Senin, November 25, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Penyandang Disabilitas yang Enggan Menyerah dengan Keadaan (5)

Miskanah Belajar Menjahit Sejak Usia 17 Tahun

Miskanah sosok perempuan hebat yang tidak pernah menyerah dengan keadaan, meski sempat mendapat diskriminasi saat masih duduk di bangku sekolah, dia mampu bangkit dan memiliki keterampilan sebagai penjahit.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

PEREMPUAN berbaju hijau itu nampak fokus dengan pekerjaannya. Layaknya penjahit pada umumnya, dia nampak sangat berhati-hati. Di sela-sela pekerjaannya dia tetap semangat untuk berbagi cerita pada saya (penulis). Perempuan tersebut adalah Miskanah seorang penyandang disabilitas yang piawai dalam menjahit. Berkat kepiawaiannya saat ini ia telah memiliki jasa penjahitan sendiri dengan nama Panca Indah.

 

“Saya lahir dan besar di Palangka Raya,” ungkapnya.

 

Miskanah mengaku jika sedari kecil ia hanya tinggal bersama sang ibu. “Ayah saya meninggal pas saya kecil,” akunya.

 

Walaupun berperan sebagai orang tua tunggal, menurut ceritanya sang ibu bekerja sebagai pedagang kue untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Wanita kelahiran 1982 itu tetap bercerita sambil terus menggeluti pekerjaannya. Ia mengatakan jika sebenernya ia terlahir normal tanpa cacat satupun.

 

“Saya pernah jatuh saat usia 3 tahun,” tuturnya. Sejak saat itulah dirinya mulai mengalami kecacatan pada bagian punggungnya.

 

Miskanah mengaku hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Semasa bersekolah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh rekan-rekannya. “Karena diskriminasi itu saya memilih untuk tidak sekolah lagi dan berdiam di rumah saja,” lanjutnya.

 

Namun seiring berjalannya waktu, Miskanah mulai berpikir untuk keluar dari zona tersebut. Dimana saat itu Dinas Sosial (Dinsos) mencari penyandang disabilitas dari kampung ke kampung.

 

“Bukan kita ataupun keluarga yang mendaftarkan ke Dinsos,” ucapnya. Bahkan Miskanah mengaku saat pihak Dinsos mencarinya ke rumah dia sempat bersembunyi karena takut.

 

“Pikiran itu parno,” tuturnya.

 

Kembali dia menceritakan jika saat itu dari pihak Dinsos berusaha untuk meyakinkan dan memberikan penjelasan. “Sempat beberapa kali juga mendapatkan pelatihan lalu akhirnya ditawarkan untuk berangkat ke Solo,” jelas.

 

Akhirnya pada tahun 1999, Miskanah bertolak ke Solo mengikuti pelatihan di sebuah asrama khusus penyandang disabilitas. “Awalnya ibu saya ga kasih izin,” terangnya sembari terkekeh.

 

Dia mengatakan jika sang ibu takut jika terjadi sesuatu, terlebih harus menyeberang laut. “Mana saya sebelumnya juga tidak pernah pisah sama ibu,” lanjutnya.

 

Wanita berusia 40 tahun itu mengatakan, ketika itu usianya masih muda yakni masih 17 tahun. Ketika itu siapa penyandang disabilitas yang lebih dulu ditemui walaupun usianya di bawah 17 tahun, selama dapat memenuhi persyaratan, bisa diberangkatkan. Dia mengaku semuanya modal nekat dari dalam dirinya.

Baca Juga :  Mengedepankan Teguran Humanis dan Edukasi

 

“Tidak mungkin selamanya saya hidup dengan ibu, ibu suatu saat bisa tua dan meninggal, lalu saudara yang lain pun bisa berumah tangga,” terangnya.

Sehingga pemikiran itulah yang menjadikannya lebih berani dan membulatkan tekadnya untuk mandiri. Terlebih untuk keberangkatan ke Solo seluruh biaya sudah terjamin oleh pemerintah. Waktu pelatihan kurang lebih selama 16 bulan. Yang mana jurusan disediakan lengkap, tinggal menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing.“Saya ambil jurusan menjahit,” katanya.

