarum infus, tapi selalu gagal. Jarum tidak dapat menembus kulit Ayah. Dokter pun mencoba di bagian kaki. Tidak juga berhasil. Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk menghentikan usaha medis. Keluarga melihat itu sebagai pertanda bahwa Ayah sudah tidak menerima ikhtiar medis. Terus berbaring dan menutup mata tak sadarkan diri.

Kabar tentang kondisi Ayah segera tersebar. Hari itu juga para murid berdatangan dari berbagai penjuru Kalimantan. Tiga hari kemudian, Ayah mengembuskan napas terakhir, tepatnya hari Selasa (16/7/2002) 6 Jumadil Awal 1423 H, sekitar pukul 03.00 WIB.

Sebelum Ayah Qurthubi wafat, ia berpesan kepada murid terdekatnya, Agus Bambang Sutadi, untuk menjaga Umi Norjanah, sekaligus mengelola markas dan membimbing jemaah Junaidiyah. Setelah wafatnya Ayah Qurthubi, menikahlah A. B. Sutadi (biasa dipanggil Abi Agus) dengan Umi Norjanah. Hingga kini keduanya menjaga, merawat, dan membina jemaah Tarekat Junaidiyah di Palangka Raya. (*/bersambung/ce/ala)

 

Nama H Muhammad Qurthubi bin Khalid sangat familiar di Bumi Tambun Bungai. Ulama karismatik ini lahir di Desa Panyiuran, Kecamatan Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sang guru tak kenal lelah dalam berdakwah menyebarkan tarekat Junaidiyah sampai ke wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng).

IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

MUHAMMAD Qurthubi bin Khalid lahir tahun 1927 di Kabupaten Hulu Sungati Utara. Ayahnya bernama Khalid dan ibunya bernama Naluh. Guru Qurthubi menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Qurthubi kecil dibimbing oleh orang tua dan guru-gurunya. Tak heran pada usia 10 tahun ia sudah bisa membaca Al-Qur’an secara baik dan mengajarkannya kepada teman-teman sebaya.

Memasuki usia 12 tahun, Qurthubi mulai belajar ilmu-ilmu agama seperti fiqih dan nahwu shorof melalui bimbingan tuan guru Abdul Hamid. Oleh gurunya itu, kemudian Qurthubi diserahkan kepada ulama lain di kampungnya, tuan guru Asmaran, untuk melengkapi pengetahuan agamanya seperti balaghah, mantiq, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadits.

Perjalanan intelektualnya berpuncak pada saat berguru kepada tuan guru H Kaspul Anwar Firdaus, khalifah Tarekat Junaidiyah. Tahun 1960, Qurthubi pertama kali mengambil baiat Tarekat Junaidiyah. Saat itu usianya 29 tahun. Tidak lama setelah berbaiat, Qurthubi menerima bimbingan ilmu/amaliah thariqah al-üla dan menjalani riyadlah as-sughrá (rabithah, murâqabah, dan musyahadah) selama delapan tahun lamanya (hingga usia 37 tahun).

Pada tahun yang sama, Ayah Qurthubi -panggilan akrab para murid kepada HM Qurthubi- menjalani tahap bimbingan selanjutnya selama tiga tahun, yakni thariqah al-wushthâ dengan maqam riyâdlah al-kubrä (muqabalah dan mukâfahah). Genap berusia 40 tahun, Ayah Qurthubi menapaki tahap terakhir bimbingan dalam Thariqah Junaidiyah, yaitu martabah thariqah al-qushwa dengan maqam riyadlah al-ghâyah.

Rangkaian riyadlah yang dijalaninya selama rentang waktu kurang lebih sebelas tahun itu diselesaikan tepat pada hari Kamis pukul 17.00 WITA, akhir bulan Muharram 1395 Hijriah. Dengan demikian Ayah Qurthubi menerima pelimpahan tugas sebagai khalifah Tarekat Junaidiyah. Sehari berikutnya atau 14 Februari 1975 atau 1 Safar 1395, Guru Kaspul mengembuskan napas terakhir pada usia 62 tahun dan dimakamkan di kampung halamannya, Desa Banua Hanyar.

Setelah kepemimpinan Tarekat Junaidiyah berada di tangan Ayah Qurthubi, pusat kegiatan dialihkan ke kampung halamannya, Desa Cempaka, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kala itu Tarekat Junaidiyah berkembang pesat. Murid-murid berdatangan dari berbagal daerah. Tidak hanya dari wilayah Kecamatan Amuntai, tapi juga dari berbagai pelosok Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kota Banjarmasin, hingga Kalteng.

