Jumat, November 22, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Persatuan Jaksa Indonesia Menyampaikan Keterangan

PERSATUAN Jaksa Indonesia menghadiri sidang lanjutan pada hari ini Rabu (7/6) terkait dengan perkara Nomor 28/PUU-XX1/2023 tentang menguji konstitusionalitas kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan khususnya pada penyidikan tindak pidana korupsi. Dimana permohonan tersebut diajukan langsung oleh Dr. Amir Yanto (Jaksa Agung Muda bidang Intelijen) selaku ketua umum Persatuan Jaksa Indonesia, Dr. Reda Manthovani (Kajati DKI Jakarta) dan Dr. Narendra Jatna (Kajati Bali) sebagai pihak terkait.

Persatuan Jaksa Indonesia melalui kuasa hukumnya menyampaikan alasan-alasan mengenai mengapa permohonan uji materi tersebut sepatutnya ditolak.

“Selain ne bis in idem, permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak memiliki landasan hukum dan konstitusional yang jelas”, ungkap Frederick Angwyn selaku Kuasa Hukum Persatuan Jaksa Indonesia pada Rabu (7/6)

Baca Juga :  Kejari Kobar Gelar Khitanan Massal hingga Donor Darah

Frederick menjelaskan lanjut terkait dengan kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan justru adalah hal yang konstitusional dan merupakan praktik umum yang telah diakui secara universal.

“Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 16/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa UUD 1945 tidak melarang kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan. Sebaliknya, kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan justru merupakan implementasi dari standar universal yang digagas dalam Guidelines on the Role of Prosecutors” jelas Frederick.

Ichsan Zikry selaku Kuasa Hukum Persatuan Jaksa Indonesia juga setuju dengan pendapat dari Frederick dan menjelaskan bahwasannya kewenangan dari Jaksa untuk menyidik suatu tindak pidana juga telah sejalan dengan tren global dan nasional yang cenderung menggunakan sistem multi-agency untuk menjalankan kewenangan penyidikan.

Baca Juga :  Bendahara Desa Diduga Membuat Laporan Fiktif

“UNCAC dan rekomendasi FATF secara eksplisit mendorong agar diupayakannya agar pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilaksanakan oleh multi agensi”, jelas Ichsan Zikry.

Tren multi agensi tersebut juga telah dikuatkan oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkini, diantaranya Putusan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang mengakui kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penyidikan dan Putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021, yang memberikan kewenangan Penyidik PNS untuk menyidik tindak pidana pencucian uang.

Sebagai penutup, Ichsan juga mengingatkan bahwa “menghapuskan kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan bukan hanya merupakan ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi, namun juga pemberantasan tindak pidana perusakan hutan dan pelanggaran HAM berat,” ujar Ichsan. (hms/ala)

PERSATUAN Jaksa Indonesia menghadiri sidang lanjutan pada hari ini Rabu (7/6) terkait dengan perkara Nomor 28/PUU-XX1/2023 tentang menguji konstitusionalitas kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan khususnya pada penyidikan tindak pidana korupsi. Dimana permohonan tersebut diajukan langsung oleh Dr. Amir Yanto (Jaksa Agung Muda bidang Intelijen) selaku ketua umum Persatuan Jaksa Indonesia, Dr. Reda Manthovani (Kajati DKI Jakarta) dan Dr. Narendra Jatna (Kajati Bali) sebagai pihak terkait.

Persatuan Jaksa Indonesia melalui kuasa hukumnya menyampaikan alasan-alasan mengenai mengapa permohonan uji materi tersebut sepatutnya ditolak.

“Selain ne bis in idem, permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak memiliki landasan hukum dan konstitusional yang jelas”, ungkap Frederick Angwyn selaku Kuasa Hukum Persatuan Jaksa Indonesia pada Rabu (7/6)

Baca Juga :  Kejari Kobar Gelar Khitanan Massal hingga Donor Darah

Frederick menjelaskan lanjut terkait dengan kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan justru adalah hal yang konstitusional dan merupakan praktik umum yang telah diakui secara universal.

“Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 16/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa UUD 1945 tidak melarang kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan. Sebaliknya, kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan justru merupakan implementasi dari standar universal yang digagas dalam Guidelines on the Role of Prosecutors” jelas Frederick.

Ichsan Zikry selaku Kuasa Hukum Persatuan Jaksa Indonesia juga setuju dengan pendapat dari Frederick dan menjelaskan bahwasannya kewenangan dari Jaksa untuk menyidik suatu tindak pidana juga telah sejalan dengan tren global dan nasional yang cenderung menggunakan sistem multi-agency untuk menjalankan kewenangan penyidikan.

Baca Juga :  Bendahara Desa Diduga Membuat Laporan Fiktif

“UNCAC dan rekomendasi FATF secara eksplisit mendorong agar diupayakannya agar pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dilaksanakan oleh multi agensi”, jelas Ichsan Zikry.

Tren multi agensi tersebut juga telah dikuatkan oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkini, diantaranya Putusan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang mengakui kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penyidikan dan Putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021, yang memberikan kewenangan Penyidik PNS untuk menyidik tindak pidana pencucian uang.

Sebagai penutup, Ichsan juga mengingatkan bahwa “menghapuskan kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan bukan hanya merupakan ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi, namun juga pemberantasan tindak pidana perusakan hutan dan pelanggaran HAM berat,” ujar Ichsan. (hms/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/