Bagi Miskanah bukan tanpa alasan ia mengambil jurusan tersebut.“Kemampuan saya terbatas, ekonomi juga terbatas, jadi bagaimana supaya saya dapat terjun ke masyarakat dan dapat mengambil peluang yang ada,” jelasnya.

Pemikiran inilah yang terlintas saat ia mulai membaca kemampuan dirinya. Miskanah merupakan alumni angkatan pertama.“Saya lulusnya di tahun 2000,” akunya.

Miskanah mengatakan setelah menyelesaikan pelatihan menjahitnya disana, dia sempat ingin melanjutkan ke Cibinong untuk lebih mendalami keterampilannya.“Sayangnya saat itu tidak dapat izin dari ibu, ibu nyuruhnya saya pulang aja,” lanjutnya.

Setelah kembali ke tanah kelahiran Miskanah tidak lantas berdiam diri. Bermodal dari keterampilan yang ia dapatkan dari Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (RSBD). Kemudian ia melanjutkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang seringkali diselenggarakan untuk masyarakat umum, salah satunya dari Depnaker.

“Jadi di mana ada celah di situ saya kejar,” ungkapnya.

Menurutnya dia harus cerdas dan pandai untuk membaca dan mencari peluang. Terlebih jika dibandingkan dengan saat ini, dimana kursus menjahit cukup mahal. Karena bagi wanita berusia 40 tahun itu saat di Solo dia sudah mendapatkan keterampilan dasar, sehingga setelah keluar harus mengembangkannya.

Menurutnya sekalipun sudah mendapatkan pelatihan disana belum tentu ia dapat langsung bisa terjun ke masyarakat, tetap harus mencari tambahan ilmu lagi. “Ibaratnya menyiagakan mental untuk terjun ke masyarakat luar,” kekehnya.

Menurutnya saat itu ia sedang menuntut ilmu secara gratis tapi dengan tekad yang kuat.

Miskanah mengaku sebelum membuka usaha jahitnya di sebuah toko ia cukup sering menerima pesanan jahitan dari warga sekitar rumahnya. Ia memulai usaha menjahitnya dengan menyewa sebuah toko yang terletak di Jalan Junjung Buih 10 pada tahun 2011. “Bermodal nekat aja awalnya,” ungkapnya.

 

Namun menurut Miskanah tokonya memiliki tempat yang strategis. “Mayoritas warga kompleknya juga orang hulu sungai,” katanya.

Sehingga kurun waktu 3 bulan ia membuka usaha disana, pelanggan sudah ramai berdatangan. Selain menjahit ia juga memiliki barang dagangan lain, baik itu yang ia beli sendiri ataupun titipan dari orang lain. Menurut ceritanya sebelum adanya Covid-19, ia seringkali ke Banjarmasin untuk membeli keperluan dan juga barang dagangan.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

“Selama di Junjung Buih itu perbulan bisa 3 sampai 4 juga penghasilan dari menjahit,” akunya.

Karena Miskanah selalu memisahkan penghasilan dari penjahit dan barang dagangannya yang lain. Terhitung 9 tahun lamanya ia menyewa toko untuk usaha jahitnya. Menurut wanita itu semua penjahit mungkin sama, yang membedakan mungkin di pelayanannya.

“Kalau di tempat lain kadang hanya sekedar mengantar kalau di tempat saya mereka kadang menunggu sambil bertukar cerita,” ungkapnya sembari tertawa pelan.

Selain ia tidak kesepian sendirian, pelanggannya juga memiliki pendengar atas keluh kesah yang mereka rasakan. Lama membuka usaha disana, Miskanah cukup akrab dan nyaman dengan masyarakat sekitar tokonya. Hingga di tahun 2020 sang ibu wafat setelah beberapa tahun terakhir kesehatannya menurun.