Seiring kemajuan, rintangan pun selalu menyertai perjuangan dakwah Tarekat Junaidiyah. Baik yang berasal dari luar maupun internal Tarekat Junaidiyah. Baik yang menyangkut aktivitas dakwah maupun rumah tangga terekat. Tahun 1989 misalnya, terbit surat keputusan dari MUI Daerah Tingkat II Hulu Sungai Utara yang menyatakan Tarekat Junaidiyah sebagai ajaran sesat. Ayah Qurthubi sempat menjadi tahanan rumah selama 12 hari atas tuduhan aktivitas-aktivitas yang mencurigakan.

Meski demikian, satu per satu rintangan itu bisa dilewati. Tarekat Junaidiyah menyebar pesat di Kalsel, daerah-daerah lain di Kalimantan, bahkan hingga Pulau Jawa. Keberadaan Tarekat Junaidiyah makin diakui sebagaimana tarekat-tarekat lain yang lebih dahulu eksis di Kalsel, seperti Qadiriyah, Nasyabandiyah, Sadziliyah, dan Sammaniyah.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

Hijrahnya seorang guru Tarekat Junaidiyah ke Kota Palangka Raya bukan tanpa alasan. Hal itu dilakukan atas permintaan para muridnya setelah guru Mukhtar wafat. Murid-murid guru Mukhtar mengaku ingin HM Qurthubi ke Palangka Raya untuk membina keilmuan mereka agar tidak kehilangan arah.

“Permintaan itu diharapkan oleh para murid di Kota Palangka Raya, agar dimintakan bimbingan, awalnya ia lakukan sebulan sekali, terus tiga bulan sekali, hingga ia merasa lelah, lalu bermunajad dan Salat Istikarah, memantapkan hatinya untuk hijrah ke Palangka Raya,” ucap Norjanah, mantan istri Qurthubi saat diwawancarai pertengahan Maret lalu.

Hijrah dilakukan Qurthubi pada tahun 1997. Dalam munajatnya ia mendapat petunjuk dari Allah Swt dengan Qur’an Surah An-Nisa, ayat 97; “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Pada konteks ini, sang Nabi pernah melalui masa-masa sulit dalam dakwahnya, sehingga harus berpindah ke Madinah yang kala itu dikenal sebagai Kota Yatsrib. Karena itulah Qurthubi memantapkan hati untuk hijrah.

Dikutip dari Buku Tarekat Junaidiyah karangan cecep Zakarias El Bilad, menceritakan sebelum hijrah ke Kota Palangka Raya, di Kampung halamannya sendiri Qurthubi mendapat berbagai rintangan dalam dakwah. Makin hari makin besar rintangannya dan tak dapat dibendung lagi, meski di sisi lain jumlah murid tarekat terus berkembang. Puncak rintangan dakwah adalah saat usianya 70 tahun (tahun 1997). Bahtera rumah tangganya (dengan istri pertama) hancur akibat dihantam badai fitnah dari keluarga besar maupun dari pihak luar.

Saat kegentingan itu memuncak, Qurthubi memutuskan untuk berhijrah demi menjaga keharmonisan keluarganya dan juga demi perkembangan Tarekat Junaidiyah. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, ia memilih Palangka Raya sebagai kota tujuan hijrah. Apalagi jumlah murid di kota ini sudah cukup banyak.

Pada saat perjalanan inilah, Ayah mengutus muridnya agar mengirimkan surat kepada Norjanah. Surat tersebut berisikan permintaannya kepada perempuan yang berusia 40 tahun kala itu, untuk menemaninya berdakwah di Palangka Raya. Akhirnya keduanya menikah saat singgah di rumah muridnya di Banjarmasin. Perempuan yang ia nikahi itu berstatus janda.

Karena mengetahui sang guru sudah di Palangka Raya, murid-muridnya berdatangan tiada henti. Ayah Qurthubi tinggal Jalan Rajawali, tempat cucu dari keponakannya.

Setelah sempat berpindah-pindah tempat tinggal, akhirnya ia membeli rumah di Jalan Mendawai IV. Di tempat itulah ia bersama sang istri membina murid-murid. Hingga saat ini rumah tersebut menjadi pusat kegiatan dan penyebaran Tarekat Junaidiyah.

Beliau mengangkat sejumlah badal (penerus) di Palangka Raya dan sekitarnya. Hingga akhir hayatnya, Ayah Qurthubi memiliki 9 orang badal, yakni Guru Tamidzi (Wafat), M Syibli Sabari (wafat), Ust Suryani (Wafat), Madian Asih (Wafat), Kursani (wafat), Muhammad Ridwan, Suhardi, Abdul Fatah, dan Shalih.