“Ketika ibu meninggal mental saya drop, jadi kadang buka kadang juga engga,” terangnya. Mengingat kepergian sang ibu lah yang membesarkan dan membersamainya sedari kecil.

Menurut penuturannya, sepeninggal sang ibu, ia ditawarkan oleh keponakannya untuk pindah ke rumah miliknya di G Obos 18. “Biar ga mikir bayar sewa lagi,” ucapnya.

Karena sang keponakan juga memikirkan kesehatannya agar tidak terlalu banyak pikiran yang berpotensi membuatnya jatuh sakit.

“Sekarang saya jalani dengan santai, kalau dulu ada target karena ada bayar sewa Rp700.000 perbulan,” katanya.

 

Wanita kelahiran 1982 itu berterus terang tidak ingin ada beban pikiran yang berlebihan. “Soalnya kalau banyak beban pikiran badan saya juga ikut nge drop apalagi sambil menjahit, harus fokus,” jelasnya.

Menurutnya jika tidak dalam kondisi fokus, maka akan memengaruhi hasil jahitan yang ia kerjakan.

 

Setelah sekian lama hidup sendiri, Miskanah akhirnya menikah dengan seorang lelaki pekerja bangunan. “Saya menikah di tahun 2022, di masjid samping ini,” ucapnya sembari menunjuk masjid yang terletak di samping tokonya.

Terbiasa hidup mandiri sendiri tentu perlu waktunya baginya untuk beradaptasi.  “Sempat disuruh berhenti bekerja sama suami,” ungkapnya. Namun dengan sopan ia mengatakan jika ia terbiasa bekerja. Baginya saat ini dia bekerja untuk mengisi waktu luang, tidak ada target yang harus di capai seperti dahulu.

 

Menurut Miskanah realita yang ia temui seorang penyandang disabilitas jarang terlahir dari keluarga mampu, umumnya dari keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi. Sehingga hal inilah yang menuntunnya untuk mandiri dan mulai bekerja untuk memenuhi kehidupan hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. (*/ala)

Miskanah sosok perempuan hebat yang tidak pernah menyerah dengan keadaan, meski sempat mendapat diskriminasi saat masih duduk di bangku sekolah, dia mampu bangkit dan memiliki keterampilan sebagai penjahit.

 

DHEA UMILATI, Palangka Raya

 

PEREMPUAN berbaju hijau itu nampak fokus dengan pekerjaannya. Layaknya penjahit pada umumnya, dia nampak sangat berhati-hati. Di sela-sela pekerjaannya dia tetap semangat untuk berbagi cerita pada saya (penulis). Perempuan tersebut adalah Miskanah seorang penyandang disabilitas yang piawai dalam menjahit. Berkat kepiawaiannya saat ini ia telah memiliki jasa penjahitan sendiri dengan nama Panca Indah.

 

“Saya lahir dan besar di Palangka Raya,” ungkapnya.

 

Miskanah mengaku jika sedari kecil ia hanya tinggal bersama sang ibu. “Ayah saya meninggal pas saya kecil,” akunya.

 

Walaupun berperan sebagai orang tua tunggal, menurut ceritanya sang ibu bekerja sebagai pedagang kue untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Wanita kelahiran 1982 itu tetap bercerita sambil terus menggeluti pekerjaannya. Ia mengatakan jika sebenernya ia terlahir normal tanpa cacat satupun.

 

“Saya pernah jatuh saat usia 3 tahun,” tuturnya. Sejak saat itulah dirinya mulai mengalami kecacatan pada bagian punggungnya.

 

Miskanah mengaku hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Semasa bersekolah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh rekan-rekannya. “Karena diskriminasi itu saya memilih untuk tidak sekolah lagi dan berdiam di rumah saja,” lanjutnya.

 

Namun seiring berjalannya waktu, Miskanah mulai berpikir untuk keluar dari zona tersebut. Dimana saat itu Dinas Sosial (Dinsos) mencari penyandang disabilitas dari kampung ke kampung.

 

“Bukan kita ataupun keluarga yang mendaftarkan ke Dinsos,” ucapnya. Bahkan Miskanah mengaku saat pihak Dinsos mencarinya ke rumah dia sempat bersembunyi karena takut.

 

“Pikiran itu parno,” tuturnya.

 

Kembali dia menceritakan jika saat itu dari pihak Dinsos berusaha untuk meyakinkan dan memberikan penjelasan. “Sempat beberapa kali juga mendapatkan pelatihan lalu akhirnya ditawarkan untuk berangkat ke Solo,” jelas.

 

Akhirnya pada tahun 1999, Miskanah bertolak ke Solo mengikuti pelatihan di sebuah asrama khusus penyandang disabilitas. “Awalnya ibu saya ga kasih izin,” terangnya sembari terkekeh.

 

Dia mengatakan jika sang ibu takut jika terjadi sesuatu, terlebih harus menyeberang laut. “Mana saya sebelumnya juga tidak pernah pisah sama ibu,” lanjutnya.

 

Wanita berusia 40 tahun itu mengatakan, ketika itu usianya masih muda yakni masih 17 tahun. Ketika itu siapa penyandang disabilitas yang lebih dulu ditemui walaupun usianya di bawah 17 tahun, selama dapat memenuhi persyaratan, bisa diberangkatkan. Dia mengaku semuanya modal nekat dari dalam dirinya.

Baca Juga :  Mengedepankan Teguran Humanis dan Edukasi

 

“Tidak mungkin selamanya saya hidup dengan ibu, ibu suatu saat bisa tua dan meninggal, lalu saudara yang lain pun bisa berumah tangga,” terangnya.

Sehingga pemikiran itulah yang menjadikannya lebih berani dan membulatkan tekadnya untuk mandiri. Terlebih untuk keberangkatan ke Solo seluruh biaya sudah terjamin oleh pemerintah. Waktu pelatihan kurang lebih selama 16 bulan. Yang mana jurusan disediakan lengkap, tinggal menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing.“Saya ambil jurusan menjahit,” katanya.

Bagi Miskanah bukan tanpa alasan ia mengambil jurusan tersebut.“Kemampuan saya terbatas, ekonomi juga terbatas, jadi bagaimana supaya saya dapat terjun ke masyarakat dan dapat mengambil peluang yang ada,” jelasnya.

Pemikiran inilah yang terlintas saat ia mulai membaca kemampuan dirinya. Miskanah merupakan alumni angkatan pertama.“Saya lulusnya di tahun 2000,” akunya.

Miskanah mengatakan setelah menyelesaikan pelatihan menjahitnya disana, dia sempat ingin melanjutkan ke Cibinong untuk lebih mendalami keterampilannya.“Sayangnya saat itu tidak dapat izin dari ibu, ibu nyuruhnya saya pulang aja,” lanjutnya.

Setelah kembali ke tanah kelahiran Miskanah tidak lantas berdiam diri. Bermodal dari keterampilan yang ia dapatkan dari Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (RSBD). Kemudian ia melanjutkan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang seringkali diselenggarakan untuk masyarakat umum, salah satunya dari Depnaker.

“Jadi di mana ada celah di situ saya kejar,” ungkapnya.

Menurutnya dia harus cerdas dan pandai untuk membaca dan mencari peluang. Terlebih jika dibandingkan dengan saat ini, dimana kursus menjahit cukup mahal. Karena bagi wanita berusia 40 tahun itu saat di Solo dia sudah mendapatkan keterampilan dasar, sehingga setelah keluar harus mengembangkannya.

Menurutnya sekalipun sudah mendapatkan pelatihan disana belum tentu ia dapat langsung bisa terjun ke masyarakat, tetap harus mencari tambahan ilmu lagi. “Ibaratnya menyiagakan mental untuk terjun ke masyarakat luar,” kekehnya.

Menurutnya saat itu ia sedang menuntut ilmu secara gratis tapi dengan tekad yang kuat.