Baca Juga :  Di Balik Terungku, Kumerindu Ibu

Tahun 2000, Ayah bersama rombongan menghadiri Musyawarah IX Jatman di Pekalongan. Jatman merupakan kepanjangan dari Jam‘iyyah Ahl al-Ṭarīqah al-Mu‘tabarah al-Nahḍiyyah, atau disingkat JATMAN, sebuah organisasi keagamaan Indonesia yang para anggotanya berfokus pada penerapan ajaran-ajaran tarekat. Organisasi tersebut didirikan di Tegalrejo, Kabupaten Magelang pada 10 Oktober 1957, oleh sejumlah kiai tarekat senior yang semuanya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, dengan tujuan untuk menyatukan seluruh al-Ṭarīqah al-Mu‘tabarah dalam rangka mengutamakan kepentingan umum.

“Muktamar tersebut menjadi momen bersejarah bagi Tarekat Junaidiyah, karena salah satu hasilnya adalah Tarekat Junaidiyah ditetapkan sebagai tarekat mu’tabarah (thariqah yang mempunyai sanad (mata rantai) yang tidak terputus atau bersambung kepada Rasulullah saw., dan karena itu absah untuk diamalkan). Muktamar juga mengangkat Ayah Qurthubi sebagai Mustafad Idarah ‘Aliyah periode 2000-2005,” ungkap Norjanah.

Mustafad Idarah ‘Aliyah merupakan seseorang yang dipilih untuk mengawasi berbagai tarekat yang ada agar tidak salah jalan. Hanya ada sembilan mustafad terpilih dari seluruh Indonesia, dengan dipimpin Habib Lutfi.

Sejak ditetapkan sebagai mu’tabarah tahun 2000, dan Ayah diangkat sebagai Mustafad Idarah Aliyah periode 2000- 2005, Tarekat Junaidiyah mulai aktif dalam perhelatan-perhelatan Jatman.

Pada tahun 2002, Ayah direncanakan akan berangkat ke Musyawarah Kubra Jatman di Bandung, tepatnya tanggal 17 Juli.

Sehari sebelumnya, sejumlah murid dan pengurus berkumpul di rumahnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk keberangkatan esok hari. Ketika berbincang-bincang, Ayah berkata; “Hari ini saya tidak akan lagi bicara tentang topik-topik seputar ilmu syariat, hari ini saya ingin membahas khusus seputar ma’rifat, karena ma’rifat yang akan menyelamatkan diri kita masing-masing, baik di dunia maupun akhirat,” ujarnya.

Setelah beberapa saat berbicara, suara Ayah tiba-tiba berubah. Makin pelan dan kabur. Perlahan kepalanya menunduk, tapi terus saja berbicara.

“Suaranya makin mengecil dan tersendat-sendat. Saya dan murid-murid pun bingung. Mereka berbegas menangkap tubuh beliau dan merebahkannya. Dipanggillah dokter untuk memeriksa,” cerita Norjanah.

Kejanggalan terjadi pada saat dokter datang. Melihat kondisi tubuh Ayah yang lemah, dokter bermaksud untuk memberinya infus. Beberapa kali dokter mencoba menyuntikkan jarum infus, tapi selalu gagal. Jarum tidak dapat menembus kulit Ayah. Dokter pun mencoba di bagian kaki. Tidak juga berhasil. Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk menghentikan usaha medis. Keluarga melihat itu sebagai pertanda bahwa Ayah sudah tidak menerima ikhtiar medis. Terus berbaring dan menutup mata tak sadarkan diri.

Kabar tentang kondisi Ayah segera tersebar. Hari itu juga para murid berdatangan dari berbagai penjuru Kalimantan. Tiga hari kemudian, Ayah mengembuskan napas terakhir, tepatnya hari Selasa (16/7/2002) 6 Jumadil Awal 1423 H, sekitar pukul 03.00 WIB.

Sebelum Ayah Qurthubi wafat, ia berpesan kepada murid terdekatnya, Agus Bambang Sutadi, untuk menjaga Umi Norjanah, sekaligus mengelola markas dan membimbing jemaah Junaidiyah. Setelah wafatnya Ayah Qurthubi, menikahlah A. B. Sutadi (biasa dipanggil Abi Agus) dengan Umi Norjanah. Hingga kini keduanya menjaga, merawat, dan membina jemaah Tarekat Junaidiyah di Palangka Raya. (*/bersambung/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/