Miskanah mengaku sebelum membuka usaha jahitnya di sebuah toko ia cukup sering menerima pesanan jahitan dari warga sekitar rumahnya. Ia memulai usaha menjahitnya dengan menyewa sebuah toko yang terletak di Jalan Junjung Buih 10 pada tahun 2011. “Bermodal nekat aja awalnya,” ungkapnya.

 

Namun menurut Miskanah tokonya memiliki tempat yang strategis. “Mayoritas warga kompleknya juga orang hulu sungai,” katanya.

Sehingga kurun waktu 3 bulan ia membuka usaha disana, pelanggan sudah ramai berdatangan. Selain menjahit ia juga memiliki barang dagangan lain, baik itu yang ia beli sendiri ataupun titipan dari orang lain. Menurut ceritanya sebelum adanya Covid-19, ia seringkali ke Banjarmasin untuk membeli keperluan dan juga barang dagangan.

Baca Juga :  Makam Berada di Dua Tempat, Selalu Ramai Dikunjungi Peziarah

“Selama di Junjung Buih itu perbulan bisa 3 sampai 4 juga penghasilan dari menjahit,” akunya.

Karena Miskanah selalu memisahkan penghasilan dari penjahit dan barang dagangannya yang lain. Terhitung 9 tahun lamanya ia menyewa toko untuk usaha jahitnya. Menurut wanita itu semua penjahit mungkin sama, yang membedakan mungkin di pelayanannya.

“Kalau di tempat lain kadang hanya sekedar mengantar kalau di tempat saya mereka kadang menunggu sambil bertukar cerita,” ungkapnya sembari tertawa pelan.

Selain ia tidak kesepian sendirian, pelanggannya juga memiliki pendengar atas keluh kesah yang mereka rasakan. Lama membuka usaha disana, Miskanah cukup akrab dan nyaman dengan masyarakat sekitar tokonya. Hingga di tahun 2020 sang ibu wafat setelah beberapa tahun terakhir kesehatannya menurun.

“Ketika ibu meninggal mental saya drop, jadi kadang buka kadang juga engga,” terangnya. Mengingat kepergian sang ibu lah yang membesarkan dan membersamainya sedari kecil.

Menurut penuturannya, sepeninggal sang ibu, ia ditawarkan oleh keponakannya untuk pindah ke rumah miliknya di G Obos 18. “Biar ga mikir bayar sewa lagi,” ucapnya.

Karena sang keponakan juga memikirkan kesehatannya agar tidak terlalu banyak pikiran yang berpotensi membuatnya jatuh sakit.

“Sekarang saya jalani dengan santai, kalau dulu ada target karena ada bayar sewa Rp700.000 perbulan,” katanya.

 

Wanita kelahiran 1982 itu berterus terang tidak ingin ada beban pikiran yang berlebihan. “Soalnya kalau banyak beban pikiran badan saya juga ikut nge drop apalagi sambil menjahit, harus fokus,” jelasnya.

Menurutnya jika tidak dalam kondisi fokus, maka akan memengaruhi hasil jahitan yang ia kerjakan.

 

Setelah sekian lama hidup sendiri, Miskanah akhirnya menikah dengan seorang lelaki pekerja bangunan. “Saya menikah di tahun 2022, di masjid samping ini,” ucapnya sembari menunjuk masjid yang terletak di samping tokonya.

Terbiasa hidup mandiri sendiri tentu perlu waktunya baginya untuk beradaptasi.  “Sempat disuruh berhenti bekerja sama suami,” ungkapnya. Namun dengan sopan ia mengatakan jika ia terbiasa bekerja. Baginya saat ini dia bekerja untuk mengisi waktu luang, tidak ada target yang harus di capai seperti dahulu.

 

Menurut Miskanah realita yang ia temui seorang penyandang disabilitas jarang terlahir dari keluarga mampu, umumnya dari keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi. Sehingga hal inilah yang menuntunnya untuk mandiri dan mulai bekerja untuk memenuhi kehidupan hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. (*/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/